Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Dialog Nasional Mengantisipasi Gerakan ISIS

Sabtu, 16 Agustus 2014, lebih dari 150 orang yang mewakili puluhan Organisasi Masyarakat di Kalimantan Barat memadati aula Rafflesi di Hotel Orchardz Jl. Gajahmada Pontianak untuk menghadiri Dialog Nasional bertemakan Mengantisipasi Gerakan ISIS di Indonesia dalam memelihara Keutuhan NKRI. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Kalbar bekerjasama dengan Forum Mediasi Kalbar, Forum Peduli Ibu Pertiwi Kalbar dan Forum Umat Islam (FUI) Kalbar ini menghadirkan Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, MA (Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Prof. Dr. Sy. Ibrahim Alqadrie (Guru Besar FISIP Untan) dan Kombes Pol. Drs. Haryanto, M. Si (Kapolresta Pontianak).

Menurut Prof. Azyumardi, banyaknya dukungan segelintir Muslim terhadap ISIS dikarenakan terma populer yang mereka gunakan, khilafah dan jihad. Khilafah merupakan merupakan istilah yang mengandung banyak muatan romantisme serta idealisme sistem dan kelembagaan politik Islam yang dulu pernah eksis di era Imperium Utsmani. Romantisme khilafah itu digunakan sebagai entitas politik pemersatu Muslimin yang bercampur dengan sentimen sektarianisme Sunni dan Syi’ah, lantas menyeru umat Islam mendukung dan bergabung dengan mereka. Sementara jihad –berusaha dengan sungguh-sungguh – dipahami sebagai membunuh musuh yang tak sepaham dengan mereka.

Karena itu, pahaman ultra-puritan mereka – yang jauh lebih keras dari Wahabiyah – takakan mendapat sambutan berarti dari Muslimin. Sehingga potensi perlawanan dari Islam mainstream terhadap mereka justru jauh lebih besar. Mereka menghancurkan masjid-masjid dan kuburan dengan alasan menjadi tempat pemujaan berbau syirik dan bertentangan dengan akidah. “Orang Indonesia tak bisa hidup tanpa kuburan, lihat saja budaya ziarah sebelum Ramadhan dan menjelang Idul Fitri.” lanjut Prof. Azyumardi. Maka mustahil ISIS dapat berkembang luas di Indonesia. Menurut Prof. Azyumardi, konsep ISIS sama sekali tidak relevan di Indonesia. Namun walau potensi keberhasilannya relatif kecil, gagasan dan praksis ISIS dapat menimbulkan masalah serius dalam kehidupan sosial, politik, agama, sosial dan budaya di tanah air.

Sementara menurut Prof. Sy. Ibrahim, berita-berita yang kita dapatkan mengenai ISIS hampir 70% berasal dari media mainstream Barat, sehingga besar kemungkinan berita tersebut bukanlah fakta dan merupakan pengalihan dari pembantaian yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina di Gaza. Sungguh mengherankan jika berita-berita kemunculan ISIS bertepatan dengan invasi Israel.

Berbeda dengan Prof. Azyumardi, menurut Prof. Sy. Ibrahim, seharusnya kita membiarkan ISIS berkembang di Indonesia, karena pelarangan terhadap ISIS akan mengulang sejarah masa lalu bangsa ini yang melarang Ajaran Bung Karno dan pengikutnya di era Orde Baru. Yang perlu dilakukan adalah dengan membatasi gerakan mereka. “Seharusnya kita juga mempelajari pemikiran ISIS.” demikian menurut Prof. Sy. Ibrahim.

Dalam makalahnya yang agak kontroversial, beliau menyebutkan bahwa kelahiran ISIS merupakan kewajaran sebagai reaksi spontan atas ketidakadilan yang terjadi terhadap umat Islam. Di Suriah, misalkan, ISIS lahir karena tindak represif rezim Bashar Al Assad yang Syi’ah terhadap Muslim Sunni, sama halnya dengan di Iraq.

Dalam paparannya, Kapolresta Pontianak mengatakan bahwa ISIS merupakan kelompok Islam garis keras yang menganut paham takfiri; menganggap Muslim lain yang tak sepaham dengan mereka sebagai kafir dan wajib diperangi. Paham ini sesungguhnya bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam dan agama-agama yang berlaku di Indonesia serta tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang menjunjung toleransi serta persatuan dan kesatuan umat.

Kombes Pol. Drs. Haryanto melanjutkan bahwa ISIS dan gerakan semacamnya merupakan ancaman bagi keutuhan NKRI, sehingga Kepolisian akan senantiasa berusaha mencegah tumbuh dan berkembangnya gerakan sejenis, dengan melibatkan tokoh masyarakat dan ormas di Kalbar.

Setelah pemaparan dari para narasumber, dilanjutkan dengan diskusi terkait tema kegiatan. Di akhir acara dilakukan penandatangan dan pembacaan Pernyataan Sikap Penolakan Keberadaan ISIS di Kalimantan Barat oleh sekitar 36 Organisasi Masyarakat, termasuk DPW Ahlulbait Indonesia Kalbar.

Menanggapi diskusi ini, Ketua DPW ABI Kalbar, Muhammad Darwin, SE., MM, mengatakan bahwa kegiatan seperti ini harus dilanjutkan. Karena pahaman takfiri adalah bahaya laten untuk keutuhan NKRI. “Tentunya kita tidak ingin ideologi negara ini berubah.” lanjut Muhammad Dawin. (Reza)