Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Cara Tepat Blokir Situs Radikal

Pemblokiran Situs Radikal

Pemblokiran situs-situs radikal oleh Kominfo atas permintaan BNPT kemarin menuai banyak kontroversi hingga saat ini. Meski ada upaya positif pemerintah memblokir situs-situs radikal ini, karena tak melalui prosedur hukum yang transparan, justru menimbulkan reaksi kontraproduktif di sebagian masyarakat.

Membincangkan hal ini, Kamis (23/4) Freedom Institute menggelar Diskusi Publik “Pemblokiran Situs Radikal dan Kebebasan Berekspresi” di Jakarta. Ulil Abshar Abdala, salah seorang pembicara menyatakan bahwa penutupan situs-situs radikal itu tepat.

“Jawaban saya tegas, kita tak bisa toleran pada intoleransi. Kalau hanya sekadar gagasan itu kita gak setuju tentu kita tindak tolelirnya dengan sanggahan, kritik, dan argumen. Tapi kalau sampai kata-kata bunuh Syiah, bunuh Ahmadiyah itu sudah bukan gagasan lagi tapi anjuran,” ujar Ulil.

“Kalau ISIS lain lagi, terbukti mereka melakukan kekerasan. Ini bukan lagi masalah kebebasan berekspresi, tapi ini masalah public safety,” terang Ulil.

Menurut Ulil yang dikenal sebagai pendukung kebebasan berekspresi ini, bahkan kebebasan berekspresi pun memiliki batasnya. “Rezim kebebasan pun ada batasnya juga. Tapi jangan samakan dengan pembatasan rezim otoriter. Pembatasan dalam rezim kebebasan berekspresi; itu akuntabel, logis, dan rasional.”

“Buat saya pemblokiran situs ini selama dalam koridor hukum oke saja,” imbuhnya.

Tujuan Benar, Cara Yang Salah

Megi Margiyono, Pakar Hukum Siber Indonesia Online Advocacy (IDOLA) dalam paparannya menyebutkan, bahwa pemerintah melakukan kecerobohan dalam proses pemblokiran ini.

“Definisinya mestinya diperjelas. Jangan cuma radikal saja. Tapi lebih detail sebutkan misalnya ‘mengajarkan kekerasan, hate speech, karena konten yang melanggar hukum. Yang harmfull…,” ujar Megi.

“Kebebasan berekspresi sekali pun bisa dibatasi jika ada ancaman pada keselamatan umum. Jadi kategorisasi harus diperjelas. Soal provokasi dan hate speech mestiya ada penilaian, dicek dulu kontennya,” imbuh Megi.

Pembicara yang ketiga, Wicaksono Ndoro Kakung, pemerhati sosial media, menyarankan digunakan sistem yang lebih transparan seperti social bookmarking.

“Bisa pakai social bookmarking. Dengan cara itu pemblokiran bisa dilihat situsnya apa, kontennya apa. Nanti Kominfo bisa lihat kontennya bener ato tidak. Dan ini bisa diumumkan secara transparan, mekanisme filtering secara terbuka,” ujar Wicaksono. (Muhammad/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *