Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Diskusi Budaya: Menguatkan Prinsip Kebhinekaan

Aula Nurcholis Majid Universitas Paramadina

Indonesia dikenal sebagai negara Bahari yang hampir 70 persen wilayahnya adalah lautan. Bagi negara Bahari seperti Indonesia, pluralisme adalah sebuah keniscayaan, sebab pluralisme merupakan ciri dasar dari masyarakat Bahari.

Itulah yang disampaikan budayawan Radar Panca Dahana dalam diskusi budaya di Aula Nurcholis Majid Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, Jumat (13/6) lalu.

Dalam acara bertema “Indonesia Dalam Harmoni Kebhinekaan” itu, Panca juga menjelaskan bahwa dalam sebuah negeri Bahari lazim terjadi interaksi dengan berbagai orang dari beragam wilayah, etnis, suku, agama dan ras. Masyarakat Bahari tidak pernah alergi terhadap orang asing, sebab di pelabuhan-pelabuhan sudah terbiasa mereka lihat banyak berlalu lalang dan singgah orang-orang dari berbagai kultur.

“Di bandar-bandar atau pelabuhan, masyarakat tidak alergi lagi pada orang asing. Mereka sudah paham bahwa multikulturalisme dan pluralisme adalah sebuah keniscayaan,” ungkap Panca.

Sementara itu, Kyai Alawi al-Bantani yang aktif di Aswaja Center Lembaga Takmir Masjid (LTM) PBNU, menyontohkan kebhinekaan dalam Islam, ketika Rasulullah hijrah dan tinggal di Madinah bersama aneka macam kelompok masyarakat. Diriwayatkan bahwa Rasulullah membuat “Piagam Madinah” yang isinya tak satu pun diambil dari ayat Al-Quran maupun hadis. “Inilah yang dimaksud kebhinekaan,” terang Kyai Alawi.

Karena itu Kyai Alawi menyayangkan bila saat ini masih banyak orang yang kemampuan keagamaannya belum mumpuni dan teruji bahkan hanya didapat dari membaca satu atau dua buku saja sudah berani menyalahkan, mengkafirkan dan bahkan menyesatkan orang lain. Padahal menurut Kyai Alawi, belajar agama harus menggunakan sanad dan tidak bisa hanya dengan menggunakan buku, apalagi hanya mengandalkan Google. Sikap sok benar sendiri semacam itu sudah pasti akan menciderai prinsip kebhinekaan.

“Makanya kita harus cari mana ulama yang kompeten dan mana ulama yang impoten,” jelas Kyai Alawi disambut tawa dan tepuk tangan hadirin siang itu.

Pembicara ketiga, Debra H. Yatim, tokoh perempuan yang juga budayawan, membacakan kutipan singkat dari buku “Animal Farm” karya  wartawan handal George Orwell, terbitan tahun 1948. George dalam bukunya menulis “All men are created equal but some are more equal than others.” Kutipan itu diterjemahkan Debra “Setiap sosok diciptakan sama, tetapi ada beberapa sosok yang lebih sama dibanding lainnya.”.

Menurut Debra kutipan itu menjelaskan sebab terjadinya dominasi pemikiran di dunia Barat pada awal perang dingin tahun 1948, saat masyarakat didominasi satu cara berpikir dan karenanya, tak bisa menerima cara berpikir lain.

Debra pun bertanya kepada peserta diskusi,  “Apakah ini menggambarkan sebagian cara berpikir orang Indonesia dewasa ini?”

Diskusi budaya berlangsung hangat meski di luar diguyur hujan lebat. Di akhir acara dibacakan 7 butir kebersamaan sikap sebagai kesimpulan hasil diskusi hari itu. Ketujuh poin itu pun dibacakan secara bersamaan oleh para pembicara dan sebagian tamu undangan di atas panggung.

Dalam kondisi kebhinekaan yang sedang terombang ambing, di tengah ancaman badai intoleransi yang terus merajalela dewasa ini, diskusi budaya ini cukup memberi kesejukan dan harapan bagi para peserta juga panitia untuk bersama menyelamatkan kebhinekaan.

Untuk itu pihak Paramadina selaku panitia acara dan  pembicara tetap berkomitmen terus menggalakkan acara serupa pada waktu mendatang. (Lutfi/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *