Berita
Diskusi Film Senyap: Tegakkan HAM, Luruskan Sejarah
Bangsa yang besar adalah bangsa yang senantiasa ingat dengan sejarahnya. “Jasmerah;” jangan sekali-kali melupakan sejarah, pesan founding fathers kita, Bung Karno untuk menegaskan pentingnya menjaga ingatan sejarah sebagai bagian dari identitas kita sebagai bangsa.
Semangat inilah kiranya yang mendasari Joshua Oppenheimmer kala membuat film dokumenter sejarah peristiwa kontroversial tahun 1965, “Senyap,” yang diputar dan didiskusikan oleh Freedom Institute Kamis (11/12) di Jakarta.
Dalam acara diskusi film Senyap ini, sejarawan dan Pimred majalah Historia, Bonie Triyana sebagai salah satu pembicara menyebutkan bahwa di antara kesulitannya ketika membicarakan tragedi ‘65 adalah stigma adanya dukungan pada komunisme atau PKI.
“Yang sulit bagi saya sebagai peneliti adalah ketika saya meneliti tentang komunisme langsung dituduh pendukung atau minimal simpatisan PKI,” tutur Bonie. “Ada stigma negatif sangat kuat yang mengakar di alam bawah sadar masyarakat dan harus diluruskan tentang PKI, bahwa seolah-olah PKI itu pasti setan. Dan karenanya wajar saja dibunuh,” tambah Bonie.
Api Dalam Sekam
Menurut Bonie, stigma-stigma ini merupakan bentuk dari kegagalan kita dalam melakukan pembelajaran sejarah yang rasional di tengah masyarakat. Yang jika tidak diluruskan bisa menjadi api dalam sekam yang siap meledak sewaktu-waktu.
“Yang terjadi sekarang ini adalah bentuk kegagalan kita mengajarkan sejarah. Padahal belajar sejarah itu esensinya adalah mengetahui bagaimana mencari kebenaran itu sendiri. Bagaimana membuat masyarakat menjadi rasional,” tekan Bonie.
Peran penting memahami sejarah ini pula sebut Koordinator KontraS Haris Azhar, yang juga menjadi nilai penting film Senyap.
“Menurut saya film ini amat menarik dan amat penting sekali. Cukup lengkap memperlihatkan konstruksi sosial kita saat ini setelah 65 tahun,” ujar Haris.
Haris mengingatkan konstruksi kekerasan sosial yang terbentuk sebelum tragedi ‘65 silam sebenarnya terjadi juga hari ini. Dan itulah yang harus diwaspadai.
“Hari ini juga kita juga sedang berhadapan dengan pola pikir kekerasan di kepala kita. Kita masuk pada zaman yang toleran pada kekerasan seperti itu.” lanjut Haris. “Lihat saja ada kelompok yang di jalan berkumpul membanggakan kekerasan dengan atribut-atribut yang mereka bawa.”
“Menurut saya ini mengerikan. Jika konstruksi kekerasan sosial ini dibiarkan, tak mustahil bisa meledak seperti tahun ‘65,” pungkas Haris (Muhammad/Yudhi)