Berita
Dalam Kepungan Kebencian
“Kita mau pergi beribadah, kita juga beribadah tidak salah, dilindungi undang-undang”
“Kalau ada ujaran kebencian, jangan pernah membalas, ada kekerasan jangan pernah membalas, kalau dibalas, apa bedah kita dengan mereka?”
Pesan pendeta Palti Panjaitan, pemimpin jamaat HKBP Filadelfia, Tambun, Bekasi, sesaat sebelum memimpin jamaatnya berangkat beribadah ke gereja Filadelfia. Jamaatnya yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dewasa yang komposisinya hampir berimbang berjumlah sekitar seratusan orang.
Pendeta Palti berjalan paling depan, kemudian diiringi oleh para jamaatnya dari belakang. Belum sampai mendekati gereja, rombongan pendeta dan jamaat dihadang oleh lima ratusan lebih orang-orang mengenakan baju putih dan kopiya putih. Hadangan berlanjut dengan pengepungan, antara para penghadang dan rombongan pendeta Palti hanya dibatasi oleh polisi untuk antisipasi betrok fisik.
Rombongan pendeta Palti terpaksa berhenti. Sontak terdengar suara dari sebuah toa yang dipegang oleh koordinator penghadang dengan teriakan “Kafir!” “Usir!” “Bunuh!” “Darah halal untuk ditumpahkan!” yang juga disambut dengan teriakan yang sama oleh anggota aksi.
Pendeta Palti bereserta jamaatnya berusaha untuk tetap tenang dan memutuskan melaksanakan kebaktian di tempat mereka terhenti. Prosesi Misa yang hanya dilakukan dengan pembacaan doa itu pun tak mampu berjalan hikmat. Hujan ujaran kebencian dari para penghadang, disertai hujan batu, hujan air comberan dimasukan plastik bahkan juga air kencing pun ada.
Jamaat Filadelfia yang sedang melakukan prosesi doapun panik menangkis batu, air comberan dan air kecing yang menghujani mereka, tak sedikit jamaat yang terkena batu, basah akibat guyuran air kecing dan comberan. Hujan batu, comberan dan air kencing terus terjadi seiring dilakukannya prosesi doa. Kejadian yang dialami oleh para jamaat Philadelfia terus berulang setiap minggunya selama tahun 2012.
Aparat kepolisian yang berada dilokasi saat Pendeta Palti dan Jamaat dihujani ujaran kebencian dan aksi-aksi penghinaan lainnya tidak mampu berbuat apa-apa.“Saya sangat kecewa, polisi berada di depan mata, tapi tidak mampu menghentikan ujaran kebencian yang selalu ditujukan pada kami”, Keluh pendeta Palti.
Pada malam Natal, 24 Desember 2012, seperti halnya umat Kristiani lainnya, pendeta Palti beserta Jamaatnya pun juga memperingati malam Natal. Bergergaslah mereka pada malam itu bersama-sama ke gereja dan seperti biasanya, Pendeta Palti memimpin berjalan di depan. Malam itu para penghadang pun ternyata juga telah siap dan sekali lagi ujaran kebencian, hujan batu, air comberan dan air kencing kembali menghujani para Jamaah gereja Filadelfia.
Kali ini tidak seperti minggu-minggu biasanya, para jamaat lebih panik. Gelapnya malam membuat mereka susah menangkis hujan batu, air comberan dan air kencing yang datang. Pendeta Palti yang menyadari hal itupun mencoba menenangkan jamaatnya.
Namun kala menengok kebelakang, pendeta Palti sangat terkejut, hanya tujuh jamaat yang tersisa dibelakangnya, jamaat yang lain panik dan pergi menyelamatkan diri. Jadilah pendeta Palti menjadi sasaran empuk ujaran kebencian beserta jamaat yang tersisa. Hujan batu, guyuran air comberan dan air kencing menghujam tubuh mereka hingga basah kuyup.
“Kini sejumlah jamaah menjadi traumatik dengan simbol-simbol keagamaan, sebab akan teringat kembali penganiayaan yang telah mereka alami” tutur pendeta Palti.
Dari sudut pandang ilmu komunikasi, ujaran kebencian yang dialami oleh jamaat HKBP Filadelfia dapat juga disebut sebagai “Propaganda”. “Yaitu dengan sebuah pesan kunci yang disampaikan secara terus menerus dengan tujuan tertentu” jelas pakar Komunikasi yang sekaligus adalah ahli Hipnoterapi, Andreas Pasolympia.
Hitler pada masa perang dunia kedua dengan penasehat komunikasinya juga melakukan propaganda yang mirip sistematisnya dengan ujaran kebencian. Dengan satu pesan kunci yang disampaikan secara terus menerus dan sistematik, sehingga apa yang disampaikan oleh Hitler saat itu dianggap sebagai sebuah realita oleh para pengikutnya.
Ujaran kebencian yang dilakukan terus menerus adalah juga murni sebuah hipnotis, dengan mengajak halayak untuk membayangkan dengan menyetuh rasa empati dan rasa sakit mereka, sehingga menimbulkan pergolakan emosi. Pada akhirnya halayak akan disodorkan sebuah solusi dan solusi yang diberikan hanya dari satu sudut pandang, si penyebar ujaran kebencian tersebut. Hal itu disebut oleh Andreas sebagai pola memanfaatkan ilusi rasa sakit dalam diri manusia.
Dari sudut pandang Psikologi komuniskasi, Andreas menjelaskan bahwa tuduhan dalam ujaran kebencian juga bisa disebut Delusi, sebuah kepercayaan yang sebenarnya salah, tapi dipegang teguh atau dianggap benar oleh sebuah kelompok atau individu. Delusi bisa mengakibatkan sebuah tindakan yang bertentangan dengan norma-norma sosial, norma-norma positif. Karena mereka begitu terhipnotisnya, mereka begitu kuat memiliki kepercayaan yang padahal belum tentu juga benar.
Berpikir lebih rasional lagi, perluas sudut pandang, bergaulah yang lebih luas sampai muncul inspirasi dari badan kita untuk bergerak lebih konstruktif, karena pada dasarnya dalam hati yang paling dalam itu konstruksinya adalah kebaikan yang pasti mengakomodasi semua pihak dan berbasis welas asih. Begitulah tips dari Andreas untuk terhindar dari hipnotis ujaran kebencian.(Lutfi)