Ikuti Kami Di Medsos

Daerah

Mahasiswa di Palu ‘Dingin’ Hadapi Pemilu

Diskusi HMI-MPO dan DPW ABI Sulawesi Tengah

Menghadapi pemilihan umum (Pemilu), gerakan mahasiswa di Palu cenderung diam. Ini tentu disesalkan, sebab di negara manapun, mahasiswa adalah embrio dari lahirnya perubahan sosial yang lebih besar, yakni gerakan rakyat.

“Secara nasional, hampir-hampir gerakan mahasiswa, baik kanan maupun kiri cenderung diam menghadapi agenda lima tahunan. Padahal seharusnya banyak yang perlu disampaikan. Misalnya koreksi terhadap orang-orang di partai atau pejabat pemerintahan,” kata Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)-MPO Cabang Palu, Sadly, dalam diskusi berjudul “Kecenderungan Pola Gerakan Mahasiswa Menghadapi Pemilu” yang digelar DPW Ahlulbait Indonesia (ABI) Sulteng di Palu, Sabtu (22/3/2014).

Menurut dia, sepinya kritik terhadap caleg, parpol dan penyelenggara pemilu, tentu saja akan membuat masyarakat semakin sulit memilih calon pemimpin berkualitas.

Dalam diskusi yang dibangun HMI menurut Sadly, ada beberapa penyebab lemahnya gerakan mahasiswa hari ini. Yang paling pokok adalah mahasiswa kini mulai meninggalkan diskusi, sehingga tidak ada lagi aksi yang lahir untuk mengontrol pemerintah. Karenanya ia menyarankan perlunya penguatan pada pemanfaatan media sebagai bentuk alternatif kritik terhadap pemerintah dan pelaku birokrasi.

Bukan hanya oleh perilaku mahasiswa, diamnya mahasiswa hari ini, sedikit banyak dipengaruhi oleh dosen. “Kritik terhadap lemahnya gerakan mahasiswa dimulai dari perekrutan dosen. Dosen banyak yang hanya memiliki basis keilmuan, tapi tidak semua punya basis gerakan,” kata Ketua DPW ABI Sulteng, Dr. Surahman Cinu.

Apalagi ada kecenderungan publik, terkhusus mahasiswa, jika orang-orang yang lahir dari gerakan kemahasiswaan tidak memiliki posisi-posisi strategis di pemerintahan atau lingkup akademis. Mantan-mantan aktivis justru lari ke lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non government organization (NGO).

“Ini yang dilihat mahasiswa. Bahwa ternyata untuk menjadi ‘orang’ tidak perlu di gerakan. Ditambah lagi dengan kegelisahan ekonomi membuat mahasiswa terjebak untuk menjadi PNS (pegawai negeri sipil). Sederhananya, untuk menjadi yang terbaik di kemudian hari, tidak perlu label sebagai mantan aktivis,” jelas Direktur Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Perdamaian yang juga dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tadulako ini.

Parahnya lagi, mahasiswa saat ini justru terjebak pada kapitalisme. Himran, mahasiwa Sosiologi FISIP Untad setuju jika angkatannya saat ini tak lagi mengandung misi ideologi. Sementara As’ad, aktivis Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia Sulteng mengatakan tingginya biaya perkuliahan saat ini cukup efektif mengkerangkeng mahasiswa dalam rutinitas akademik.

Surahman menyarankan evaluasi terhadap sistem pengkaderan gerakan mahasiswa, baik ekstra maupun internal kampus. “Perlu proses pengkaderan gerakan yang rasional, bukan hanya mengandalkan emosional dengan indikator ada air mata saat malam pembaiatan,” jelasnya. Selain itu, arah gerakan intelektual mahasiswa perlu direkstrukturisasi, bukan hanya pada hal-hal yang bersifat politis, namun juga mulai menyentil isu-isu kebudayaan. Itu semua akan lahir jika mahasiswa kembali mau mengonsumsi buku dan diskusi.

Sayang sekali, diskusi ini tak banyak dihadiri elemen mahasiswa. Baik dari organisasi eksternal kampus semisal HMI Cabang Palu, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Pergerakan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) Palu. Organisasi internal kampus seperti Badan Eksekutif Mahasiswa fakultas dan universitas, maupun kelompok-kelompok himpunan mahasiswa lintas kampus di Palu pun cenderung ‘dingin’ dalam merespon undangan panitia. (Indar Ismail/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *