Berita
Ciri Khusus Islam [2/3]
Metode Pengetahuan
Pembahasan sebelumnya Ciri Khusus Islam [1/3]
a) Mungkinkah Kita Mengetahui Kebenaran?
Ini selalu merupakan pertanyaan pertama dalam hal ini. Banyak pemikir berpendapat bahwa kita mustahil mengetahui kebenaran dengan persis. Menurut mereka, memang sudah nasib manusia tidak tahu persis apa sebenarnya yang ada di dunia ini dan apa yang terjadi di dunia ini. Mereka menganggap mustahil mendapatkan pengetahuan yang akurat yang sesuai dengan realitas. Namun, menurut Al-Qur’an, kita dapat mengetahui kebenaran. Al-Qur’an mengajak manusia untuk mengenal Allah SWT, dunia, dirinya sendiri dan sejarah. Dalam kisah tentang Nabi Adam as, yang sesungguhnya merupakan kisah tentang manusia, Adam as dianggap tepat untuk mengetahui semua nama Allah SWT atau realitas-realitas dunia. Al-Qur’an mengatakan bahwa dalam kasus-kasus tertentu pengetahuan manusia dapat memahami beberapa poin pengetahuan Tuhan. Al-Qur’an mengatakan: Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Baqarah: 255)
Apa Sumber Pengetahuan?
Dan sudut pandang Islam, sumber pengetahuan adalah: tanda-tanda alam atau tanda-tanda yang ada di alam semesta, yang ada dalam diri manusia sendiri, dalam sejarah, atau dalam berbagai peristiwa sosial dan berbagai episode bangsa dan masyarakat, dalam akal atau prinsip-prinsip yang sudah jelas, dalam hati, dalam pengertiannya sebagai organ pencerah dan penyuci, dan dalam catatan yang diwariskan umat-umat terdahulu. Dalam banyak ayat Al-Qur’an manusia diminta merenungkan apa dan bagaimana langit dan bumi itu. Al-Qur’an memfirmankan dalam Surah Yunus, ayat 101: Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. (QS.Yunus: 101)
Al-Qur’an juga mengajak manusia untuk mengkaji sejarah bangsa-bangsa terdahulu, dengan kajian yang cerdas, dengan tujuan mengambil hikmahnya.
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? (QS. al-Hajj: 46)
Al-Qur’an Suci percaya kepada keandalan akal dan kepada keandalan kebenaran-kebenaran yang sudah jelas. Argumen-argumen Al-Qur’an didasarkan pada akal dan kebenaran-kebenaran seperti itu. Al-Qur’an mengatakan:
Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu (langit dan bumi, atau alam semesta) telah rusak binasa. (QS. al-Anbiyâ’: 22)
Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakan-Nya, dan sebagian Tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Mahasuri Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. (QS. al-Mukminûn: 91)
Al-Qur’an juga memandang hati sebagai pusat intuisi dan ilham Ilahiah. Setiap manusia dapat menerima ilham sesuai dengan dedikasi tulusnya dan upayanya untuk menjaga kesucian dan aktivitas spiritual pusat ini. Wahyu para nabi merupakan pengetahuan seperti ini yang tingkatannya paling tinggi. Berulang-ulang Al-Qur’an menyebut nilai pena dan kitab, dan pada beberapa kesempatan Al-Qur’an bersumpah atas nama pena dan kitab: Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis. (QS. al-Qalam: 1)
b) Apa Sarana untuk Mendapatkan Pengetahuan?
Sarana untuk mendapatkan pengetahuan adalah indera, kemampuan berpikir, argumentasi, penyucian jiwa, dan telaah atas karya-karya ilmiah orang lain. Dalam surah an-Nahl: ayat 78, di-katakan sebagai berikut: Dan Allah mengeluarkan kamu dan perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. an-Nahl: 78) Dalam ayat ini dijelaskan bahwa, bertentangan dengan teori Plato, ketika lahir manusia tidak memiliki pengetahuan apa pun. Allah SWT telah menganugerahinya indera untuk mengkaji alam semesta ini, Allah SWT telah memberi manusia hati nurani dan daya analisis agar manusia dapat meneliti realitas-realitas segala sesuatu untuk mengetahui hukum-hukum yang mengatur segala sesuatu itu.
Menurut teori terkenalnya, Plato percaya bahwa segala yang ada itu memiliki bentuknya yang sama di alam gagasan. Ketika lahir, manusia sudah mengetahui segala sesuatu, namun dia sudah kelupaan. Dia tidak mempelajari hal-hal baru di dunia ini. Yang dilakukannya hanyalah mengingatnya kembali. Yang disebutkan dalam ayat ini selaras dengan teori Al-Qur’an tentang pengetahuan fitri. Teori ini tidak menunjukkan bahwa ketika lahir manusia sesungguhnya tahu segala sesuatu. Yang dimaksud Al-Qur’an adalah bahwa hakikat manusia adalah berada dalam keadaan tumbuh dan evolusi, dan bahwa dalam hidupnya dia, berdasarkan gerak hati, menemukan kebenaran-kebenaran asasiah tertentu yang jelas di luar apa yang dipelajaruiya melalui inderanya.
Penemuan kebenaran-kebenaran ini cukup meyakinkan untuk memaksa manusia mempercayai kebenaran-kebenaran ini. Itulah yang dimaksud Al-Qur’an ketika menyerukan “tadzakkur” (mengingat). Karena itu antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menyerukan tadzakkur dan ayat Surah an-Nahl yang dikutip di atas tak ada kontradiksi. Dalam ayat ini, pendengaran dan penglihatan, dua indera yang sangat penting, disebut-sebut sebagai sarana untuk mengetahui. Secara teknis, keduanya dikenal sebagai sarana untuk mendapatkan pengetahuan primer yang tidak mendalam. Sedangkan hati atau hati nurani, yang juga disebut-sebut dalam ayat itu, secara teknis digambarkan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam dan logis. Secara sambil lalu dalam ayat ini juga disinggung masalah lain yang penting. Yaitu masalah tahap-tahap pengetahuan. Selain indera dan daya pikir, Al-Qur’an juga mengakui ketakwaan dan kesucian jiwa sebagai sarana untuk mendapatkan pengetahuan. Poin ini sudah disebutkan dalam banyak ayat baik secara tersirat maupun tersurat.
Al-Qur’an mengatakan:
Hai orang-orang beriman, jika kamu tdkwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberimu furqan (kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk). (QS. al-Anfâl: 29)
Demi jiwa serta Dia yang menyempurnakannya, maka Allah mengUhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. (QS. asy-Syams: 7-9)
Belajar dan membaca merupakan sarana lain untuk mendapatkan pengetahuan yang secara formal diakui oleh ajaran Islam. Untuk menjelaskan poin ini, cukup dikatakan bahwa wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad saw diawali dengan kata, “Bacalah”. Al-Qur’an memfirmankan: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dan segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-‘Alaq: 1-5)
c) Subjek Pengetahuan
Apa saja yang patut diketahui, dan apa saja yang harus diketahui? Yang harus diketahui adalah Allah, alam semesta, manusia, masyarakat, dan masa. Semuanya ini patut diketahui, dan kita harus mengetahui semua ini. Konsepsi tentang Dunia Buku ini, yang merupakan mukadimah untuk konsepsi Islam tentang dunia, terutama membahas pokok masalah (konsepsi Islam tentang dunia—pen.) ini. Pokok masalah inilah yang berserak di sepanjang buku ini. Namun, untuk menjaga kesinambungan, kami paparkan secara singkat ciri-ciri khusus utama konsepsi Islam tentang dunia:
1. Sifat-dasar dunia ini adalah “dari-Nya.” Dengan kata lain, realitas dunia ini berasal dari realitas-Nya. Bisa saja eksistensi sesuatu berasal dari sesuatu yang lain, namun realitas sesuatu itu tidak mesti sepenuhnya berasal dari realitas sesuatu yang lain itu. Misal, ambil contoh seorang anak lelaki dan kedua orangtuanya. Anak lelaki ini lahir dari kedua orangtuanya, namun realitas eksistensi anak lelaki itu beda dengan realitas kedua orangtuanya, dan merupakan sesuatu yang menambah realitas kedua orangtuanya. Sebaliknya, sifat-dasar dunia adalah “dari-Nya.” Segenap realitasnya tak lebih dari “ada karena Allah SWT”.
Realitasnya dan eksistensinya karena Allah, adalah identik. Itulah yang dimaksud ketika kami katakan bahwa dunia diciptakan oleh Allah SWT. Kalau saja arti penciptaan dunia itu tidak seperti itu, maka yang terjadi adalah prokreasi (eksis melalui proses reproduksi—pen.), bukannya penciptaan. Al-Qur’an mengatakan: Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. (QS. al-Ikhlâsh: 3) Tak ada bedanya apakah dari segi waktu dunia ini ada permulaannya atau tidak ada permulaannya. Jika ada permulaannya, maka dunia ini merupakan suatu realitas terbatas “dari-Nya.” Jika tak ada permulaannya, maka dunia ini merupakan suatu realitas tak terbatas “dari-Nya.” Bagaimanapun juga, dunia ini “dari-Nya,” dan keterbatasan setta ketakterbatasan dunia tak ada bedanya, karena dunia merupakan realitas ciptaan dan eksistensinya adalah “dari-Nya”.
2. Realitas dunia ini, selain dunia ini adalah “dari-Nya” dan karena itu karakter dunia ini adalah fana, tidak saja selalu berubah dan bergerak seiring waktu, namun dunia ini sendiri merupakan suatu gerakan. Dengan begitu dunia selalu berubah terus-menerus dan selalu dalam keadaan diciptakan dan di ciptakan kembali. Waktu berjalan, dan dunia ini pun selalu dalam keadaan diciptakan dan dihancurkan.
3. Realitas-realitas dunia ini merupakan bentuk rendahnya realitas-realitas yang eksis di dunia lain yang disebut dunia gaib. Apa pun yang ada di sini yang bentuknya terbatas dan terukur ada di dunia transendental atau dunia gaib, dan bentuknya tidak terbatas dan tidak terukur, atau dalam kata-kata Al-Qur’an, dalam bentuk “khazanah”. Al-Qur’an memfirmankan: Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya. Dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu. (QS. al-Hijr: 21)
4. Karena sifat dasar dunia ini adalah “dari-Nya,” maka dunia ini juga “menuju kepada-Nya.” Dunia ini telah membuat perjalanan menurun. Dunia ini juga dalam keadaan membuat perjalanan menaik, perjalanan menuju Dia. Al-Qur’an memfirmankan: Kami ini milik Allah, dan sungguh kepada-Nya kami kembali. (QS. al-Baqarah: 156) Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). (QS. an-Nâzi’ât: 44) Ingatlah bahwa kepada AUah lah kembali semua urusan. (QS. asy-Syûrâ: 53)
5. Dunia ini memiliki sistem yang pasti dan teratur. Basis sistem ini adalah kausasi (sebab-akibat). Setiap yang eksis diatur oleh takdir Tuhan melalui sistem ini.
6. Sistem sebab-akibat bukan saja berupa sebab dan akibat material. Sejauh menyangkut dimensi material dunia ini, sistem sebab-akibatnya bersifat material, namun sejauh menyangkut dimensi spiritual dunia ini, sistem sebab-akibatnya bersifat non-material. Antara dua sistem ini tak ada pertentangan. Masing-masing sistem ada tempatnya sendiri-sendiri. Malaikat, jiwa, Lauh Mahfûzh, Pena dan Kitab-kitab wahyu merupakan sarana bagi beroperasinya karunia Tuhan di dunia ini dengan kehendak-Nya.
7. Dunia seluruhnya diatur dengan hukum dan norma yang pasti. Hukum dan norma ini merupakan bagian dan paket dari sistem sebab-akibat yang berlaku di dunia ini.
8. Dunia ini merupakan sebuah realitas yang terbimbing. Evolusinya terbimbing. Segenap partikel dunia ini letaknya sedemikian sehingga partikel-partikel ini menerima cahaya petunjuk. Naluri, indera, akal, ilham dan wahyu merupakan tahap-tahap yang berbeda dari bimbingan umum untuk dunia. Nabi Musa as mengatakan: Tuhan kami adalah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk. (QS. Thâhâ: 50)
9. Di dunia ini ada baik dan ada buruk. Ada keselarasan dan ada pula pertentangan. Ada berlimpah dan ada pula kekurangan. Ada terang dan ada pula gelap. Ada maju dan berkembang dan ada pula mandek dan stagnasi. Namun adanya baik, selaras, berlimpah, terang dan berkembang memiliki nilai yang sangat penting. Sedangkan adanya buruk, gelap, pertentangan, mandek, hanyalah subsider dan sekunder. Namun segala yang subsider dan sekunder ini perannya penting dan mendasar dalam menyebabkan adanya yang baik, yang selaras, yang evolusioner.
10. Dunia ini, yang merupakan satu unit yang hidup dan diatur oleh kekuatan-kekuatan sadar (para malaikat yang mengatur urusan dunia), adalah sebuah dunia aksi dan dunia reaksi sejauh menyangkut hubungannya dengan manusia. Dunia tidak acuh tak acuh kepada orang yang baik dan orang yang buruk. Hukum balas jasa, ganti rugi, dan imbalan berlaku di dunia ini, seperti halnya di akhirat.
Orang takwa dan orang kafir tak diperlakukan sama. Al-Qur’an memfirmankan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) hepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat)-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim: 7) Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan: Tidak bersyukurnya seseorang jangan sampai menghalangimu untuk berbuat kebajikan. Mungkin saja orang yang kamu baiki tidak berterima kasih kepadamu. Kamu akan menerima lebih banyak terima kasih dari yang bersyukur ketimbang yang tidak kamu dapatkan dari yang tidak bersyukur.” (Nahj al-Balâghah, khotbah: 194)
Baca Murthada Muthahari: Islam, Sebuah Ideologi yang Lengkap
11. Yang dimaksud Imam Ali as adalah bahwa dunia yang merupakan organisme hidup, yang harmonis dan terkoordinasi, tidak berarti bahwa seseorang akan menerima imbalan untuk kebajikannya dari orang yang diharapkannya memberikan imbalan. Dia akan mendapatkannya dari orang lain yang tidak disangka-sangkanya. Dunia ini memiliki Allah SWT yang menyukai orang bajik.
12. Jiwa manusia merupakan sebuah realitas yang abadi. Manusia bukan saja akan dibangkitkan sebagai makhluk hidup pada Hari Kebangkitan, namun selama interval antara dunia ini dan Hari Kebangkitan manusia juga akan menjalani kehidupan, suatu kehidupan yang lebih sempurna ketimbang kehidupan di dunia ini. Sekitar dua puluh ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa ketika jasad manusia sudah hancur setelah mati, dan sebelum datangnya Hari Kebangkitan, manusia juga menjalani suatu kehidupan.
13. Aturan pokok kehidupan, yaitu prinsip moral dan manusiawi, pasti dan abadi. Hanya aturan sekunder saja—dan bukan prinsip yang utama—yang relatif dan dapat berubah. Kebajikan tidak mungkin merupakan satu hal di satu masa dan merupakan sesuatu yang sama sekali beda di masa yang lain. Tidaklah mungkin dalam satu masa kebajikan bisa berarti Abuzar dan dalam masa lain bisa berarti Muawiyah. Ada prinsip-prinsip tertentu yang abadi. Menurut prinsip-prinsip ini, Abudzar ya Abudzar, Muawiyah ya Muawiyah. Prinsip-prinsip—yang menurut prinsip-prinsip ini Nabi Musa ya Nabi Musa dan Fir’aun ya Fir’aun—adalah abadi.
14. Kebenaran juga abadi. Jika suatu kebenaran ilmiah mutlak benar, maka benar untuk selamanya, dan jika salah, maka salah untuk selamanya. Jika sebagian benar, dan sebagian salah, maka selalu sebagian benar dan sebagian salah. Sesuatu yang mengalami perubahan merupakan suatu realitas, dan itu juga suatu realitas material. Adapun kebenaran, yaitu gagasan intelektual dan keyakinan mental, tetap merupakan kebenaran bila dilihat dari sudut dapat diterapkan atau tak dapat diterapkannya kebenaran itu pada suatu realitas tertentu.
15. Dunia, bumi dan langit diwujudkan dengan berdasarkan prinsip kebenaran dan prinsip keadilan. Al-Qur’an mengatakan: Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar. (QS. al-Ahqâf: 3)
16. Praktik permanen Allah SWT adalah memberikan kemenangan terakhir kepada kebenaran dalam berhadapan dengan kepalsuan. Orang takwa dan kebenaran selalu yang menang. Al-Qur’an mengatakan: Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul. Sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan. Dan sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang. (QS. ash-Shâffât: 171-173)
17. Semua manusia diciptakan setara. Tak ada orang, bila dilihat dari segi penciptaan, yang dapat merasa lebih istimewa atau lebih berhak dibandingkan orang lain. Hanya ada tiga hal yang membuat satu orang lebih unggul dibanding orang lain: Yang pertama adalah ilmu. Al-Qur’an mengatakan: Adakah sama, orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? (QS az-Zumar: 9) Yang kedua adalah berjuang di jalan Allah SWT. Al-Qur’an mengatakan: Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. (QS. an-Nisâ’: 95) Yang ketiga adalah takwa. Al-Qur’an mengatakan: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. (QS. al-Hujurât: 13)
18. Menurut sifat dasarnya, manusia memiliki kecenderungan bawaan. Kecenderungan bawaan ini antara lain adalah ke cenderungan moral dan kecenderungan religius. Fondasi utama hati nurani manusia adalah fitrah anugerah Allah, bukan posisi kelasnya, kecenderungannya untuk berteman atau berkelompok, bukan pula perjuangannya menundukkan alam. Semua pengaruh ini (posisi kelas, berteman atau berkelompok, penundukkan alam—pen.) baru terwujud setelah melalui upaya sungguh-sungguh. Manusia, berdasarkan fitrahnya, bisa merniliki ideologi dan budaya yang khas. Manusia bisa memberontak terhadap lingkungan alamnya, lingkungan sosialnya, faktor-faktor sejarahnya, kecenderungan keturunannya, dan dapat melepaskan diri dari pengaruh itu semua.
19. Setiap orang lahir sebagai manusia. Karena itu orang paling jahat pun dapat menghentikan kebiasaan jahatnya dan memperbarui dirinya. Itulah sebabnya para nabi mendapat tugas memberikan nasihat dan konsultasi spiritual kepada orang-orang yang paling jahat sekalipun dan musuh-musuh paling sengit sekalipun, agar hati nurani mereka hidup, Jika cara seperti itu gagal, barulah para nabi dibolehkan memerangi mereka. Dalam pertemuan pertama dengan Fir’aun, Nabi Musa as diperintahkan untuk mengatakan kepada Fir’aun: Adakah keinginanmu untuk membersihkan dm (dari hesesatan). Dan kamu akan kupimpin kejalan Tuhanmu agar kamu takut kepada-Nya. (QS. an-Nâzi’ât: 18-19)
20. Kepribadian manusia merupakan suatu senyawa dalam pengertian yang sebenarnya. Pada saat yang sama merupakan satu elemen tunggal, dan itu juga dalam pengertian yang sebenarnya. Tidak seperti senyawa-senyawa organis dan non-organis lainnya. Bila berpadu bagian-bagian komponen ini maka bagian-bagian komponen tersebut kehilangan identitas dan karakter khasnya dan membentuk satu keseluruhan yang serasi, sedangkan unsur-unsur yang membentuk kepribadian manusia tidak kehilangan sama sekali karakternya. Ini melahirkan pergulatan batiniah. Dalam pergulatan ini manusia ditarik ke berbagai arah yang berbeda. Dalam bahasa agama, pergulatan ini dikenal sebagai pertentangan antara akal dan hawa nafsu atau pertentangan antara jiwa dan raga.
21. Karena hakikat spiritual manusia itu independen, dan hakikat spiritual inilah yang melahirkan kehendaknya, maka manusia leluasa melaksanakan kehendaknya. Tak ada paksaan yang dapat mencabut kemerdekaannya untuk memilih. Itulah sebabnya manusia bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan juga atas masyarakatnya.
22. Seperti orang seorang, masyarakat manusia juga merupakan satu senyawa yang nyata dan memiliki hukumnya sendiri, tradisinya sendiri, dan sistemnya sendiri. Di sepanjang sejarah, masyarakat sebagai satu keseluruhan tak pernah mengikuti kehendak satu individu. Masyarakat selalu tersusun dari unsur-unsur yang bertentangan. Berbagai kelompok intelektual, profesional, politis dan ekonomi yang rnembentuk masyarakat tak pernah sama sekali kehilangan indentitasnya. Bentrok antara kelas-kelas ini selalu berlanjut dalam bentuk perang politik, ekonomi, intelektual dan doktrin. Lagi pula, selama manusia belum mencapai puncak kemanusiaan, maka perang akan selalu terjadi antara orang-orang yang maju yang kecenderungannya sangat tinggi, dan orang-orang yang masih terbelakang yang kecenderungannya sangat rendah.
23. Allah SWT tidak mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum tersebut mengubah dirinya sendiri. Al-Qur’an mengatakan: Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. ar-Ra’d: 11)
24. Allah SWT Pencipta alam semesta ini dan juga Pencipta manusia tak membutuhkan apa pun. Dia tidak terbentuk dari komponen-komponen. Dia mutlak sempurna. Dia akan selalu seperti adanya Dia. Untuk Allah SWT mustahil terjadi perkembangan atau evolusi. Sifat-sifat-Nya identik dengan Zat-Nya. Alam semesta merupakan Rarya-Nya dan perwujudan Kehendak-Nya. Tak ada yang dapat mengendalikan atau menghalangi Kehendak-Nya. Setiap faktor atau kehendak lain tegak lurus dan tidak horizontal dengan Kehendak-Nya.
25. Alam semesta merupakan satu unit yang agak organis, karena alam semesta ada berkat satu sumber, dan akan kembali ke sumber itu, dan sekarang tengah dikelola dan diurus oleh kekuatan-kekuatan yang sadar.
bersambung…….
Manusia dan Alam Semesta, Murthada Muthahari