Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Dikotomi Agama dan Pancasila, Ancaman Keutuhan Bangsa

Entitas kebangsaan kita diserbu dengan dua entitas global; liberalisme dan islamisme. Pancasila sebagai entitas kebangsaan kita kemudian mengalami proses keterjepitan sehingga nilai-nilai di dalamnya pun kian terkikis. Kondisi yang demikian disampaikan oleh Ust. M. Rusli Malik (Pengasuh Kajian Al-Quran Al-Barru) dalam diskusi bulanan DPP ABI, Selasa (22/5). Lebih lanjut menurutnya, Pancasila seakan dikucilkan oleh bangsanya sendiri dan sangat sedikit orang memiliki perhatian kepadanya. Bahkan di tingkat institusi dan satuan pendidikan.

“Cucu saya sekolah di sekolah Islam, yang menurut saya sekolah itu bagus. Ketika saya tanya-tanya, ternyata mereka setiap Senin tidak pernah mengadakan upacara, tidak baca Pancasila. Kalau terpaksa harus upacara, itu pada 17 Agustus, dan itupun tidak boleh hormat.” cerita Ust. Rusli.

Menurut Ust. Rusli, sekolah-sekolah semacam ini termasuk yang diampu oleh kelompok-kelompok islamisme. Mereka memiliki upaya-upaya terstruktur yang tentu menurut mereka benar. Mereka lupa bahwa semua negara pasti memiliki identitas-identitas. Termasuk Indonesia yang memiliki Pancasila. Sebuah identitas yang merupakan wujud dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Identitas yang kemudian terideologisasi menjadi konstitusi berbangsa dan bernegara.

Baca juga: Negara dan Agama dalam Bingkai Pancasila

Pancasila, sebelum terartikulasi dalam bentuk sila-sila, hakikatnya dia adalah masyarakat itu sendiri. Jadi dia adalah masyarakat nusantara. Dia masyarakat Indonesia pra-kemerdekaan. Sebelum diideologisasi, dia sudah hidup. Sudah ada. Sudah eksis. Sudah menjadi urat nadi dan mendarah daging pada kehidupan masyarakat saat itu. Kemudian para pendiri bangsa ini yang disebut ideolog merumuskan bagaimana caranya agar urat nadi, darah daging kehidupan ini kemudian bisa diartikulasi menjadi poin-poin yang kemudian gampang dilestarikan dan gampang dijadikan sebagai acuan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pasti terjadi mobilitas; mobilitas internal, bisa juga pengaruh-pengaruh eksternal seperti misalnya kita bersentuhan dengan negara lain, dengan peradaban dan kebudayaan lain, agama-agama lain, secara otomatis terkadang masyarakat kehilangan jati dirinya.

“Ketika kita kehilangan identitas atau jati diri sebagai bangsa negara, secara otomatis akan terjadi longgarnya ikatan-ikatan bersama warga dan komunalitas-komunalitas yang membentuk kebangsaan kita. Kita sebut suku-suku ini sebagai komunalitas-komunalitas, kita sebut penganut-penganut agama itu sebagai komunalitas. Kemudian yang mengikat komunalitas ini adalah Pancasila. Apabila tidak ada konstitusi pengikat itu maka komunalitas-komunalitas itu sendiri bisa membikin, mengideologisasi nilai-nilainya sendiri lalu bisa menjadi benih-benih separatisme. Ketika ini dimanfaatkan pihak luar, dan di dalam juga mengalami kekaburan identitas berbangsa, maka ini bisa benar-benar menjadi seperti negara Yugoslavia. Yugoslavia bukan tidak memiliki ideologi, tapi karena pertarungan Timur (sosialisme) dan Barat (liberalisme), mungkin juga ada islamisme, dan terjadi ‘pertarungan’. Ketika pemimpin tertingginya meninggal dunia, lalu terjadi perebutan karena benih-benih separatis itu sudah tercipta sebelumnya. Bukan tidak mungkin ini terjadi di negara kita.” papar Ust. Rusli.

Salah satu cara untuk mengantisipasi hal itu, kata Ust. Rusli adalah menginternalisasi dan menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila dan mengingatkan kembali kepada semua komunalitas termasuk komunalitas yang paling besar yaitu Islam, bahwa mereka itu punya pilihan bersama. Pegangan bersama ini yang menyebabkan mereka bisa hidup berdampingan dengan agama-agama lain, dengan paham-paham lain, dengan ideologi-ideologi lain. Ini yang harus dipegang.

Ust. Rusli juga mengungkapkan adanya upaya dari suatu kelompok untuk memecah belah bangsa dengan mendikotomi (mempertentangkan) antara Islam dan Pancasila. Seakan-akan Pancasila itu tidak merepresentasikan nilai-nilai Islam, sehingga untuk mengamalkan Islam secara kaffah (menyeluruh) maka Pancasila menurut mereka harus diganti dengan sistem Khilafah.

Baca juga: 39% Mahasiswa dari Berbagai Perguruan Tinggi Terpapar Paham Radikal

Ada dua alur menurut Ust. Rusli yang bisa ditempuh untuk menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara:

Pertama, Pemerintah semestinya harus memaksa setiap sekolah-sekolah untuk misalnya melakukan upacara bendera setiap hari Senin. Sekolah-sekolah yang melarang upacara bendera tidak boleh dikasih toleransi, karena itu akan melahirkan benih-benih separatisme bagi murid-murid, atau perlawanan terhadap entitas negara. Kita bisa mengambil pelajaran dari runtuhnya negara Libya. Bahasa yang dipakai untuk meruntuhkan atau menghancurkan negara Libya adalah pemerintahnya dianggap Thagut. Dan bahasa Thagut ini semakin vokal berdering di telinga kita (bangsa Indonesia), bahwa negara atau pemerintah dianggap Thahut, Pancasila dianggap sebagai Thagut. Menurut saya, jalur pemerintah adalah memaksa. Mislanya, memaksa sekolah-sekolah harus melakukan upacara setiap hari Senin, dan membaca Pancasila agar nilai-nilai Pancasila itu terpatri dalam benak dan jiwa para siswa (sekaligus menghalau ideologi ekstrimis yang ingin mengganti pemerintahan dengan sistem khilafah).

Kedua, masyarakat harus turut berperan aktif untuk mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam kegiatan-kegiatan di masyarakat. Karena setiap acara yang diselenggarakan di masyarakat selalu ada nilai keagamaan di situ, maka kita perlu “memfilter” para Ustad, Pendeta, dan para tokoh agama yang selalu berbicara tentang dikotomi agama dengan Pancasila. Kita perlu pahami bersama bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sangat mencerminkan nilai-nilai yang ada di dalam agama, terutama sekali Islam. Artinya, Pancasila sangat sejalan dengan Islam dan sama sekali tidak bertentangan ajarannya. (MasMujib/MZ/Ahlulbait Indonesia)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *