Berita
Catatan Perjalanan Arbain Kafilah Ahlulbait Indonesia
Kepulan debu-debu sahara menerjang langkah para peziarah. Jarak 90 km dari Najaf ke Karbala yang ditempuh dengan berjalan kaki itu pun menambah beratnya perjalanan. Begitu juga yang dirasakan Kafilah Ziarah Arbain Imam Husain a.s. dari Ormas Ahlulbait Indonesia (ABI) di hari ke empat berjalan kaki. Betapapun kaki melepuh dan ayunan langkah mulai payah, perjalanan tetap dilanjutkan demi meraih syafaat dan cinta Al-Husain a.s.
Pagi itu, 19 Shafar 1439 H (8 November 2017), mentari dengan sinar merona kembali terbit menghangatkan semangat para peziarah. Wajah-wajah yang lelah kembali sumringah seakan mendapat sambutan hangat dari penghuni Karbala yang sudah tampak dekat.
Teriakan “Labbaika ya Husain” dan alunan maktam (syair) cinta dan rindu, begitu terasa makna dan pesonanya di tengah lautan peziarah. Seketika itu kafilah Ahlulbait Indonesia ikut hanyut bersama jutaan manusia dari penjuru dunia memenuhi panggilan Imam Husain a.s., Sang penyandang gelar Sayyidu Syabab Ahl al-Jannah (penghulu pemuda surga).
Karbala seakan berdandan penuh gairah dan kehangatan. Begitu juga semerbak aroma syafaat terpancar begitu kuat.
Tak terasa iring-iringan kafilah ziarah hampir memasuki wilayah Haram Karbala. Pepohonan yang membelah jalanan seakan melambai menyambut kedatangan tamu Aba Abdillah a.s.
Rona wajah kafilah ziarah berbinar dengan senyum hangat walau berbalut debu dan keringat. Di tengah-tengah rombongan yang semakin padat, seorang anggota kafilah tiba-tiba berteriak kencang “Ya Imam Husain…. Ini aku datang…. Ulurkan sambutan tanganmu agar aku bisa menciumnya… Usapkan kelembutan tanganmu di atas wajah yang hina dan penuh dosa ini agar layak mendapatkan Ampunan Allah SWT ..!”
Semua orang tersentak. Mereka tersadar, bahwa lebih dari 80 km perjalanan kaki telah terlewati dan kini mereka sudah berada di pelataran tanah suci Karbala. Tanah yang dirindukan, tanah yang penuh gairah dan kehangatan, tanah yang pemiliknya adalah Aba Abdillah Imam Husain a.s.
Peluh, keringat, nafas yang terkumpul dan membuncah di dada para peziarah, kini seakan lapang dan kosong menampakkan perasaan rindu dan cinta yang tak terkira.
Mata yang tadinya berbinar mulai menitikkan air mata bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuk barat. Dari kejauhan, di sebuah perempatan jalan Baraim, kubah warna kuning emas menjulang ke langit tampak begitu megah dan indah. Dada-dada kafilah ziarah terguncang di antara rasa syukur, gembira, rindu dan cinta yang menghapuskan seluruh keletihan dan penatnya perjalanan. Teriakan “Labbaika ya Husain!” membahana memecah langit di tengah alunan doa ziarah yang bercampur derai air mata para kafilah.
Dalam penggalan doa Ziarah disebutkan, “Salam atasmu wahai Abu Abdillah, salam atasmu wahai putra Rasulullah, salam atasmu wahai putra Amirul Mukminin. Hambamu, putra hambamu, dan putra sahayamu, yang mengakui kehampaannya, mencampakkan rasa penentangan terhadap kalian, berwilayah kepada Wali kalian dan memusuhi musuh kalian, kini telah menuju harammu, memohon perlindungan di pusaramu dan mendekatkan diri kepadamu dengan menuju kepadamu.”
Apakah aku diperkenankan Wahai Rasulullah? Apakah aku diperkenankan masuk wahai Rasulullah? Apakah aku diperkenankan masuk wahai Amirul Mukminin? Apakah aku diperkenankan masuk wahai Fathimah Az Zahra, penghulu wanita sejagat?
Demikian permohonan izin para peziarah, yang terasa begitu berat dan bergelayut harapan dalam perasaan dan jiwa para tamu Aba Abdillah.
Duhai Aba Abdillah engkau tahu kelemahan kami, kotornya diri kami, dan banyaknya dosa di dalam hati kami. Karena itu, kami berharap kemurahan hatimu untuk berkenan menerima ziarah kami dan mengakui kami sebagai pecinta dan pengikutmu sehingga layak engkau beri syafaat di sisi Allah SWT atas izin-NYA …