Berita
Catatan Ziarah ke Makam Sunan Gunung Jati
Cirebon merupakan salah satu kota yang masih memiliki peninggalan-peninggalan keraton; baik yang berbentuk benda sejarah maupun sanak keturunan keraton.
Dua minggu lalu, Fuad (17) beserta rombongan berkunjung ke Cirebon yang saat itu akan mengadakan Maulid Nabi Muhammad Saw, dengan tradisi dan prosesi adat setempat.
Sebelum perayaan maulid, Fuad dan teman-temannya bersilaturahmi ke keluarga keraton yang berlokasi di Kanoman. Kepada mereka, keluarga keraton pun memberikan surat ijin ziarah ke makam Sunan Gunung Jati.
“Lagipula tak puas rasanya kalau kita sudah berada di Cirebon, tapi belum berziarah ke makam Sunan Gunung Jati,” kata Fuad.
Komplek pemakaman tersebut berlokasi di daerah gunung Sembung, Cirebon Utara. Tepatnya di belakang pangkalan bus yang akan memberangkatkan orang-orang ke terminal. Di tempat itu juga terdapat pasar yang padat pengunjung.
Untuk menuju makam Sunan Gunung Jati, Fuad dan kawan-kawan melewati pemakaman umum, lalu masuk ke pemakaman para leluhur, dan para pendakwah Islam di masa lalu. Karena Sunan Gunung Jati dimakamkan di tempat yang tinggi, maka mereka harus melewati tujuh pintu dengan menaiki tangga yang tersedia.
Namun ada pemandangan tak sedap yang seharusnya tak tampak di area pemakaman. Sepanjang perjalanan menuju makam Sunan Gunung Jati, dimulai dari pintu masuknya sudah dipenuhi para peminta-minta. Cara memintanya pun agak memaksa dengan berbagai alasan. “Ada yang bilang untuk kebersihan lah, untuk anak yatim lah, bahkan untuk keberkahan. Kan aneh!’’ ujar Fuad. “Di sini bilang untuk kebersihan, lalu di depannya lagi bilang untuk kebersihan juga, ini kan nggak beres,” tambahnya.
Para “pengemis makam” itu bukan hanya dari kalangan orang dewasa, bahkan ada yang masih kecil, ada juga yang remaja. Fuad menilai keadaan di makam Sunan Gunung Jati itu sangat berbeda dari tempat-tempat lain yang ketika ada pengemis ia dapat memberikan uang kepada para pengemis itu seikhalsnya. “Tapi pengemis di area makam ini sudah menetapkan tarif yang harus kita keluarkan,” kesal Fuad.
“Di dekat pintu masuk makam Sunan Gunung Jati, ada pengemis yang memaksa kita untuk memberi mereka uang sepuluh ribu rupiah dengan alasan untuk dana kebersihan. Salah satu anggota rombongan, Miqdad, memarahi peminta-minta itu dan bilang, ‘Sudah Pak, saya sudah bayar upah kebersihan tadi, kenapa Bapak minta lagi? Bapak ini mau mempermainkan saya ya?’” kisah Fuad menirukan protes tegas Miqdad (21) kepada si pengemis.
Konon tradisi “pengemis makam” itu sudah berlangsung sepuluh tahun lamanya. Banyak peziarah tak ambil pusing dan membiarkan ini terus terjadi di tempat yang seharusnya tidak dilakukan. “Ini sudah dari dulu Mas, kita sih biarin saja,” kata Kosim salah satu peziarah. Padahal dalam kacamata etika, menurut Fuad hal ini tidak boleh terjadi. Memanfaatkan pemakaman sebagai usaha mendapatkan uang dengan jalan meminta-minta. Terlebih lagi, area itu merupakan pemakaman salah seorang tokoh Walisongo yang dinilai masyarakat sebagai sebuah tempat yang seharusnya dihormati dan selama ini dianggap sakral. (Fuad/Yudhi)