Berita
Deradikalisasi: Langkah Panjang Melawan Terorisme
Diskusi Publik bertema “Deradikalisasi Menangkal Bahaya Terorisme” dimulai pukul 13.50 WIB Selasa (9/2) bertempat di Graha Gus Dur, Jakarta Pusat.
Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar yang akrab disapa Cak Imin, saat membuka acara mengingatkan perlunya menghadapi aksi terosisme, salah satunya dengan melakukan deradikalisasi. Ia berpesan kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya umat Islam agar terhindar dari salah paham akibat salah berorganisasi.
“Berorganisasilah, jangan beragama sendiri-sendiri,” pesan Cak Imin.
Deradikalisasi Perlu Waktu
Narasumber pertama Komjen Saud Usman Nasution selaku Kepala BNPT menjelaskan bahwa sejak era reformasi ada dua pasal yang membuat terorisme muncul ke permukaan. Pertama Undang-Undang terkait kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi,
“Setiap orang boleh ngomong, saya ISIS dan tidak dilarang,” terang Saud Usman.
Kedua, Undang-Undang keormasan yang hanya mengatur ormas yang terdaftar. Itu pun sanksinya hanya dua; pertama izinnya dibekukan. Kedua, izinnya dicabut. Sedangkan ormas yang tidak terdaftar tidak ada sanksinya, padahal berpotensi lebih berbahaya.
“Bahkan itu yang lebih radikal,” tegasnya.
BNPT selama ini melakukan dua kegiatan di penjara dan di luar penjara. Di dalam penjara meliputi profiling, mengubah mindset, me-reedukasi, dan me-resosialiasi. Sedangkan di luar penjara dengan lebih memperhatikan perkembangan dari setiap yang terkait dengan aksi teror meliputi para terpidana, mantan terpidana serta kalangan keluarganya, saudara dan tempat belajarnya.
Kegiatan tersebut awalnya diangggap Barat bahwa Indonesia mendukung teroris, terlalu lembek terhadap teroris. Tapi bagi Saud Usman itulah yang sesuai saat ini di Indonesia.
“Proses deradikalisasi bukan baru (langsung selesai) tapi butuh waktu yang panjang,” terang Saud Usman.
Takut Dosa dan Beda Tafsir
Narasumber kedua, Nasir Abbas, pengamat terorisme, menguraikan pengalamannya. Pernah suatu saat diberi kesempatan oleh BNPT untuk bertemu dengan Ali Imron, Ali Ghufron, Idris, dan teman-temannya yang dipenjara. Mereka justru bertanya tentang hukum Islam dalam menjawab pertanyaan.
“Bang, dosa ngga kita menjawab pertanyaan polisi?” tiru Nasir Abbas mencontohkan pertanyaan dari temannya.
Menurut Nasir Abbas, yang diperlukan dari upaya deradikalisasi itu adalah komunikasi. Karena ada sisi-sisi yang keliru dan kebodohan dalam memahami hukum oleh para pelaku aksi terorisme.
“Deradikalisasi itu adalah membangun komunikasi, bukan membuat mereka jera,” terang alumni Akmil Mujahidin Afganistan tersebut.
Sehingga banyak di antara yang tertangkap seringkali tutup mulut, atau hanya menjawab dengan istighfar. Sehingga kadang menyulut emosi polisi yang menginterogasinya.
“Jadi bukannya mereka tidak kooperatif, tapi takut dosa,” canda Nasir Abbas.
Ada satu contoh penafsiran surah Al-Anfal ayat 60 pada lafal turhibuuna bihi ‘aduwallahi wa ‘aduwwakum, versi terjemah Kemenag menyebutkan “Kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu”, sementara mereka justru menerjemahkannya sebagai perintah untuk melakukan aksi teror.
“Al-Anfal ayat 60 (terjemahnya) ‘mereka menggentarkan’ diterjemahkan ‘kalian menteror,” terang Nasir Abbas.
Pendidikan dan Kekhawatiran
Narasumber ketiga Prof. Dr. Machasin MA. dari Dirjen Bimas Islam Kemenag RI, menjelaskan upaya Kemenag selama 10 tahun terakhir yang juga memuat upaya deradikalisasi. Pertama, Pendidikan yang mengedepankan pendekatan budaya masyarakat Indonesia. Kedua, Kampanye Islam bekerjasama dengan beberapa organisasi di Indonesia. Ketiga; Pembinaan Keluarga yang disebut Keluarga Sakinah. Keempat; menyebar penyuluh agama.
“Kalau dulu orang itu khawatir kalau anaknya itu pergi nonton film, sekarang ini kita khawatir kalau anak itu ikut pengajian,” terang Prof. Machasin.
Pentingnya perhatian dan pendidikan keluarga dimaksudkan agar tidak terjadi ada anak mengkafirkan orang tuanya hanya karena si anak menganggap Islam itu menegakkan jihad, bukan seperti yang diamalkan kedua orang tuanya.
“Sehingga penting bagi orang tua memperhatikan, dimana anaknya mengaji, dengan siapa dan materi apa yang diajarkan,” pungkasnya.
Keluar Indonesia dan Payung Hukum
KH. An’im Machrus, anggota Komisi VII DPR RI, mengisahkan ketika Rasulullah saw mendirikan negara dengan hijrah ke Madinah karena di Mekkah sudah ada pemerintahan oleh suku Qurays. Dengan demikian bagi yang menyuarakan jihad dan yang terpancing mendirikan negara Islam adalah keliru dan dipersilakan keluar dari Indonesia.
“Cari tempat yang belum ada pemerintahannya, kira-kira di Kutub Utara,” tegas KH. An’im Machrus yang akrab dipanggil Gus An’im.
Menurut hasil pengamatannya, bila belum ada payung hukum untuk menindak kecuali setelah terjadinya tindakan pidana, dikhawatirkan ketika berlarut-larut dengan alasan reformasi mereka bebas mengembangkan paham-pahamnya yang membahayakan NKRI, jika mereka makin bertambah besar. Menurutnya, tentu ke depan hal ini akan merepotkan Pemerintah
“Karena Pemerintah akan dihadapkan dengan rakyatnya,” jelas Gus An’im sebelum diskusi berakhir pada pukul 16.00 WIB dengan penyerahan cinderamata kepada masing-masing narasumber. (Sulton/Yudhi)