Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Dialog Perempuan Mahardika

Memperingati 50 tahun perlawanan tehadap politik Orde Baru, Perempuan Mahardika mengadakan seminar “Dialog Perempuan: Perkosaan Massal Orde Baru” yang diadakan di LBH Jakarta Senin (30/3).

Dalam diskusi membincang posisi perempuan yang menjadi korban politik dari masa ke masa, Seknas Perempuan Mahardika, Mutiara Ika Pratiwi menyebutkan bahwa acara ini merupakan bentuk perlawanan terhadap politik Orba.

“Ini adalah perlawanan terhadap 50 tahun politik Orba. Politik Orba tak berhenti sejak 98 tapi terus berjalan sampai sekarang,” ujar Ika.

“Kita bicarakan soal perkosaan karena isunya jarang dibicarakan. Dan ketika kita mengaitkannya dengan politik Orba, kita ingin menggali akar persoalan terhadap perkosaan massal itu sendiri,” lanjut Ika. “Yang kita temukan  ini sangat berkaitan dengan politik Orba yang anti perempuan. Dimulai dari tahun 65 ketika ada landasan politik anti Gerwani. Setiap yang mau diberantas distigma sebagai Gerwani.”

“Kenapa Gerwani? Karena posisi Gerwani yang sangat maju saat itu. Dan kenapa gunakan isu perempuan? Karena penindasan terhadap seksualitas itu bisa jadi kepentingan banyak pihak untuk menghambat kemajuan lawan,” terang Ika.

Perkosaan Terhadap Perempuan Dulu dan Kini

Menurut Asih Refnaldi, salah seorang pembicara, kondisi perempuan dalam kasus perkosaan hingga saat ini masih relatif sama dan kurang mendapat keadilan.

“Kondisinya masih sama, kalau ada kasus perkosaan itu perlakuan aparat, institusi yang menangani masih sama, tidak berpihak pada korban, bahkan malah menyalahkan korban,” ujar Asih.
“Penyebabnya, utamanya dari aparatnya. Pemahaman aparat tentang kekerasan seksual itu sendiri. Kedua tidak ada keberpihakan kepada perempuan. Seolah pemerkosaan itu hanya bertemunya dua alat kelamin, tak ada alat lain, tak ada konteks politik yang mendasari, tak ada pembagian jenis pemerkosaan, dan seterusnya,” keluh Asih.

Beberapa hal yang direkomendasikan oleh Pengacara perempuan ini di antaranya, “Menurut saya perlu ada pelatihan yang sama sekali berbeda, terhadap aparat polisi atau aparat keamanan. Mereka harus diberi perspektif perempuan dari sudut pandang perempuan. Juga perlu ada fasilitas-fasilitas khusus. Misalnya kalau korban lebih nyaman bicara dengan sesama perempuan, di ruang pemeriksaan tertutup. Atau dengan bukti yang lebih teknologis, serat rambut, atau apa. Tak harus mengandalkan wawancara ke korban saja,” pungkas Asih. (Muhammad/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *