Berita
Dari Barongan Hingga Ondel-Ondel
Apa yang pertama kali terbersit di kepala saat disebutkan kata Betawi? Tak pelak, ondel-ondel pasti langsung terbayang. Sebuah boneka besar dengan hiasan dan dandanan khas Betawi yang tak hanya menjadi simbol budaya Betawi, tapi juga menjadi kebanggaan Jakarta.
Di tengah arus deras benturan budaya global yang tak bisa dicegah di zaman teknologi yang menyempitkan ruang ini, ondel-ondel masih bertahan. Sebagai produk budaya yang terus berkembang, ondel-ondel memiliki kisahnya dan kearifan lokalnya sendiri.
Adalah Mulyadi, ayah dari empat anak yang tinggal di Pasar Gaplok, Kramat Pulo, Senen yang sejak 2010 merintis usaha membuat ondel-ondel ikut melestarikan warisan budaya Betawi ini. Berawal dari ide anaknya, Waldi, ia membuat ondel-ondel khas Betawi.
“Waldi bikin kedok (topeng), terus saya nerusin bikin rangkanya,” tutur Mulyadi mengingat awal-awal memulai usahanya ini. “Sepuluh hari lengkapnya. Sepasangnya laki-perempuan, lima-tujuh jutaan harganya.”
Selain menjual ondel-ondel yang dibuatnya, Mulyadi juga menyewakan ondel-ondel miliknya kepada kelompok anak-anak muda yang mengamenkannya keliling kampung. Mulyadi memasang sistem setoran. “Yang ngamen ondel-ondel itu setoran. Sehari seratus ribu. Pagi sampai malam,” ujar Mulyadi.
Berbeda dengan Mulyadi, Jazuri, Ketua RT8/RW9 Cipedak, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan juga memproduksi ondel-ondel. Tetapi ia tidak membuat ondel-ondel besar, tetapi lebih banyak membuat ondel-ondel mini sebagai perhiasan berbagai ukuran.
Sanggar Seni Citra Argawana, itulah nama sanggar yang diasuhnya. Di sanggar seni ini, ketua RT yang akrab dipanggil Bang Jaxc ini menampung hingga 200 pemuda kampungnya sejak 1995. Ia menggratiskan para pemuda kampungnya untuk belajar bagaimana membuat ondel-ondel.
“Saya membuat ini niatnya untuk edukasi ke generasi muda. Jangan sampai sebagai orang Betawi lupa dengan budaya sendiri.” ujar Bang Jaxc. “Nah, pengembangan budaya ini juga harus dibantu dan difasilitasi oleh pemerintah.”
Dinamika dan Makna Filosofis Ondel-Ondel
Ondel-ondel adalah nama yang banyak dikenal oleh masyarakat. Namun sedikit yang tahu bahwa ondel-ondel bukanlah nama asli ondel-ondel yang kita kenal sekarang ini. Hal ini diungkapkan oleh Mulyadi saat ABI Press mewawancarainya.
“Saya ini asli Betawi. Dari kecil saya tahunya namanya barongan, bukan ondel-ondel,” aku Mulyadi. “Gak tahu sejak kapan kok berubah jadi ondel-ondel.”
Saat ABI Press menemui H. Tatang Hidayat, SH, Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) di kantornya, H. Tatang membenarkan hal itu. “Dulu memang namanya barongan,” ujar H. Tatang. “Orang lebih mengenal nama ondel-ondel itu setelah dipopulerkan oleh Bang Benyamin Sueb dengan lagunya ‘Ondel-Ondel’.”
Menurut H. Tatang, barongan awalnya merupakan alat kontrol dari orangtua untuk mendidik anak-anaknya. Barongan dijadikan sebagai simbol pendidikan karakter sebagai penghukum dan menakut-nakuti anak yang kelakuannya tidak baik. Agar anak-anak mengikuti apa yang diajarkan oleh orangtua mereka. “Barongan dulu untuk menakut-nakuti anak yang nakal, agar anak-anak disiplin ngaji, shalat, misalnya,” tuturnya. “Makanya kan kalau barongan yang asli itu wajahnya dibuat menyeramkan.”
“Barongan juga dulu dipakai saat ada karnaval syukuran sedekah bumi, sebagai ungkapan syukur panen,”tambah H. Tatang. “Kalau dulu menanam kepala kerbau, sekarang diubah sedekah ke orang miskin.”
Namun saat ini, seiring perkembangan zaman mulai ada pergeseran nilai barongan yang tadinya menjadi simbol pendidikan karakter anak kecil sekarang berubah menjadi simbol kesenian. Ditandai dengan pengembangan bentuk-bentuk ondel-ondel yang cantik dan tak lagi menyeramkan.
Dukungan Pemerintah
LKB sebagai lembaga masyarakat yang konsen melestarikan dan mengembangkan budaya Betawi sendiri telah mengasuh dari tahun 2010 sejumlah 40 sanggar seni, hingga 2014 ini berkembang menjadi 140 sanggar. Hal ini menurut H. Tatang sangat positif.
Karena itu pula LKB menyatakan ketidaksetujuannya atas adanya rencana pemerintah DKI yang dicetuskan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ahok, yang berencana melarang ngamen ondel-ondel di Jakarta.
“Yang berkeliling itu kan anak-anak muda, merekalah generasi penerus. Mestinya kita dukung dan apresiasi,” ujar H. Tatang. “Kalau pun demi kerapian kota dilarang di jalan-jalan, ya pemerintah harus menyediakan tempat. Di objek-objek wisata yang dikelola pemerintah atau swasta. Karena melestarikan budaya itu adalah tanggungjawab konstitusi.”
Selain pemerintah, masyarakat pun memiliki andil dalam melestarikan budaya, tekan H. Tatang. Dia kembali mengingatkan adanya tiga peran masyarakat dalam hal ini yaitu sebagai pelaku atau praktisi seni, sebagai pembina yang memfasilitasi pihak yang mau berkesenian dan sebagai mediator antara pelaku seni dengan pemerintah. (Muhammad/Yudhi)