Berita
Catatan Perjalanan dan Ungkapan Cinta Peziarah Makam Imam Ridha
“Memandang kubah emas makammu, takkan pernah puas,” bisik hatiku. “Membuat air mata pertanda kecintaan deras mengalir hangat di pipi, setelah dua tahun tak mengunjungimu, wahai Imam Ridha.”
Pada 17 Februari 2016, pukul 20.10 waktu Iran, kami berkumpul di stasiun Rah Ohan. Sambil menunggu yang lain tiba, kami periksa kembali barang bawaan kami dengan teliti. Kami, Rombongan Mahabbah, berjumlah 70 orang.
Ada hal yang membuat saya takjub saat menempuh perjalanan dari kota Qum ke kota Masyhad. Sesampainya di sebuah tempat bernama Daqkhan, 80 kilometer sebelum Masyhad, kereta yang kami tumpangi berhenti dan petugas mengumumkan bahwa kita akan berhenti selama 25 menit untuk melaksanakan salat Subuh.
Tahukah Anda? Ternyata para penumpang kereta api; anak-anak, remaja, ibu-bapak, kakek-nenek di subuh yang dingin dan kelelahan akibat perjalanan itu, semua turun, keluar untuk melaksanakan salat subuh.
Ada yang salat di trotoar, ada yang salat di mushalla. Saya rasa, ini adalah pengaruh dari pandangan dunia yang telah terpatri dalam hati mereka. Sungguh pandangan dunia Ilahi yang kuat, yang tak dapat saya temukan di tempat lain. Membuat hati terharu, sekaligus teladan untuk diri sendiri.
Tak lama setelahnya, kami kembali ke kereta. Petugas kereta memberi kami sarapan pagi. Sepertinya sekarang saya sudah terbiasa sarapan pagi tanpa nasi. Hanya dengan roti ceper, keju Iran, dan madu, saya pun beserta teman sebilik saya satu orang dari Afghanistan, dua orang dari Thailand , dan 2 orang dari Indonesia menyantap sarapan pagi itu. Sambil menikmatinya, kami pun bercanda “dengan syarat”. Maksudnya, bercanda tanpa menimbulkan dosa, tanpa membuat teman kita sakit hati atau menurunkan harga diri masing-masing. Karena kami sadar, bercanda tanpa berdosa merupakan salah satu adab perjalanan dalam Islam.
Kira-kira 14 jam perjalanan Qum-Masyhad, terbayar sudah rasa letih saat melihat kubah emas makam Imam Ridha as di Masyhad. Entah kemana pikiran ini melayang. Air mata tak terasa menetes hangat membasahi pipi-pipi kami. “Selamat datang para pencintaku,” seolah itulah yang terdengar berdengung di telinga batin kami. “Ya Allah, terima kasih Engkau telah memberikan kami taufik untuk berziarah kepada maulaku,” bisik hatiku.
Sekitar satu jam di hotel, kami bersitirahat sebelum mempersiapkan diri untuk berziarah. Karena ziarah pada kesempatan kali ini kami hanya memiliki waktu tiga hari dua malam, maka kami harus benar-benar memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.
Setelah mandi sunah ziarah, mengenakan pakaian terbaik, berparfum, dan mengucapkan Bismillah, sayapun melangkahkan kaki ke makam “Pemilik Khurasan”.
Berzikir dan bershalawat adalah dua amalan yang dinasihatkan guru akhlak kami selama menempuh perjalanan ke makam Imam as. Setelah 15 menit kami pun tiba di sana.
Lagi-lagi karena rindu yang telah terpendam selama ini, sudah hampir dua tahun saya tak menziarahi beliau, air mata tertumpah deras mengaliri pipi ketika melihat kubah emas itu.
“Tak pernah puas dan tak akan pernah puas memandang kubahmu.” Itulah yang terngiang-ngiang dalam hati. “Melihat Kubah Imam Ridha as, tak akan pernah merasa puas,” gumam teman asal Afghanistan seolah mendengar isi hatiku.
Kelezatan memandangmu tak akan pernah dirasakan siapapun yang belum pernah menziarahimu. Imamku, Maulaku, wahai hujjah Allah di muka bumi, terimalah ziarah kami.
Ketika melihat keranda makammu, kebesaran Allah yang aku saksikan, peranmu dalam sejarah yang aku saksikan. Semakin yakin dengan agama yang kuyakini. Berani kunyatakan bahwa kelezatan rohani orang yang beragama tak akan pernah dirasakan oleh orang yang tak beragama. Begitupun tatkala melihat keranda makammu, tak terlukiskan kelezatan apa yang aku rasakan.
“Ey Imam Ridha, man dustat doram.” (Wahai Imam Ridha, aku mencintaimu). Inilah ungkapan perasaanku kepadamu. (Sutia/Yudhi)