Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Dialog Kebangsaan Sikapi Intoleransi Beragama

Dialog Kebangsaan Sikapi Intoleransi Beragama

Screen Shot 2014-02-14 at 8.34.14 PM“Kita sebenarnya memasuki masa hancurnya peradaban hukum kita,” tutur Benny Susetyo kepada ABI Press di sela acara Dialog Kebangsaan yang digelar Gerakan Masyarakat Penerus (GMP) Bung Karno bertema Menyikapi Intoleransi Beragama Di Tanah Air.

Lebih lanjut, Benny Susetyo yang biasa dipanggil Romo Benny itu menjelaskan tentang ketidakseriusan pemerintah dalam menanggapi tindakan kekerasan terutama yang mengatasnamakan agama. Selain tidak serius, menurutnya pemerintah bahkan absen dan membiarkan pelaku kekerasan. “Bahkan kalau dihukum, hukumannya hanya hukuman ringan,” jelasnya. Dengan begitu, dia menilai, efek jera terhadap pelaku pun bisa dikata hampir tidak ada.

Selain Romo Benny, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia juga hadir sebagai salah seorang pembicara. Menanggapi permasalahan meningkatnya Intoleransi yang terjadi, aktivis ICRP itu sepaham dengan Romo Benny dalam satu sisi yaitu abainya pemerintah dalam mengatasi masalah itu.

Hal ini pun menjadi keprihatinan Prof. Jimly Asshiddiqie, yang juga hadir sebagai narasumber, saat dia menyatakan bahwa kunci utama penyelesaiaan kasus-kasus intoleransi dan kekerasan di Indonesia itu sebenarnya ada di tangan kepemimpinan nasional. “Tapi sayangnya, good will pemimpin nasional kita sepertinya sangat lemah. Padahal perangkat hukum yang mengatur kewenangan untuk itu sudah lengkap tersedia.”
Karena itu Jimly menyarankan agar kepemimpinan baru berikutnya mampu menjadikan persoalan ini sebagai salah satu konsen pemerintahan yang bakal dipimpinnya. “Karena itu, saya sangat mengapresiasi langkah GMP Bung Karno selaku penggagas dan penyelenggara acara ini dan berharap agar Dialog Kebangsaan dan kegiatan lain yang serupa, tidak hanya berhenti sampai di sini saja, tapi bisa menjadi program berkelanjutan ke depan agar kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia makin bertambah baik, dalam artian dapat berjalan di rel yang semestinya.”

Di sisi lain Musdah menganggap pembiaran yang terjadi sudah sangat kasat mata. Dia menyontohkan kasus kekerasan yang terjadi atas warga muslim Syiah di Sampang. “Bagaimana SBY berjanji kepada orang-orang Syiah akan menyelesaikan persoalan di Sampang. SBY telah menerima kelompok Syiah di Cikeas, dan memberi janji yang sangat jelas sekali. Kemudian apa yang terjadi setelah itu? SBY datang ke sana dan tidak ada penyelesaian apa-apa,” tegasnya.

Musdah juga menganggap berbagai konflik atas nama agama sebenarnya bukan murni karena agama. Tapi agama hanya digunakan sebagai pemicu saja. Setelah diteliti, faktor ekonomi, sosial dan politik lah yang lebih cenderung menjadi sebab utama dalam berbagai konflik itu. “Meskipunn, secara sosiologis, agama itu memang paling mudah digunakan sebagai pemicu konflik,” tuturnya.

Hal lain yang lebih mengecewakan Musdah adalah keterlibatan oknum pemerintahan, terutama kepolisian yang justru (menurut survei Wahid Institute) menjadi bagian dari pelaku pelanggaran. Dia tak habis pikir, bagaimana bisa aparat kepolisian yang seharusnya berkewajiban menjadi pelindung masyarakat dari ancaman kekerasan dan aksi-aksi kelompok intoleran baik melalui penyebaran ujaran kebencian (hate speech) maupun aksi penyerangan itu terkadang malah punya andil ibarat pelaku.

Acara yang berlangsung di ruang Timor hotel Borobudur Jakarta ini dibuka sambutan Ketum GMP Bung Karno Zulfan Lindan. Diikuti para tokoh nasional, tokoh lintas agama, aktivis dan tokoh dari berbagai kalangan, Dialog Kebangsaan berlangsung selama empat jam lebih, dimulai pukul 13.00 dan secara resmi ditutup Sekjen GMP Bung Karno Dr. Benny Kisworo serta doa oleh KH. Abdul Muhaimin (tokoh agama asal Yogya) pada pukul 17.30 WIB pada Kamis (13/2) kemarin. (Abdul Malik/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *