Daerah
Kisah Ade: Menguak Sisi Lain Banjir Jakarta
Lalulintas padat Jakarta ternyata berbuah manfaat juga bagi sebagian warga korban banjir. Sebut saja Ade Arianto, yang tinggal di bantaran kali Ciliwung, Cililitan Kecil, Kramat Jati, Jakarta Timur. Paska banjir minggu lalu, pemuda tanggung 29 tahun ini mulai menggunakan sebagian waktunya untuk menarik simpati pengguna jalan dekat rumahnya. Bermodal ember bekas, dicobanya mengais iba mereka yang melintas.
Itulah ‘profesi’ baru Ade, penjual Siomay yang sebelumnya biasa mangkal di kawasan Apartemen Kalibata ini. Dia terpaksa melakoni profesi barunya setelah aktivitas produksi Siomaynya terhenti akibat rumahnya ikut terendam banjir.
Beberapa hari terakhir sepertinya intensitas hujan memang agak berkurang. Namun meski banjir mulai surut, timbunan lumpur yang tersisa belum dapat dibersihkan total karena minimnya air bersih. Kondisi itulah yang membuat Ade belum dapat memproduksi sekaligus berjualan Siomay lagi.
Sejak dua minggu lalu hingga saat ini ia masih tinggal di pengungsian. Boleh dibilang kebutuhan di pengungsian memang cukup; tak hanya makan dan minum, baju-celana layak pakai pun tersedia. Namun bagi Ade, hal itu belum begitu membuatnya nyaman. “Habis, banyak banget barang-barang kita yang rusak dan hilang gara-gara banjir, sih. Jadi ya musti kita betulin. Kalo nggak, ya beli lagi, deh,” tuturnya. Setidaknya itulah salah satu alasan yang disampaikannya kepada Tim Media Ahlulbait Indonesia, kenapa ia terpaksa meminta sumbangan di tepi jalan.
“Sebenernye sih gue nggak pengen minta-minta kayak gini, Bang. Tapi ya musti gimane lagi, kan? Abang sendiri tau kondisi kita kan terpaksa,” tambahnya.
Ade mengaku lebih suka memilih jualan Siomay daripada berharap belas kasihan orang. “Lebih enak jualan, lah, Bang. Secara duitnye kan hasil jerih payah sendiri. Kalau ini kan orang yang ngasih,” ujarnya sembari menjelaskan sebenarnya hanya sedikit saja waktunya tersita buat narik sumbangan. Selebihnya habis buat acara bebersih rumahnya yang hingga kini masih terendam lumpur.
Ditanya berapa pendapatannya dalam sehari, Ade menyebut tak lebih dari 50 ribu. Kadang hanya 30 ribu.
“Uang segitu mane cukup buat idup sebulan di Jakarte kan, Bang? Belon lagi buat ganti rugi barang-barang kite yang diserobot banjir,” celoteh Ade. Karena itulah dirinya tak terlalu ngandelin uluran tangan pelintas jalan. Seperti warga lain, Ade lebih berharap secepatnya dapat kembali berjualan dan hidup normal. (Abdul Malik/Yudhi)