Berita
Hoyak Hosen di Sumatera Barat
Salah satu faktor penyebaran Islam di Sumatera Barat atau dalam masyarakat Minangkabau adalah melalui jaringan surau. Sebelum akhir abad ke-19 Masehi surau merupakan lembaga pendidikan Islam penting di Minangkabau. Daerah ini semenjak Burhanuddin menjadi titik tolak (entry port) Islamisasi penduduk darek dan pusat pengembangan tarekat. Terdapat catatan, surau Burhanuddin di Ulakan, Pariaman, merupakan pengembang ajaran tarekat Syatariyyah. Lewat surau dan tarekat Syatariyyah inilah Syiah dikembangkan ke dalam masyarakat Minangkabau pada awalnya (Nur 1991: 19).
Tradisi Hoyak Hosen di Pariaman
Pada akhir abad ke-18 di Minangkabau surau-surau tarekat mulai menjadi pionir bagi gerakan pembaruan pemikiran dalam masyarakat Muslim ketika itu. Dalam catatan Azra (2003), Ulakan yang pada awalnya menjadi rujukan keagamaan mendapat tandingan dari bekas murid-murid Burhanuddin, terutama menyangkut pelaksanaan syariat dalam tasawwuf. Sebagai tambahan, Azra juga melihat adanya ketercampurbauran ajaran antara Tarekat Syatariyyah dan Tarekat Naqsyabandiyah di antara para guru-guru tarekat masa itu, sehingga memungkinkan pelaksanaan ajaran Islam tidak lagi suatu yang penting untuk diperdebatkan, seperti perselisihan antara Syiah dan Sunni. Konflik internal kaum surau dan kaum surau vs kaum adat pada masa ini menjadi awal baru bagi pemahaman Syiah di Minangkabau lewat tarekat Syatariyah.
Baca Tabuik, Warisan Syiah tanpa Syiah di Padang Pariaman
Menjelang abad ke-19 sampai dengan abad ke-20, tarekat Syatariyah mulai mengalami pasang naik dan turun. Gema gerakan “kembali ke syariat” pada awal abad ke-19 menjadi lebih radikal ketika tiga orang haji dari Minangkabau kembali dari Mekah. Pemurnian Islam (Revivalism) yang dilakukan oleh kelompok ini tidak saja menghancurkan infrastruktur adat Minangkabau, juga mengeliminasi ajaran-ajaran keagamaan yang dianggap sesat dan bid’ah, termasuk Syiah dalam tarekat Syatariyyah. Gelombang pembersihan ini makin menyudutkan pemahaman Syiah dalam komunitas Syatariyah ketika gerakan modernis Muhammadiyyah di abad ke-20 muncul, sehingga mengecilkan kelompok Syatariyah sebagai sempalan (splinter group) kecil dari tarekat Islam yang masih dipraktekan di daerah kecil di Sumatera Barat, khususnya di Pariaman.
Akan tetapi, setidaknya ada dua bentuk ritual sosio keagamaan dari masyarakat Syatariyyah ini yang masih dapat dikenali, bahkan lambat laun menjadi tradisi (kepemilikan kolektif) oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau. Pertama, tradisi “basapah”, yaitu mengunjungi makam Syaikh Burhanuddin, pada akhir Rabu bulan Safar. Kedua, perayaan sosio-keagamaan Hoyak Hosen atau Perayaan Husein.
Perayaan Hoyak Hosen sendiri merupakan salah satu sintesa dari konflik berkepanjangan antara Islam dan adat dalam masyarakat Minangkabau sejak lama. Lewat peristiwa ini karakter Minangkabau berusaha dikonstruksi, sehingga Syiah bukanlah varian Islam utama dalam masyarakat, tetapi ia dapat diterima untuk dilaksanakan setiap bulan Muharram. Dalam dinamika historisnya selama tigapuluh tahun terakhir (tahun 1980-an) perayaan ini menunjukan sebuah kontestasi terselubung di antara kepentingan revitalisasi peran kaum adat, Islamisasi kaum ulama, dan orientasi ekonomi dari negara, terutama penggunaan simbol-simbol dalam badan dan seremonial Tabuik.
Sejarah Singkat Hoyak Hosen
Data-data terkini dari perayaan Hoyak Hosen menunjukan keterputusan antara tradisi Syiah kelompok Syatariyah dan perayaannya yang baru dimulai pada awal abad ke-19. Tradisi mengusung Tabuik pertama kali dibawa dan dikembangkan oleh oleh tentara Sipahi (Sepooy) ketika Inggris menguasai pesisir barat Sumatra tahun 1825 (Azra 1999: 147). Setelah Traktat London 17 Maret 1829 antara Inggris dan Belanda, wilayah pesisir barat Sumatera yang dikuasai Inggris diserahkan kepada Belanda dan sebagian prajurit Sepoy memilih tinggal di Pariaman. Merekalah yang menganjurkan diadakannya perayaan Asyura dengan membuat Tabuik untuk mengenang kematian cucu Nabi Muhammad tersebut. Anjuran ini tampaknya dapat diterima oleh masyarakat Syatariyah di Pariaman.
Baca Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu
Penerimaan ini dapat dilakukan karena tarekat Syatariyah, pasca gerakan Paderi, dan pembersihan oleh Kaum Muda tahun 1920-an, mengalami moderasi. Moderasi ini tumbuh seiring kesadaran tentang pentingnya menghormati Ahlulbait. Selain itu, khalifah-khalifah Syatariyyah menyusun silsilah tarekat mereka dengan menempatkan imam-imam Syiah sebagai rujukan spiritual mereka. Titik temu lain, menurut Azra adalah tentang konsep al-Insan al-Kamil (Manusia Paripurna). Bagi komunitas Syatariyah, konsep ini mereka wujudkan dalam pemahaman Martabat yang tujuh (tujuh tahap iluminasi absolut).
Sebelum kedatangan tentara Sipahi ke Pariaman, tidak banyak informasi dapat ditemukan atau ditelusuri berkaitan bagaimana
masyarakat Syatariyah memperingati hari kematian Husein sebagai dasar utama dari ritual Syiah dalam perayaan Hoyak Hosen ini. Atau bagaimana Syatariyah di Pariaman memperingati kematian Husein di Padang Karbala sebagai bagian dari identitas Syiah dimasa lampau (masa Burhanuddin). Data sejarah penting sehubungan dengan perayaan ini adalah penelitian Kartomi (1986), Sabar (1992), Ernatip, dan kawan kawan (2000 dan 2001) dan Rahmanelli (2007). Keempatnya lebih banyak menjabarkan perayaan Hoyak Tabuik sebagai tradisi masyarakat Minangkabau, tanpa mengaitkannya dengan pemahaman keagamaan Syiah yang berkembang di daerah itu. Meski demikian, penelitian Sabar menarik untuk dilihat karena menjabarkan dinamika sejarah perayaan ini pada abad ke-20.
Perayaan Hoyak Hosen ini dilaksanakan guna mengenang kematian Husein dalam perang Karbala. Dikisahkan, peperangan ini terjadi ketika Husein berusaha menjadi kalifah universal yang direbut oleh Mu’awiyah bin Abu Sofyan dari tangan Ali bin Abu Thalib. Akan tetapi, sebelum sampai ke tempat Mu’awiyah, di sebuah tempat bernama Karbala, ia dihadang prajurit Yazid yang kemudian membantainya dan para pengikutnya pada tanggal 10 Muharram (Muchtar 2004: 214). Pembantaian Husein dan para pengikutnya ini berkembang menjadi sebuah ekspresi keagamaan melawan tirani dari kelompok Syiah karena mereka percaya dari keturunan Ali bin Abu Thalib-lah yang semestinya menggantikan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam. Semenjak itu, setiap tanggal 10 Muharram ini diperingatilah tragedi Karbala ini dengan perayaan Hoyak Hosen dalam bentuk pembuatan Tabuik di Pariaman.
Bentuk Tabuik dirancang dengan penuh kepercayaan keagamaan yang kental dan indah, dan di sisinya terdapat sebuah kerangka burung yang dinama buraq yang disimbolkan sebagai kendaraan Husein ke surga (Ernatip 2001: 19: Kartomi 1986: 145). Selama sepuluh hari masyarakat menyiapkan bentuk Tabuik yang mereka namakan dengan daraga. Tepat pada tanggal 10 Muharram, setelah serangkaian perselisihan dua kampung pembuat Tabuik diselesaikan, maka pada sore hari Tabuik ini pun dibuang ke laut dan mengakhiri proses peringatan kematian Husein.
Secara garis besar, ada beberapa tahapan pelaksanaan perayaan Hoyak Hosen ini: barantam atau diskusi untuk membuat rencana kegiatan serta badan Tabuik yang diadakan pada tanggal satu Muharram. Setelah diskusi selesai, maka dilengkapi dengan prosesi maambiak tanah atau mengambil segumpal tanah, dengan menjaga kerahasiaan waktu yang tepat dan tempat. Kerahasiaan ini sangat penting untuk menjaga supaya tidak ada sabotase dari pihak kampung sebelah. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang pawang dengan sekitar seratus orang di setiap sisi sungai yang ditemani dengan iringan gendang tasa. Pengambilan tanah ini menyimbolkan pengambilan jenazah Husein yang terbunuh di Padang Karbala. Setelahtanah itu diambil, kemudian dibawa ke daraga atau simbol dari kuburan Husein dengan iringan riuh para pengantar.
Setelah daraga atau kerangka Tabuik dibuat, maka prosesi hari berikutnya adalah memotong batang pisang dengan membawa sebilah pedang keramat yang dinamakan oleh penduduk, Pedang Jenawi. Beberapa batang pisang dijejerkan disebuah tempat untuk kemudian ditebas dengan satu kali ayunan. Ketajaman pedang yang digunakan menyiratkan pada pengikut Husein kekejaman algojo-nya, sehingga massa kemudian bersorak dengan ekspresi kemarahan.
Ekpsresi kemarahan ini kemudian dibawa ke tengah kota. Di jalan-jalan utama anggota rombongan berteriak histeris dan emosional sehingga pada satu titik dua keluarga Tabuik, para pewaris perayaan, bertemu sehingga pertemuan ini pun melahirkan perkelahian massal. Meski perkelahian ini sifatnya bagian dari prosesi, tetapi tidak jarang para pelakunya melakukannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan salah satu penyebab dilarangnya perayaan Hoyak Hosen ini oleh Pemerintah Kolonial adalah potensinya untuk diarahkan sebagai bagian perlawanan terhadap mereka. Prosesi berlanjut sampai 10 Muharram dengan acara menebas batang pisang sebagai simbol kemarahan pada tentara Mu’awiyah, dan diakhir dengan dibuangnya Tabuik ke laut.
Kesalehan nan Terlampauhi
Perayaan 10 Muharram atau Hoyak Hosen atau Hoyahosen dalam masyarakat Pariaman selama seratus tahun terakhir terus mengalami degradasi nilai dan makna. Kini, perayaan ini tidak lagi bersifat ritual yang penuh dengan nuansa suci dan mistik, tapi berubah menjadi ajang permainan dan konsumsi kapitalisme. Selama kurun tahun 2000 sampai tahun 2008 lalu, perayaan ini menghasilkan transaksi sekitar 7,5 milyar rupiah. Sebagai tambahan, perayaan Hoyak Tabuik tidak semata mengingat kesahidan Husein di Padang Karbala, tetapi juga menjadi bagian dari program pemerintah, wisata, dan penguat solidaritas keminangkabauan.
Pasca-Traktat London, meskipun dalam skala kecil, perayaan Hoyak Tabuik dilakukan di Pariaman. Akan tetapi, unsur-unsur kekerasan sebagai bagian dari perayaan, yang menjadi replika perang di Karbala, tampak mengkuatirkan pemerintah kolonial. Akan tetapi, masa kolonial Belanda perayaan Tabuik dijalankan dengan cara meriah, di mana Tabuik yang tampil sampai 12 buah. Pemerintah kolonial sering melarang perayaan ini, khususnya pada tahun 1920-an dan 1930-an karena ketegangan dan bahaya terhadap ketertiban umum. Akan tetapi, perayaan Tabuik yang tidak rutin ini masih bersifat ritual sehingga dinamakan Tabuik Adat.
Prosesi Hoyak Hosen hilang selama pendudukan Jepang. Tabuik adat ini sebelum dirayakan selalu dilaksanakan lebih dahulu acara selamatan yang dipimpin oleh pawang masing-masing Tabuik. Acara diawali dengan doa yang diiringi dengan penyembelihan ayam serta pembakaran kemenyan di dalam rumah Tabuik. Do’a itu dibaca untuk kemuliaan arwah Husein. Pada masa itu, Tabuik berjumlah lima buah yang dibiayai oleh masing-masing masyarakat di setiap nagari di Pariaman. Dalam hal pembuatannya, dilakukan secara gotong-royong sampai tahun 1969. Tabuik kembali dirayakan pada tahun 1980. Mengingat pembiayaan Tabuik yang cukup besar, maka jumlah Tabuik-nya hanya tinggal dua buah: Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang sampai kini (2010).
Dalam pelaksanaan Tabuik, golongan Sidi dan Bagindo merupakan pemberi dana bagi pelaksanaan upacara Tabuik. Sedangkan golongan sutan adalah yang berkepentingan pada adat dan permainan anak nagari. Mereka juga menjadi penjaga keamanan selama kegiatan berlangsung. Sedangkan golongan marah adalah pekerja pembuatan Tabuik. Sidi dari kata “sayyid” untuk menunjukkan asosiasinya ke ulama atau pemuka agama; Bagindo diasosiasikan ke gelar bangsawan (“Sir” dalam bangsawan Inggris). Mereka bergerak dalam bidang perdagangan. Sutan, gelar untuk golongan menengah dan merepresentasikan dari Kaum Adat dan Marah untuk rakyat biasa. Antara tahun 1950-an sampai tragedi 1965, perayaan Hoyak Hosen mengalami degradasi nilai dan kesakralan. Jamak perayaan ini tidak lagi mengikuti tradisi yang berlaku, yaitu diadakan setiap tanggal 1-10 Muharram. Oleh karena efeknya yang mampu menarik massa dalam jumlah besar, perayaan Hoyak Hosen banyak dilaksanakan sebagai bagian dari propaganda partai politik, utamanya PNI dan PKI (Kartomi 1986:157-158).
Perayaan Hoyak Hosen baru diizinkan kembali oleh Orde Baru di tahun 1980. Pada Muharram tahun 1972, perayaan Hoyak Hosen sebenarnya dihidupkan kembali, tetapi pemerintah Orde Baru kemudian melarangnya sampai tahun 1980. Sebelumnya, pasca pembantaian massal di tahun 1965, masyarakat Pariaman pada tahun 1967 kembali mengadakan perayaan Hoyak Hosen. Akan tetapi, karena dekatnya dengan trauma oleh pembantaan massal, perayaan ini kemudian dihentikan karena terjadi kerusuhan massa, utamanya ketika prosesi mahatam dan mengarak jari-jari Husein (Tempo, 25 Maret 1972).
Seiring dengan besarnya potensi ketidakstabilan Pariaman ketika diadakan perayaan Hoyak Hosen, maka pemerintah Orde Baru pun mulai campur tangan langsung dalam pelaksaan perayaan ini. Campur tangan pemerintah dalam perayaan Hoyak Tabuik ini dimulai pada tahun 1980 ketika Bupati Anas Malik kembali mengadakannya. Ia menekan dan mengeliminir perkelahian yang mendatangkan kerusuhan dan ketidakstabilan Pariaman dalam perayaan. Anas Malik kemudian mereduksi perayaan Tabuik sebagai bagian dari komoditi ekonomi. Kata Anas Malik, “ Tabut ini saya namakan Tabut Adat, Tabut Pariwisata dan Tabut Pembangunan!” [Tempo, 19 September 1987]
Semenjak tahun 1991 perayaan Hoyak Hosenini kemudian diarahkan sebagai penarik wisatawan ke Pariaman dan pembawa pesan pembangunan pemerintah Orde Baru. Sejak masa ini, perayaan Hoyak Hosen dianggap sebagai salah satu acara pariwisata, sehingga pemerintah menganggapnya sebagai asset negara. Di masa Orde Baru inilah Negara membawakan diri sebagai pemilik utama dari perayaan. Hal ini tampak dengan protokoler pemerintah daerah dan himbauan-himbauan khas Orde Baru.
Kejatuhan Orde Baru tidak membawa perubahan apa apa menyangkut peran Negara dalam perayaan. Selama 10 tahun terakhir (1999-2009) Pemda, dalam hal ini gubernur, walikota, dan bupati makin mendapat posisi strategis dalam masyarakat terutama menyangkut perubahan mendasar di Sumatera Barat, yaitu implementasi wacana “Kembali ke Nagari”. Wacana ini dalam dinamikanya, dimainkan oleh tiga eksponen penting sebagai penggerak; Kaum Adat, Kaum Agama, dan Negara yang diwakili oleh Pemerintah Daerah. Ketiganya berusaha memberi definisi secara substansial atas identitas kebudayaan Minangkabau.
Pertanyaan siapa dan apa yang disebut orang Minang itu dikonstruksi secara berbeda dan menjadi kontestasi di antara mereka. Kontestasi ini terjadi karena, pertama, terkacaukan dan meningkatnya kesadaran masyarakat adat akan ancaman terhadap otoritas dan kemegahan tradisi mereka sebagai pantulan kewajaran ketika berhadapan dengan kepentingan politik negara, dan penguatan nilai keagamaan. Kedua, kepentingan pemberlakuan norma-norma agama dalam ruang identitas kultural dan politik. Ketiga, kepentingan politik negara dalam menata ruang sosio-kultural masyarakat dan imbas kekuatan sebagai representasi makna dan hukum.
Negara menjadikan jargon budaya sebagai orientasi kebijakan politiknya lewat munculnya peraturan-peraturan daerah, sehingga ABSSBK (adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah) menjadi sesuatu yang formal-legalistik. Bagi Negara, yang diwakili Pemda-Pemda di Sumatera Barat, ruang ABSSBK tidak semata konstruksi kultural, tetapi juga ruang politis. Dalam ruang konstruksi inilah dasar perayaan Hoyak Hosen di Pariaman diadakan di masa reformasi ini. Dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2009 lalu, theHoyak Hosen telah memunculkan pro-kontra dalam perayaannya. Pertama, pelaksanaan perayaan Tabuik tahun 2006 misalnya diadakan dari tanggal 31 Januari sampai tanggal 12 Februari. Pelaksaannya berlangsung selama 13 hari, bukan 10 hari (1 sampai 10 Muharam). Hal ini merupakan kebijakan pemerintah daerah dan masyarakat setempat dengan upaya menarik wisatawan untuk melihatnya sehingga pelaksanaan puncak upacara Tabuik mulai dari Hoyak Tabuik dan membuang Tabuik ke laut diadakan pada hari minggu atau hari libur.
Kedua, pemerintah berencana menambah perayan Hoyak Tabuik dari satu kali menjadi dua kali setahun. Mereka menemakannya dengan Hoyak Hosen/Hoyak Tabuik Pariwisata. Dalam sebuah Koran nasional, Kompas, walikota Pariaman menyatakan: Tabuik masih menjadi ikon wisata di Kota Pariaman. Hanya saja, selama ini Tabuik hanya digelar untuk kepentingan adat dan tradisi
saja. Kita sedang merancang Tabuik untuk kepentingan wisata. Rangkaian Tabuik itu nantinya tidak selengkap Tabuik yang selama ini dibawakan, tetapi hanya mementaskan sejumlah acara saja, seperti Hoyak Tabuik, kata Mahyuddin (Kompas, 21 Januari 2008).Rencana itu diharapkan bisa segera terealisasi agar pariwisata di Pariaman bisa bergairah, tidak hanya pada saat acara Tabuik tahunan saja.
Sebelumnya setiap tahun digelar Pesta Tabuik menyambut Tahun Baru Islam yang menjadi kalender tetap pariwisata Sumbar. Karena atraksi itu sangat menarik kunjungan wisata, maka direncanakandigelar pesta ‘Seri-II’ yang dinamakan Hoyak Tabuik Pariwisata, kata Walikota Pariaman, H Mahyuddin di Pariaman (Kompas, 31 Januari 2008).
Pemerintah menjelaskan bahwa ada perbedaan antara pesta Tabuik adat dengan Tabuik pariwisata. Tabuik adat untuk menyambut tahun baru Islam dan dilaksanakan dengan semua prosesi-prosesi adat, sedangkan Tabuik pariwisata hanya dengan satu prosesi yaitu “hoyak” (mengarak dan mengoyang) Tabuik sebagai bagian dari keramaian. Untuk waktu pelaksanaan akan diputuskan kemudian, tetapi ada usulan agar diselenggarakan pada12 Juli, bertepatan dengan hari ulang tahun Kota Pariaman. Meskipun Tabuik pariwisata tidak sebesar Tabuik adat, tetapi minimal bisa menambah kunjungan wisatawan ke Pariaman. Akan tetapi, keinginan pemerintah ini ditolak oleh para Kaum Adat dan keluarga Tabuik karena bisa menghilangkan nilai-nilai Budaya dan sakral dari tradisi yang telah digelar sejak tahun 1829. Akan tetapi, pada sisi lain, para Kaum Adat dan keluarga Tabuik menyadari dilema keberadaan mereka dalam keseluruhan perayaan ini. Akan tetapi, mereka mencoba beberapa hal yang bisa mengaktualisasikan keberadaan mereka sebagai pemilik sah dari perayaan, baik sebagai tradisi, dan sebagai warisan.
Bagi kaum adat, perayaan Hoyak Hosen merupakan sebuah tradisi Minangkabau sebagaimana sejarah tradisional (Tambo) mereka telah menyebutkan. Untuk keperluan ini para Kaum Adat ”memaksakan” aksesoris adat Minangkabau seperti diawali dengan tari Indang, dan pemakaian pakaian tradisional Minangkabau. Pada akhir keseluruhannya, para elit Kaum Adat melegitimasi keberadaan perayaan Hoyak Hosen sebagai bagian dari manifestasi kultural dari ABSSBK.[]
Dikutip dari artikel Yudhi Andoni dalam buku Sejarah dan Budaya Syiah di Asia Tenggara