Opini
Suriah Tanpa Iran: Negeri yang Kehilangan Tameng dan Harga Dirinya

Oleh: Ismail Amin Pasannai
Begitu meraih kekuasaan, Jolani segera membangun narasi bahwa Suriah telah terbebas dari cengkeraman Iran. Ia menyebarkan wacana bahwa campur tangan Iran-lah yang selama ini menyebabkan kemunduran Suriah, serta memicu konflik yang tak berkesudahan dengan Israel. Bagi Jolani, Iran bukanlah penyokong stabilitas, melainkan penopang tirani. Dalam sebuah wawancaranya, Jolani memastikan tidak akan menjadi musuh bagi siapa pun—termasuk Israel. Ia bahkan menyatakan bahwa perang di Suriah telah usai, termasuk konflik dengan Israel. Untuk membuktikan ucapannya, ia meminta Iran angkat kaki dari Suriah.
Iran pun mundur. Ribuan tentaranya, yang selama ini menjadi tulang punggung keamanan Suriah, perlahan meninggalkan tanah yang telah mereka jaga selama puluhan tahun. Para penasihat militer kembali ke negaranya. Fasilitas-fasilitas militer yang dibangun dengan investasi miliaran dolar demi membentengi Suriah dan menopang perjuangan Palestina—ditinggalkan begitu saja. Iran mundur tanpa suara, tanpa pemberitaan besar.
Baca juga : Di Dalam Tenda, Para Jurnalis Menjaga Dunia Tetap Tahu, Lalu Israel Membakar Mereka
Apa yang terjadi setelah Iran angkat kaki?
Inilah momen yang telah lama ditunggu Israel. Dengan bebas, Israel mulai menginvasi wilayah-wilayah Suriah yang tak lagi dijaga. Dimulai dengan menghancurkan markas-markas militer, pabrik senjata yang dibangun dengan dana Iran—semua dihancurkan dalam hitungan hari. Sementara Jolani dan pasukannya hanya bisa terpaku, tak mampu berbuat apa-apa. Semuanya terjadi begitu cepat, hingga Jolani tak sempat menyadari apa yang tengah berlangsung.
Di bawah kepemimpinan Jolani, Suriah menjelma menjadi salah satu negara dengan pertahanan terlemah di dunia. Tanpa alutsista, tanpa jet tempur, tanpa armada perang. Suriah menjadi negara tanpa perisai.
Lalu apa yang dilakukan Jolani?
Ia mulai berteriak kepada dunia, memohon agar Israel menghentikan serangan. Ia juga memprotes kepada Amerika: “Bukankah saya sudah memutus hubungan dengan Iran sesuai instruksi kalian? Mengapa sanksi-sanksi masih tetap diberlakukan?” Tapi adakah yang mendengar? Adakah yang datang membantu? Apakah para raja Teluk yang dulu ikut bergembira atas naiknya Jolani kini menjawab panggilannya?
Rakyat Suriah pun tertegun. Baru saat itu mereka menyadari bahwa keamanan yang selama ini mereka nikmati dari ancaman Israel, terjamin berkat keberadaan pasukan-pasukan Iran. Jenderal-jenderal Iran yang bolak-balik ke Damaskus sebagai penasihat militer, yang bahkan tak sedikit di antaranya gugur oleh serangan Israel. Dana dari Iran yang membiayai logistik, rudal, radar, dan sistem pertahanan udara—semuanya menjadi penopang utama perlindungan langit Suriah.
Baca juga : Serangan Mahal, Efek Murahan: Kegagalan Amerika Menaklukkan ‘Kaum Sarungan’
Dan ketika semua itu menghilang, barulah mereka paham arti sejati dari sebuah ketiadaan.
Akhirnya, Jolani pun merasa malu untuk mengakui. Ia memanggil perwakilan komunitas Syiah di Suriah, mengundang dengan hormat para ulama Syiah ke istananya. Dalam pertemuan itu, ia mengenang masa kecilnya yang damai bersama teman-teman Sunni, Syiah, Alawi, Druze, dan Kristen. Ia mengaku sering menziarahi makam Sayidah Zainab yang diagungkan oleh kaum Syiah. “Kita semua bersaudara,” katanya. “Mari jaga persatuan nasional ini.” Namun di pesisir Banias dan Latakia, tanah masih menyimpan jejak darah segar komunitas Syiah dan Alawi yang pernah dibantai pasukan HTS. Luka itu belum sembuh.
Jolani menutup pertemuan dengan janji untuk meninjau dan menyelesaikan seluruh pelanggaran serta penyitaan aset milik komunitas Syiah dan Alawi—baik berupa tanah maupun harta benda—yang dilakukan oleh pasukannya. Meskipun tak menyebut nama Iran secara langsung, banyak yang menilai itu adalah isyarat bahwa Jolani ingin membuka kembali jalur komunikasi dengan Teheran.
Inilah pelajaran paling pahit dari drama panjang Suriah: Bahwa membangun kekuasaan di atas kebencian sektarian hanya akan membawa kehancuran. Bahwa musuh sejati umat bukanlah mereka yang berbeda mazhab, melainkan penjajah yang memperalat perpecahan untuk melancarkan invasi. Bahwa dalam perang panjang Suriah, bukan retorika yang menjaga negeri, tapi mereka yang diam-diam mengorbankan segalanya—meski namanya tak pernah disebut.
Dengan perginya Iran, Suriah tak hanya kehilangan pasukan pelindungnya. Ia kehilangan arah, kehilangan keberanian, kehilangan prinsip, kehilangan harga diri di hadapan Israel. Dan saat rakyatnya mulai sadar siapa kawan sejati dan siapa yang hanya membangun propaganda, sejarah pun diam-diam mencatat: Jolani mungkin memenangkan mikrofon dan panggung, tapi ia kalah dalam pertarungan harga diri. []
*Ismail Amin, (Jurnalis dan Kontributor Tetap Ahlulbait News Agency (ABNA)
Baca juga : Reset Ekonomi ala Trump: The Reality Show untuk Episode Tarif Global