Berita
Ciri-ciri Para Wali Allah Swt
“Mereka adalah orang-orang yang memandang (menilai) makhluk-makhluk dengan pandangan-Ku kepada mereka dan tidak menyandarkan semua kebutuhannya kepada makhluk. Perut-perut mereka kosong dari makanan haram. Kenikmatan mereka di dunia adalah dzikir kepada-Ku, kecintaan-Ku serta keridhaan-Ku kepada mereka.
“Wahai Ahmad! Jika engkau menginginkan menjadi manusia paling wara’ (hati-hati) di antara manusia, maka zuhudlah terhadap dunia dan berharaplah (kebaikan) di akhirat. “
Nabi saw berkata, “Ya Allah! Bagaimana aku berbuat zuhud di dunia?”
Allah swt berfirman, “Ambil sedikit apa yang ada dunia sedikit1 dari makanan dan minuman serta pakaian dan janganlah menyimpannya untuk esok hari serta teruslah berdzikir kepada-Ku.”
Nabi saw berkata, “Ya Allah! Bagaimana aku terus menerus berdzikir kepada-Mu?”
Allah swt berfirman, “(Berdzikirlah) di kesendirian tanpa manusia dan kebencianmu kepada manis dan pahitnya (dunia) serta kosongkanlah perut dan rumahmu dari dunia.”
“Wahai Ahmad! Hati-hatilah engkau jangan sampai seperti seorang anak kecil ketika melihat kepada warna hijau dan kuning (kenikmatan dunia) dia akan mencintainya dan ketika diberi sesuatu yang manis atau pahit dia akan mengikutinya… Mereka adalah orang-orang yang memandang kepada makhluk-makhluk seperti aku memandang mereka…. “
Dari kutipan riwayat di atas dapat dipahami bahwa kecintaan pada manusia merupakan bagian dari kecintaan pada Allah swt. Ketika manusia tidak mencintai Allah swt dan tidak memiliki hubungan dekat dengan-Nya, ia tidak akan bisa mencintai makhluk lain karena-Nya. Pada dasarnya, ketika memiliki kecintaan pada Allah swt, maka cinta ini akan memancarkan kecintaan pada setiap orang yang memiliki hubungan dekat dengan Allah swt. Ketika ia melihat seseorang dicintai oleh Allah swt, maka berdasarkan kecintaannya pada-Nya, ia akan mencintai orang tersebut. Orang seperti ini akan memandang masyarakat sebagaimana Allah swt memandang mereka.
Artinya, setiap orang yang mulia di sisi Allah swt., maka dalam pandangannya pun akan mulia. Tidaklah demikian bahwa Allah swt mencintai seseorang tersebut dari satu sudut, sementara ia mencintainya dari sudut yang lain. Jelas, ada satu sudut pandang dan satu ukuran yang sama dalam memandang manusia.
…dan mereka tidak menyandarkan semua kebutuhannya kepada makhluk….
Adalah alamiah bahwa kehidupan manusia selalu dibarengi dan dipenuhi dengan sekian kebutuhan. Semakin besar ukuran potensi wujudi manusia akan semakin besar juga kebutuhannya.
“…kalian adalah orang-orang fakir kepada Allah dan Dia adalah maha kaya lagi maha mulia…” [QS. Fathir: 15]
Hanya ada satu wujud yang memiliki kemampuan memenuhi semua kebutuhan manusia, yaitu Allah swt Karena itu, para kekasih-Nya selalu menyandarkan seluruh kebutuhan diri mereka kepada-Nya sehingga layak mendapat pertolongan serta kekuatan yang tak terbatas. Mereka hanya menyandarkan harapannya kepada Allah swt dan sama sekali tidak menaruh hati pada selain-Nya.
Salah satu dari hikmah yang terkandung dalam doa serta penekanan terhadapnya ialah bahwa hubungan dan kedekatan manusia dengan Allah swt akan semakin kuat. Hanya kepada-Nya manusia menggantungkan harapan. Semakin kuat hubungan hati, ruhani serta maknawi ini, akan semakin sedikit hubungan mereka dengan yang lain dalam menyelesaikan kebutuhan hingga mereka sampai pada tahapan yang sama sekali tak lagi tergantung kepada selain Allah swt. dalam kondisi apa pun. Ini sebagaimana hikmah yang terdapat dalam kisah Nabi Ibrahim as.: ketika para musuh Allah memasukkannya ke dalam tungku api dan Jibril as. berkata kepadanya, “Apakah engkau membutuhkan pertolongan?”, beliau menjawab, “Adapun (pertolongan) dari Anda, aku tidak membutuhkan.”
Sebagai sebuah contoh dan pendekatan, jika seseorang mempercayakan kesulitan dan masalah kehidupannya kepada Anda, dimana setiap ia tertimpa kesulitan, hanya kepada Anda ia datang, maka akan tumbuh hubungan yang sangat kuat antara ia dan Anda, sehingga Anda akan merasakan keakraban, lantaran ia sangat percaya pada Anda dalam menyesaikan masalah, Anda pun sebisa mungkin akan berusaha menyelesaikan masalahnya. Hubungan kemanusiaan ini lebih lemah dibanding hubungan antara manusia dengan Allah swt; hubungan yang terbatas dibanding hubungan manusiawi. Namun demikian, pada batas tertentu, contoh ini bisa menjelaskan kecintaan serta kedekatan Allah swt.dengan manusia yang menjadikan-Nya sebagai tempat kembali dan tempat meminta pertolongan.
…perut-perut mereka kosong dari makanan yang halal (apalagi dari yang haram)… [ Ibid., jld. 77, hlm. 22 tertulis “min akl al-halâl”]
Satu lagi dari sifat dan ciri orang-orang yang dekat dengan Allah swt. adalah mereka tidak memiliki hubungan dan ketergantungan dengan dunia serta kelezatan yang ada di dalamnya. Bahkan pada yang halal sekali pun mereka tidak rakus. Namun, kelezatan dan kenikmatan dunia itu mereka gunakan hanya sekedar memenuhi kebutuhan. Mereka menggunakan kenikmatan hanya sebatas untuk menjalankan kewajiban, beribadah dan berkhidmat pada sesama, bukan untuk kelezatan itu sendiri. Bahkan, seandainya manusia memakan makanan yang melebihi dari kebutuhan tubuhnya, maka kekuatannya justra akan berkurang dan ia akan ditimpa kemalasan dan kelesuan.
Semangat dan Kebahagiaan Orang-orang yang Beriman
Ketika mereka tidak memanfaatkan kenikmatan-kenikmatan dunia secara berlebihan, lalu pada apakah kebahagiaan dan kesenangan mereka itu terletak? Allah swt. berfirman: Kenikmatan-kenikmatan mereka di dunia adalah mengingat- Ku, kecintaan-Ku serta keridhaan-Ku padanya….
a. Mengingat Allah swt.
Seseorang yang memiliki kecintaan pada Allah swt. pasti akan selalu mengingat-Nya dan merasakan kenikmatan dalam mengingat-Nya. Selama ia belum bisa sampai kepada Allah swt. serta masih ada jarak antara ia dengan-Nya, maka seluruh kebahagiaan dan kenikmatannya terletak pada selalu dalam mengingat-Nya. Seperti yang kita baca dalam doa Sahar, Imam Sajjad as. berkata, “Dengan mengingat-Mu, hatiku menjadi hidup”. Yaitu, hatiku menjadi hidup karena mengingat-Mu. Jika Engkau tidak ada, hatiku akan mati, karena kebahagiaanku dan penghapanku hanya kepada-Mu.
Seorang mukmin memang hidup hatinya; kebahagiaan dan kehidupan hati ini adalah dalam mengingat Allah swt., bukan dalam kenikmatankenikmatan dunia yang fana. Kalimat “di dunia” yang tertera dalam hadis tersebut berarti di alam akhirat tidak butuh kepada dzikir dan mengingat-Nya, sebab di sanalah alam kehadiran dan alam perjumpaan, yaitu manusia akan bertemu dengan Allah swt. Dunia ini merupakan alam keterbatasan dan perpisahan. Selama belum datang masa perjumpaan dengan Allah swt, hati seorang mukmin akan selalu mengingat-Nya, karena kelezatan dan kenikmatan hanya terletak pada-Nya.
b. Antara Mengingat Allah swt. dan Mencintai-Nya
Dzikir dan mengingat Allah swt. bersumber dari kecintaan terhadap- Nya. Karena itu, semakin besar kecintaan pada Allah swt., manusia akan semakin mengingat-Nya. Hubungan semacam ini juga bisa dirasakan pada perkara-perkara duniawi, dimana setiap orang yang memiliki kadar tertentu dalam mencintai orang lain, maka sesuai dengan kadar tersebut ia mengingatnya. Kecintaan yang banyak akan menyebabkan ia selalu mengingat orang yang dicintainya. Dari sisi lain, jika ia berusaha melupakannya, maka kecintaannya pun akan berkurang, dan lambat laun ia tidak akan mengingatnya lagi. Begitu pula sebaliknya, semakin banyak ia mengingatnya, akan membuat cintanya kina bertambah, sebab orang yang kebahagiaannya di dunia ini terletak pada mengingat Allah swt. dan semakin banyak mengingat Allah swt., maka kecintaannya kepada-Nya pun akan semakin mendalam.
c. Kecintaan Pada Allah swt.
“…dan orang-orang yang beriman adalah mereka yang mencinta Allah swt. dengan sangat…”
Kebahagiaan lain yang dimiliki hamba-hamba kekasih Allah swt. adalah kecintaan Ilahi. Jika suatu saat mereka merasakan hatinya kosong dari kecintaan pada Allah swt, maka tidak ada yang mereka rasakan selain kematian. Kondisi ini bagi mereka lebih baik daripada hati yang kosong dari kecintaan pada Allah swt. Kesenangan dan kebahagiaan mereka berada ketika mereka menempuh kehidupan yang dipenuhi oleh kecintaan pada Allah swt. Karenanya, mereka selalu berusaha meraih kecintaan dan keridhaan-Nya dengan amal dan perbuatan, serta berusaha menghilangkan segala yang menjadi penghalang kecintaan Ilahi.
d. Keridhaan dan Kerelaan Allah swt.
Kelezatan cinta yang paling besar adalah ketika seseorang merasakan bahwa yang dicintainya ridha dan senang kepadanya. Cinta-cinta manusia biasa juga memiliki ciri khas seperti ini. Manusia, ketika mencintai seseorang, akan merasakan kebahagiaan saat menjumpai sang kekasih senang kepadanya. Di antara tanda-tanda yang jelas dari hamba-hamba yang tulus dan dicintai Allah swt adalah mereka selalu berusaha meraih keridhaan dan kerelaan Allah swt. Setiap mereka merasa keridhaan dan kecintaan Allah swt berkurang, mereka merasa tersiksa dan sedih; sama sekali tidak akan sanggup menahan keadaan ini. Karenanya, mereka akan melakukan apa saja yang positif dan berharga dalam rangka meraih keridhaan Allah swt sehingga dirinya keluar dan terbebas dari keadaan yang menghancurkan dan menyiksa ini.
Jalan Meraih Kezuhudan dan Ketakwaan
Wahai Ahmad! Jika engkau menginginkan untuk menjadi orang yang paling wara’ (hati-hati) di antara manusia, maka berzuhudlah di dunia dan cintailah akhirat….
Zuhud berarti ketidakcintaan. Ia merupakan suatu kondisi hati dan bukan kondisi ilmu, sebagaimana yang disinggung Al-Quran berkenaan dengan Nabi Yusuf as.: “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf” [QS. Yusuf: 20]
Zuhud bukan berarti manusia tidak mau memanfaatkan kenikmatankenikmatan dunia, berdiam diri dan tidak mau mencari harta. Pengertian zuhud yang benar adalah meninggalkan kecenderungan dan kecintaan yang membawa manusia pada keterikatan terhadap dunia dan melupakan kehidupan akhirat. Karena itu, Allah swt berfirman kepada Nabi-Nya agar menghilangkan kecintaan dan kecenderungan kepada dunia dan memperbanyak upaya untuk mencintai akhirat. Bisa jadi seseorang memiliki harta yang banyak, tetapi ia menggunakannya di jalan Allah swt. Nabi Sulaiman as, walaupun memiliki kekuasaan dan kekayaan yang paling melimpah, merupakan orang yang paling zuhud di antara manusia pada waktu itu. Dari semua kekayaan yang dimilikinya, beliau sudah merasa cukup dengan memakan sepotong roti gandum. Sementara kekuasaan dan kekayaannya dikorbankan untuk menegakkan hak-hak orang lain, menegakkan agama Allah swt., dan menegakkan panji tauhid.
Pada suatu saat, Nabi saw bertanya kepada Allah swt., “Wahai Tuhanku! Jalan apa yang harus ditempuh untuk meraih kezuhudan?” Allah swt menjawab: Ambil sedikit apa yang ada di dunia dari makanan dan minuman serta dari pakaian dan jangan engkau simpan untuk esok hari.
Ini semua memiliki dimensi hati dan dimensi perseptif. Artinya, jika kezuhudan merupakan sesuatu yang positif, maka manusia bukanlah tidak mengambil manfaat dari kenikmatan-kenikmatan Allah swt., dan sama sekali menghindar darinya, tetapi maksudnya adalah tidak menaruh hati kepada semua ini. Allah swt. juga melanjutkan: Janganlah engkau simpan untuk hari esok.
Ini bukan berarti sama secara keseluruhan bahwa menyimpan untuk hari esok adalah perbuatan yang dicela, tetapi yang tercela adalah menyimpan sesuatu yang muncul dari ketiadaan tawakal, seperti yang menumpuk-numpuk harta. Sebab, perbuatan ini tidak sejalan dengan kezuhudan. Manusia yang zuhud akan memanfaatkan kenikmatan sesuai dengan kebutuhan dirinya. Untuk masa yang akan datang, ia hanya bersandar kepada Allah swt. Ia akan ridha apa yang diridhai Allah swt. Jika menyimpan sebagian barang atau sesuatu– baik makanan atau lainnya–dengan alasan yang benar, ini tidak bertentangan dengan kezuhudan. Hal itu bisa diterima, baik oleh akal maupun syariat. Karenanya, yang menjadi ukuran di sini adalah motif manusia.
Dinukilkan bahwa Nabi Sulaiman as selama setahun sebelumnya sudah mempersiapkan dan menyarankan umatnya agar menyimpan makanan yang tidak termakan. Beliau menyarankan menyimpannya untuk jangka waktu setahun di rumah-rumah mereka. Perbuatan ini tidak dihitung sebagai menumpuk harta, sebab kedudukan beliau lebih tinggi untuk berbuat demikian. Hal itu dilakukan sang nabi dalam rangka mencegah berbuat secara berlebihan, selain itu juga untuk mempersiapkan diri dalam satu tahun ke depan, itu pun hanya sekedar makanan yang seperlunya untuk dimakan.
Perbuatan yang dilakukan Nabi Sulaeman as sama sekali tidak bersifat negatif atau terhitung aib, karena hal itu bukanlah sebuah ketakutan pada kejadian-kejadian atau perkiraan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Jika demikian, berarti telah berburuk sangka kepada Allah swt. dan bertentangan dengan sifat tawakal, kehambaan atau kezuhudan.
Allah swt yang pada hari ini telah menyiapkan rezeki bagi kita, esok hari pun mampu memberikan rezeki-Nya kepada kita. Pada masa ketika kita belum lahir ke dunia ini, Allah swt. telah memberikan makan kepada kita lewat ibu kita. Maka, bagaimana mungkin Dia tidak mampu mempersiapkan rezeki bagi kita untuk esok hari.
Sebagian dari para ulama dan orang saleh yang zuhud tidak menyimpan sesuatu untuk hari esok. Mereka hanya memakan makanan seperlunya, dan sebagian dari makanan tersebut mereka bagi-bagikan kepada fakir miskin. Ini semua mereka lakukan dalam rangka menempa diri sehingga mereka tidak tertimpa prasangka ++++buruk terhadap Allah swt. Orang-orang yang telah sampai kedudukan tertinggi dari kemanusiaan dan berada di maqam seperti maqam Nabi Sulaiman as membutuhkan latihan seperti ini. Akan halnya kita harus berusaha jangan sampai terjebak oleh tipuan setan dan berusaha berlaku zuhud; tidak menumpuk harta di rumah, minimalnya sebagian dari harta yang kita miliki disedekahkan kepada kaum miskin.
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai”1
Perbuatan seseorang yang menyimpan dan menjaga sesuatu yang sangat dicintainya, menyedekahkan apa yang tidak disenanginya, bukanlah suatu keutamaan. Kondisi tersebut belum sampai pada maqam ihsan, sebab orang yang baik (muhsin) adalah orang yang menafkahkan apa yang disenanginya. Para wali Allah swt., ketika mereka membeli sesuatu atau ada orang yang menghadiahkan sesuatu kepadanya, tidak merasa bahagia karenanya, tetapi mereka menginfakkannya sehingga tidak terikat dengan dunia. Namun, orang-orang seperti kita tidak bisa secara mutlak mengeluarkan keterikatan pada dunia dari hati kita. Hanya saja, setidaknya kita berusaha mengurangi keterikatan ini dan, sebisa mungkin, kita kurangi dalam menikmati kelezatan duniawi. Ini bukan berarti kita keluar dari batas keseimbangan dan meninggalkan kebutuhan utama dari kehidupan kita. Satu lagi yang pesan Allah swt kepada Nabi saw. “Hendaklah selalu dalam keadaan mengingat kepada-Ku!”
Beliau bertanya, “Apa yang harus aku perbuat sehingga aku selalu dalam keadaan mengingat-Mu?” Allah swt berfirman, “Hendaklah engkau menghindar dari orang-orang yang menghalangimu untuk mengingatku.”
Adalah wajar bila manusia mendengar satu suara atau melihat satu pemandangan lalu ia menitikkan perhatian kepadanya. Karena itu, suara-suara atau kondisi-kondisi yang membuat kita tertarik kepada dunia dan membuat kita lalai kepada Allah, kita mesti berusaha menjauh darinya. Hendaknya kita menuju suatu tempat atau kondisi yang bisa membuat kita selalu mengingat Allah. Sebab Itu, kita harus berusaha menjauh dari lingkungan yang dipenuhi oleh ahli dunia. Seluruh fikiran, harapan dan ingatan ahli dunia hanya pada kelezatankelezatan duniawi.
Hendaklah manusia bergaul dengan orang yang ucapan dan perbuatannya selalu mengingatkan ia kepada Allah swt. Telah disebutkan dalam sebuah hadis bahwa para hawariyyûn (sahabat khusus) bertanya kepada Nabi Isa putra Maryam as., “Dengan siapa kita harus bergaul?” Nabi Isa as. menjawab: Dengan orang-orang yang mengingatkan kalian kepada Allah ketika kalian melihat mereka, dan ucapan mereka akan membuat ilmu kalian bertambah, serta amal-amal mereka membuat kalian cinta kepada Hari Akhir. [Bihâr Al-Anwâr, jld 1, hlm. 203]
Jelas, semakin manusia bergaul dengan orang-orang tersebut (yang disebutkan dalam hadis) akan membuatnya kian merasa malu. Sedangkan ungkapan, “Hendaklah engkau menghindar dari orang-orang yang menghalangimu untuk mengingat-Ku” mengandung pengertian menjauh dari mereka, dimana bergaul dengan mereka akan membuat kita lupa kepada Allah swt.
Allah swt dalam firman selanjutnya menjawab pertanyaan Nabi saw: Menutup mata dari manis dan pahitnya dunia dan mengosongkan perut dan rumahnya dari hal-hal dunia. Kemudian Dia berfirman: Wahai Ahmad! Berhati-hatilah jangan sampai engkau seperti seorang anak kecil yang ketika melihat pada yang hijau dan yang kuning ia akan mencintainya serta jika diberikan kepada ia sesuatu dari yang manis atau yang pahit maka ia akan menyukainya.
Orang-orang yang berjalan di jalanan akan tertuju perhatiannya kepada sesuatu yang bersinar dan bercahaya; tak ubahnya dengan seorang anak kecil. Oleh karenanya, kita harus sangat hati-hati dan mesti selalu waspada. Janganlah manusia tertipu hatinya oleh sinar dan cahaya duniawi. Mereka yang bahagia karena di rumahnya memakan makanan, peralatan berharga yang jarang ditemui di rumah orang lain, dan digelar di rumahnya karpet yang mahal. Ini pikiran anak kecil. Hal ini tidak sejalan dengan kecintaan pada Allah swt.
Dzikir dan mengingat Allah swt. akan memberi motivasi kepada manusia untuk tidak memenuhi perutnya dengan makanan-makanan yang lezat, juga tidak memenuhi rumahnya dari perkara-perkara duniawi. Riwayat yang menceritakan tentang Nabi saw. bisa menjadi sebaik-baiknya referensi. Dinukil bahwa ketika Nabi saw. melihat tirai yang berwarna-warni melekat di kamar putrinya, Fathimah as. Beliau marah. Tanpa bertutur kata, beliau melewatinya. Sadar bahwa sang ayah tidak senang dengan hal tersebut, Fathimah as. ia langsung mengambil tirai tersebut dan menyedekahkannya di jalan Allah swt.
Dikutip dari buku Menjadi Manusia Ilahi, karya Ayatullah Taqi Misbah Yazdi