Berita
Cara Wong Cilik Memaknai Kemerdekaan
Sejak pukul lima pagi, kesibukan terlihat di Istana Negara. Tak hanya para wartawan berbagai media yang telah standby sejak semalam dan para petugas kebersihan yang bersiap, ratusan tentara dan polisi berseragam lengkap, juga yang berseragam batik telah bersiap mengamankan jalannya upacara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-69.
Massa semakin memadat sekitar pukul 07.00 WIB. Bagi tamu undangan, telah disediakan tempat parkir khusus di Jl. Veteran, Jl. Majapahit, dan Jl. Merdeka. Sementara masyarakat umum dilarang mendekati Istana dengan penjagaaan ketat dan berlapis oleh aparat, dan hanya bisa menyaksikan jalannya upacara dari dalam kompleks Monas. Tapi hal itu tak menyurutkan minat mereka untuk mengikuti upacara sakral yang kabarnya menelan biaya hingga Rp 11,3 miliar itu.
Apa sebenarnya makna perayaan ulang tahun kemerdekaan semacam itu bagi wong cilik seperti para pedagang kecil di pinggir jalan, para peternak, buruh, petani dan orang-orang seperti mereka? Bagaimana pandangan mereka tentang arti kemerdekaan dan bagaimana pula mereka maknai peringatannya yang ke 69 kali ini?
Emi Rahayu, adalah salah seorang pedagang keliling di depan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta yang ABI Press sempat wawancarai. Wanita berusia 54 tahun ini berdagang rokok, kopi dan air mineral dengan gerobak kecil berukuran tak lebih dari satu meter panjangnya.
Berbekal niat dan usaha, ia menjalani pekerjaannya demi kelangsungan hidup dirinya beserta keluarga yang masih jauh dari kecukupan.
Ketika kami tanyakan makna kemerdekaan bagi pedagang seperti dirinya, ia mengaku tak paham. Ia sendiri tidak begitu mengerti apa itu merdeka.
“Ndak bisa njelasin jadinya mas,” ungkap Emi polos. “Mau ada peringatan kemerdekaan atau tidak, mau presidennya siapa pun, intinya bagi saya kalau ndak usaha ya ndak makan mas,” tambahnya dengan nada enteng.
“Harapan saya sih gak banyak, yang penting kita diperhatikan dan harga kebutuhan pokok murah. Itu aja,” pungkas Emi kepada ABI Press.
Sementara itu masih di Kalibata, seorang kusir delman juga ABI Press temui.
Di Jakarta, alat transportasi bernama ‘delman’ ini terbilang cukup langka. Bahkan jika ada pun, seperti di Kalibata ini, sebenarnya bukan diprioritaskan sebagai alat transportasi melainkan sebagai sarana hiburan di wilayah itu untuk mengantar pengunjung berkeliling di seputar TMP saja.
Sebab itu, tak setiap hari para kusir delman ini mengoperasikan delmannya.
“Kadang hanya hari Minggu saja kita narik Bang,” tutur Egi saat kami wawancarai.
Paling banyak, dalam seminggu Egi menarik delman hanya dua kali, hari Sabtu dan Minggu saja. Sedangkan Senin hingga Jumat ia harus mengurus kuda-kuda milik majikannya itu. Sebab, ia merasa tak punya cukup modal untuk punya delman sendiri. Karena itu, untuk dua kali narik, Egi wajib setor 250 ribu dalam seminggu.
“Ya alhamdulillah mas, meski dua hari tapi bisa setor ke bos, karena kadang sehari, sekali narik bisa dapat 200 ribu,” ungkap Egi.
Berbeda dari biasanya, hari Minggu (17/8), yang bertepatan dengan HUT Kemerdekaan RI ke-69 ini justru penumpang delmannya berkurang.
“Sebab biasanya kalo hari Minggu ada bazar, pasar dadakan di sini. Tapi hari ini libur. Jadi sepi penumpang,” cerita Egi.
Ketika ditanya makna kemerdekaan bagi dirinya, Egi hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Seolah ia memang tak paham makna kemerdekaan yang saat ini sedang ramai dirayakan.
Melalui sambungan telepon, ABI Press juga meminta tanggapan seorang peternak ayam di Lampung bernama Fitri. Kami tanyakan pendapatnya terkait makna kemerdekaan. Tapi Fitri hanya menyampaikan kritikan terhadap pemerintah yang seharusnya lebih memperhatikan rakyatnya.
“Sudah 69 tahun merdeka tapi kok masih banyak yang menderita,” ungkapnya dengan nada prihatin.
Bagi dirinya sebagai peternak kecil, tak jauh berbeda harapannya dengan Emi selaku pedagang. Yaitu tersedianya kebutuhan pokok dengan harga murah, sehingga dengan penghasilannya yang pas-pasan, semua kebutuhan hidupnya masih bisa tercukupi. (Malik-Muhammad/Yudhi)