Opini
Terima Kasih atau Pergi: Diplomasi Oval dalam Era Bisnis

Oleh: Muhlisin Turkan
Di panggung diplomasi global, episode terbaru dari serial Politik Realitas: Gedung Putih Edition berlangsung di Ruang Oval pada Jumat, 28 Februari. Bintang tamunya? Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, yang datang dengan harapan mendapatkan dukungan bagi negaranya yang terus digempur perang. Host utamanya? Donald Trump, sang maestro transaksi, yang percaya bahwa hubungan internasional tidak lebih dari negosiasi bisnis di mana hanya ada dua kemungkinan: untung atau rugi.
Namun, yang terjadi bukanlah perundingan bersejarah, melainkan sebuah penyergapan ala boardroom The Apprentice. Zelensky, yang mungkin mengira dirinya diundang untuk diskusi strategis, justru mendapati dirinya dalam audisi dadakan untuk peran “pemimpin yang cukup berterima kasih.”
“Anda Harus Lebih Bersyukur”—Diplomasi Versi Diskon Besar
Zelensky, yang sudah kelelahan setelah bertahun-tahun menghadapi invasi, mencoba menyampaikan argumen tentang pentingnya dukungan AS bagi Ukraina. Namun, sayangnya, ia lupa membawa gift card berisi pujian tanpa batas untuk sang tuan rumah.
“Anda sudah cukup bicara. Anda tidak akan menang,” ujar Trump, dengan nada yang lebih cocok untuk mengusir peserta yang gagal dalam rapat direksi. Dengan kemurahan hati khasnya, ia lalu mengingatkan Zelensky bahwa Ukraina masih punya peluang menang—tapi hanya jika mereka memahami siapa yang benar-benar memegang kendali dalam permainan ini.
JD Vance, yang sebelumnya hanya duduk diam seperti eksekutif junior yang takut menyela CEO, akhirnya membuka suara. “Saya pikir tidak sopan bagi Anda untuk datang ke Ruang Oval dan berdebat di depan media Amerika,” katanya, dengan ekspresi seseorang yang baru saja menemukan memo internal bahwa pelanggan tidak boleh mengeluh di depan umum.
Zelensky tampaknya lupa bahwa ini bukan meja perundingan geopolitik. Ini adalah meja transaksi, dan dalam transaksi ini, loyalitas dan rasa terima kasih jauh lebih penting daripada fakta atau strategi militer.
Perdamaian? Maaf, Itu Tidak Termasuk dalam Paket Bantuan
Ketika Zelensky mencoba menjelaskan bahwa kemenangan Rusia atas Ukraina akan berdampak pada seluruh dunia, Trump menanggapinya dengan kebijaksanaan seorang pebisnis sejati.
“Jangan beri tahu kami apa yang akan kami rasakan,” katanya, dengan nada seorang pemilik kasino yang menolak klaim pelanggan tentang mesin slot yang macet.
Baca juga : Jejak Sang Syahid al-Muqawwamah: Mengubah Yaman Menjadi Benteng Perlawanan Arab & Islam
Sebagai seorang negosiator ulung, Trump memahami bahwa dalam setiap kesepakatan, hanya satu pihak yang boleh menentukan harga—dan dalam hal ini, harga perang. Jika Ukraina ingin tetap mendapatkan “bantuan”, mereka harus memahami bahwa ini bukan tentang keadilan, melainkan tentang investasi yang harus dibayar dengan loyalitas penuh.
Kontrak yang Tak Pernah Ditandatangani: Gagalnya Negosiasi ala Reality Show
Layaknya transaksi bisnis yang gagal, pertemuan ini berakhir tanpa kesepakatan. Tidak ada konferensi pers, tidak ada perjanjian mineral yang ditandatangani, dan tentu saja, tidak ada pujian yang cukup untuk membuat Trump merasa menang dalam perundingan ini.
Tak butuh waktu lama bagi Trump untuk mengunggah pernyataan di TruthSocial, memastikan bahwa narasi tetap berada dalam kendalinya. Zelensky, katanya, “tidak siap untuk perdamaian”—karena, tentu saja, jika ada seseorang yang paling memahami kompleksitas geopolitik global, itu pasti pria yang pernah mengklaim bisa mengakhiri perang dalam 24 jam.
Zelensky meninggalkan Gedung Putih dengan tangan kosong, sementara Trump dan Vance kembali ke agenda mereka: memastikan bahwa sejarah ditulis oleh pemenang—atau setidaknya, oleh mereka yang tahu cara memainkan permainan citra.
Dari Diplomasi ke Reality Show
Dunia kini bisa bernafas lega mengetahui bahwa diplomasi global bukan lagi soal strategi dan keamanan, melainkan soal seberapa pandai seorang pemimpin dalam memahami aturan main personal Trump. Perang? Itu hanya angka dalam laporan keuntungan-rugiannya.
Negara-negara yang sedang berperang tak perlu lagi repot-repot mencari aliansi strategis atau merancang taktik militer yang efektif. Yang mereka butuhkan hanyalah satu keterampilan krusial: bagaimana menyusun pidato yang cukup panjang, cukup memuji, dan cukup menyentuh ego agar bisa mendapatkan deal terbaik dari Sang Bos.
Setidaknya, sampai episode berikutnya dari Politik Realitas: Gedung Putih Edition tayang kembali.[]
Baca juga : Perang Global Melawan Pemakaman Sayyid Syahid Hassan Nasrallah