Daerah
NU Mengikuti Jalan Aswaja
Bid’ah, kafir, sesat, dan ahli neraka serta kembali pada Al Quran dan As Sunnah, adalah beberapa ungkapan yang akhir-akhir ini seolah menjadi istilah paling populer di sebagian kalangan kaum Muslimin, dan biasa disampaikan kelompok tertentu untuk mendakwahkan pahaman mazhab mereka.
Adab dan cara berdakwah kelompok ini tak jarang mengakibatkan gesekan di antara sesama umat Islam.
Nahdlatul Ulama, sebagai salah satu ormas Islam yang telah cukup lama eksis di Indonesia, menghimbau agar warganya tidak terpengaruh dan ikut-ikutan menyesatkan, mengkafirkan, membid’ahkan antar sesama Muslim meskipun antara mereka ada sedikit perbedaan pandangan dan penafsiran.
Hal itu seperti yang disampaikan KH. Achmad Ishomuddin, anggota Syuriah PBNU dalam acara Haul Imam Syafi’i dan peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw Minggu (15/6) lalu di Masjid Jami’ Al-Ikhlas, Tambun Utara, Bekasi, Jawa Barat.
Kiyai Achmad mengatakan bahwa banyak anak muda saat ini yang semangat beragamanya melampaui kemampuannya untuk memahami agama.
Sehingga mereka mudah sekali mengkafirkan, membid’ahkan, menyesatkan umat Muslim yang berlainan mazhab. Padahal seharusnya tidak mengkafirkan, tidak menyesatkan, tidak membi’dahkan antar sesama Muslim itu menurutnya adalah aqrobur rahmah, sesuatu yang lebih dekat pada kasih sayang.
“Orang itu kalau belum dalam ilmunya, biasanya akan memiliki hati sempit dan tidak lapang dada. Sehingga gampang menyalahkan orang lain yang berbeda (pandangan) dari dirinya,” tutur Kiyai Achmad mengingatkan.
Semetara itu, KH. Gus Idrus Romli, dari tim Aswaja Center Jawa Timur, menekankan bahwa Imam Syafi’i adalah imamnya para ahli hadis. Sebab itulah mazhab Syafi’i paling kaya dengan pakar tafsir, pakar hadis, pakar Ushul Fikih dan pakar keilmuan lainnya.
Mazhab Syafi’i menurutnya juga memiliki rujukan paling kuat. Hampir semua kitab-kitab hadis yang ditulis oleh para ulama ternyata memiliki rujukan paling cocok dengan ulama mazhab Syafi’i.
Gus Idrus juga menerangkan bahwa saat ini umat Islam digempur oleh kelompok yang menggunakan agama sebagai sekadar jargon dan slogan belaka. Slogan yang kerap didengungkan adalah “Mengajak umat Islam kembali pada Al-Quran dan Sunnah.” Dia berpesan untuk tidak mudah terpengaruh oleh slogan agama semacam itu jika ujung-ujungnya hanya akan berdampak pada rusaknya ukhuwah di tengah umat Islam..
Karena jargon semacam itu menurut Gus Idrus murni hanya sebuah propaganda. Bila diteliti lebih jauh, maksud dari jargon “Kembali pada Al-Quran dan Sunnah” yang mereka sampaikan itu bukanlah seperti apa yang dipahami oleh ulama tafsir. Melainkan merujuk pada terjemahan Al Quran yang mereka pahami secara tekstual saja, karena sebagian besar dari mereka tidak mengerti bahasa Arab.
“Kami warga Nahdliyin, kalau diajak kembali pada Al Quran, kami ini bagian terdepan untuk kembali pada Al Quran tapi jangan diajak untuk kembali pada sekadar terjemahan,” terang Gus Idrus.
Begitu pun jargon kedua “Kembali pada As Sunnah.” Menurut Gus Idrus, hal itu maksudnya bukan kembali kepada kitab-kitab hadis, seperti yang dipahami oleh ulama ahli hadis. Bukan! Tapi kembali pada sunnah, yaitu pada hadis versi mereka, yang hadisnya hanya satu saja, “Kullumin bid’atin dhalalah, wa kullumin bid’atin fi nar.”.
“Masa mengajak kembali pada hadis, tapi hadisnya cuma satu,” seloroh Gus Idrus.
Menurut cerita Gus Idrus, orang-orang dari kelompok yang terbiasa mengusung jargon-jargon yang sepintas tampak Islami itu ketika ditanya mengenai larangan peringatan Isra’ Mi’raj, peringatan Maulid, acara haul para ulama, pasti mereka tetap juga akan mengeluarkan satu hadis andalannya itu.
Padahal Gus Idrus menegaskan bahwa Imam Syafi’i membagi bid’ah menjadi dua, yaitu Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Dhalalah, dan peringatan-peringatan Maulid, haul, dan lain-lain yang ada di NU itu termasuk Bid’ah Hasanah.
“Maka dari itu, kita harus terus istiqamah berada di Jalur Ahlu Sunnah Wal Jamaah seperti yang diajarkan oleh ulama-ulama NU dan tidak gampang ikut membid’ahkan seperti mereka,” pungkas Gus Idrus. (Lutfi/Yudhi)