Berita
Diskusi Budaya: Revolusi Mental
Berbicara revolusi mental, tak lepas dari bicara tentang dua kata yaitu revolusi, dan mental itu sendiri. Dalam sebuah makna, revolusi berarti perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok kehidupan masyarakat. Sedangkan mental, sering diidentikkan dengan psikis, atau kejiwaan.
“Sebuah cara hidup bukan hanya terkait batiniah, rasa, tapi juga bicara tentang lahiriah dan perilaku,” ungkap Subhi Ibrahim, dalam sebuah seminar budaya dengan tema “Revolusi Mental: dari Ali hingga Jokowi” di kampus Paramadina Jakarta Rabu (15/10) siang.
Tema seminar itu diambil untuk memudahkan memahami sebuah sosok, contoh perilaku yang dapat diikuti suri tauladannya dalam revolusi mental untuk kehidupan saat ini. Ali yang dimaksud adalah Ali bin Abi Thalib, sahabat yang paling dekat dengan Nabi Muhammad Saw.
Subhi Ibrahim, yang juga dosen di Paramadina ini menegaskan, dalam sebuah revolusi harus ada aktor untuk menggerakkan masyarakat awam.
“Ali bin Abi Thalib adalah lulusan terbaik dari madrasah Rasulullah Saw,”ungkap Subhi.
“Ketika ada yang bertanya, dari banyaknya perbedaan di kalangan Islam, kita harus bagaimana? Kataku, pilihlah sebuah tafsir atau pemahaman dari orang yang paling dekat dengan Rasulullah,” tambah Subhi.
Menurutnya, kedekatan, dan keilmuan yang dipahaminya langsung dari Rasulullah, menjadikan mentalitas Ali, merupakan mentalitas kenabian. Hal itulah yang kemudian membuatnya mampu menerapkan sistem pemerintahan yang adil, dan anti diskriminasi.
“Namun, ketika ia tegas dalam membersihkan aparatur negara yang terlibat korupsi dan tidak kompeten di bidangnya, membuatnya banyak dimusuhi,” pungkas Subhi.
Mentalitas seperti inilah, yang perlu diterapkan dalam masa pemerintahan Jokowi saat ini.
Pembicara lain adalah Jalaluddin Rahmat. Anggota DPR dari PDIP ini juga mengungkapkan pentingnya meneladani Ali bin Abi Thalib dalam membahas masalah revolusi mental. Ia menceritakan, mentalitas Ali telah memisahkan dua kepemimpinan, kepemimpinan terhadap Allah yang diwakili Ali sendiri, dan kepemimpinan kabilah-kabilah yang diwakili Abu Sufyan dan Muawiyah. “Hingga 100 tahun lamanya pemerintahan Muawiyah berkuasa dengan sistem kabilahnya,” ungkap Kang Jalal. (Malik/Yudhi)