Berita
Derita Tanpa Akhir Pengungsi Rohingya
Lebih dari 125.000 Muslim Rohingya terusir dari rumahnya, pada tahun 2012 saat terjadi konflik di Rakhimne, Myanmar, mengakibatkan gelombang pengungsian besar-besaran. Terakhir, pada Mei 2015, sekitar 8000 Muslim Roghingya kembali terombang-ambing di tengah laut tanpa penolong.
Tak hanya itu, derita mereka pun seolah tak pernah usai. Bukan hanya kesulitan mencari suaka ke negara lain, kekerasan juga menimpa mereka saat berada di atas perahu.
“Ada yang kerap dipukuli tanpa alasan apapun, termasuk anak-anak,” jelas Papang Hidayat, peneliti Amnesty International wilayah Indonesia, Timor-Leste, Asia Tenggara dan Pasific dalam siaran Pers “Peluncuran Laporan Amnesty International: Dangerous Journeys, The Refugee and Trafficking Crisis in Southeast Asia” di LBH Jakarta (22/10).
Lebih mengerikan lagi menurut Papang, ada yang mengalami penyiksaan hingga tewas. Sebagian besar yang diwawancarai mengaku bahwa mereka pernah mengalami kekerasan atau setidaknya melihat orang lain mengalami kekerasan oleh awak kapal.
“Jadi, ada yang melihat mayat dibuang dan segala macam,” tegas Papang.
Hasil interview Amnesty Internasional juga menyebutkan ternyata ada imigran yang tak dimintai biaya alias gratis. Diduga, mereka membayar setelah sampai di tujuan.
“Saat sudah sampai, bayarnya pakai apa?”
Ternyata dari penelitian Amnesty International ada beberapa laporan di daerah Thailand (di satu tempat di daerah perikanan), yang 80% pekerjanya orang Rohingya. Mereka terjebak dalam kegiatan menyerupai kerja paksa tanpa upah guna memenuhi kewajibannya membayar hutang.
Bahkan beberapa orang yang ditemui Amesty International mengatakan, saat mereka masih di kapal, ada awak kapal yang menelepon keluarga mereka di tempat asal, meminta uang tebusan.
“Di situ kita menggambarkan situasi tragedi kemanusiaan ini sebagai tanggung jawab regional dari pemerintahan di kawasan tersebut,” pungkas Papang. (Lutfi/Yudhi)