Berita
Candra Malik: Islam Nusantara, Ajaran Langit yang Membumi
Islam sesungguhnya sudah mengalami metamorfosa terus menerus di Indonesia. Jika menengok sejarah, HOS Cokroaminoto pernah memperkenalkan Islam yang progresif.
Hal itu disampaikan Candra Malik pada acara bedah buku Islam Nusantara: Dari Usul Fiqih Hingga Paham Kebangsaan karya Akhmad Sahal di Universitas Hasyim Asy’ari, Selasa (4/8).
Menurut Candra, dialektika dalam dunia Islam terus berkembang di Indonesia. Jika sebelumnya diperkenalkan Islam yang ramah, kini isu telah bergeser menjadi Islam Nusantara.
“Gus Dur dengan Pribumisasi Islam… Muhammadiyah dengan Islam Berkemajuan. Pada akhirnya kita sepakat sebagai bagian dari Nusantara itu sendiri,” kata Candra Malik.
Islam bisa dipahami secara apapun oleh pemeluknya. Karena itu, Islam Nusantara tidak bisa dianggap bertentangan secara teologi dengan Islam. Islam Nusantara hanyalah pemaknaan anak biologis umat Islam di Nusantara ini.
“Kita adalah anak-anak ideologis Islam, dan kita adalah anak-anak biologis Pancasila,” terang tokoh sufi, budayawan, sekaligus penyanyi reliji ini.
Nusantara yang Bhinneka Tunggal Ika dihuni oleh kebanyakan Muslim yang memiliki pemahaman secara luar biasa terhadap perbedaan. Di sisi lain Islam juga mengajarkan perbedaan sebagai rahmat.
Ajaran Islam yang dibawa Muhammad saw. adalah rahmatan lil ‘alamin, anugerah bagi semesta raya,” ujarnya.
Islam merupakan ajaran langit dan Nusantara merupakan tradisi bumi. Islam Nusantara adalah ajaran langit yang membumi. “Kita harus bisa membawa ajaran langit sampai ke bumi,” ajaknya.
Islam Nusantara menghimpun kekayaan pemahaman dan tradisi yang ada di bumi Nusantara. Selain itu juga menghimpun tasawuf. Dalam Islam Nusantara keyakinan sebagian umat Islam terhadap ilmu “melipat bumi” mendapat tempat.
Keyakinan umat Islam terhadap ilmu “melipat bumi” menurut Candra adalah bagian dari spiritualitas. Fenomena demikian sudah lama mengakar di Indonesia.
Diskusi bedah buku dalam rangka memeriahkan muktamar ke-33 NU ini juga menghadirkan Akhmad Sahal, Yenny Wahid dan Profesor dari Iwate University Jepang, Ken Miischi. (Lam Yaim/Yudhi)