Ikuti Kami Di Medsos

Daerah

Cerita Duka dari Lani Jaya Papua

Tak seperti berita-berita tentang sidang sengketa Pilpres dan bahaya kelompok radikal ISIS yang mendominasi media-media nasional, Lani Jaya, sebuah Kabupaten di bagian timur Indonesia ini memiliki banyak cerita duka yang justru jarang diangkat media.

Sebagai salah satu kabupaten muda di Provinsi Papua, yang baru dibentuk tahun 2008 dan dihuni sekitar 89.332 jiwa, kondisi masyarakat Lani Jaya tak kunjung membaik hingga saat ini. Berbagai fasilitas seperti pendidikan, kesehatan, dan bantuan hukum masih sulit didapatkan di sana.

Dari data yang disampaikan Sylvina Apituley selaku Ketua Gugus Kerja Papua, Lani Jaya belum memiliki kantor hukum sama sekali, dan Polres pun memiliki kantor secara permanen baru tahun 2013 kemarin. Lebih dari itu, di bidang kesehatan baru tercatat hanya ada 6 bidan, 1 dokter, 1 Puskesmas, dan 5 Puskesmas pembantu untuk 27 Desa/kampung.

Dalam sebuah konferensi pers di kantor Komnas Perempuan di Jakarta, Kamis (7/8) kemarin, Sylvina yang juga merupakan Komisioner Komnas Perempuan menyampaikan, sering terjadinya konflik di Lani Jaya merupakan hal yang juga penting untuk diperhatikan. Akibat konflik yang terjadi di sana, setidaknya tercatat sekitar 200 penduduk mengungsi ke berbagai titik.

“Sebagian besar mengungsi ke hutan, dan korbannya kebanyakan perempuan,” ungkap Sylvina.

Dari data yang berhasil didokumentasikan oleh Komnas Perempuan sejak 2012 lalu, tercatat ada 27 Kabupaten di Provinsi Papua yang mengalami hal yang sama dengan Lani Jaya.

“Mereka cenderung menolak bertemu orang asing, takut, dan mudah curiga,” cerita Sylvina menggambarkan kondisi Lani Jaya.

Apa yang menyebabkan konflik di Lani Jaya?

Marahnya masyarakat yang tidak memperoleh perhatian pemerintah adalah salah satunya. Pengembangan ekonomi yang tidak merata, otonomi khusus yang belum bisa dirasakan, dan dikesampingkannya masyarakat asli Papua dalam menempati pekerjaan-pekerjaan di pemerintahan daerah adalah salah satu contohnya.

“Banyak pegawai Pemerintah Daerah yang berasal dari luar sehingga banyak sarjana asli Papua yang tidak mendapat pekerjaan,” jelas Sylvina.

Selain itu, ketidaksiapan mengelola jatah aliran dana ke kampung juga kerap menjadi penyebab konflik. Sedangkan mengenai hak-hak perempuan di Lani Jaya memang diposisikan lebih rendah.
“Hal itu juga kerap menjadikan perempuan sebagai korban kekerasan,” tambah Sylvina.

Kemarahan masyarakat yang diekspresikan ke dalam bentuk kekerasan itu yang kemudian seringkali memunculkan konflik antar masyarakat dengan aparat pemerintah.

“Jika sudah terjadi konflik, seringkali ada pembalasan yang lebih besar terutama oleh oknum, baik TNI maupun Polisi,” papar Sylvina.

Suasana mencekam, banyak terjadinya konflik, pengerusakan rumah bahkan pembunuhan serta lemahnya perlindungan hukum bagi masyarakat menjadikan sebagian masyarakat Lani Jaya hingga saat ini menjadi pengungsi di hutan-hutan.

Karena itu Sylvina berharap, media-media dapat berperan aktif dalam menyuarakan ketertindasan rakyat Indonesia di daerah tertinggal seperti di Lani Jaya dan sebagainya.

Sylvina juga menyebut hal ini merupakan ketidakadilan sistematik dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat asli Papua.

Sementara itu, untuk mencari solusi permasalahannya, Komnas Perempuan mendorong Pemda untuk diajak berdialog.

“Namun Pemda tidak selalu mau menerima kami saat diajak berdialog,” pungkas Sylvina. (Malik/Yudhi)