Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Sudahkah Kami Menepati Janji?

Sudahkah Kami Menepati Janji?

Ahlulbait Indonesia – Fajar itu terbit dalam kesunyian. Udara dingin seolah membawa pesan dari langit: hari ini bukan hari biasa. Jumat terakhir di bulan suci Ramadan, 28 Maret 2025, menjadi saksi bagi mereka yang memilih jalan perjuangan. Kaki-kaki melangkah pasti, bukan sekadar karena emosi, melainkan panggilan hati dan jiwa. Sebuah jawaban atas seruan keadilan yang telah menggema sekian lama.

Di manakah kita berdiri ketika kezaliman merajalela? Apakah kita bersembunyi dalam ketenangan palsu, membiarkan kepedulian hanya bergema dalam hati? Ataukah kita memilih jalan berat—meninggalkan kenyamanan demi menyuarakan hakikat kemanusiaan? Yaumul Quds telah menjawabnya. Mereka yang turun ke jalan bukanlah pencari ketenaran, bukan pula pengikut arus. Mereka datang karena hati mereka terpaut pada suara keadilan—gema yang hanya didengar oleh insan yang masih memiliki nurani.

Hal min mu’inin?” (Adakah penolong?)
Seruan itu menggema di langit, menggetarkan hati siapa pun yang mendengarnya. Dan mereka menjawab tanpa ragu, dengan keyakinan teguh:
Inna alal ahdi!” (Kami tetap setia pada janji!)

Ini bukan sekadar kata-kata di tengah kerumunan, melainkan ikrar yang tertanam dalam sanubari. Perlawanan bukan ritual tahunan, melainkan warisan jiwa-jiwa yang menolak tunduk pada kezaliman. Ketika anak-anak Palestina kehilangan rumah, ketika tawa mereka direnggut dentuman bom, bisakah kita berpaling dan pura-pura tak tahu?

Di jalan-jalan dan lorong-lorong seluruh Indonesia, pada 28 Maret itu, suara solidaritas menggema lebih lantang dari sebelumnya. Ribuan manusia menyatu dalam satu tujuan; lautan manusia yang bergerak dalam irama perjuangan. Di antara mereka, ada yang membawa boneka-boneka kecil berwarna merah yang diangkat tinggi. Bukan sekadar simbol, melainkan pengingat: ada masa kecil yang direnggut, ada impian yang tak sempat tumbuh, ada jiwa-jiwa suci yang terhenti sebelum mengenal dunia. Air mata yang jatuh bukan tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa hati mereka masih hidup, masih berdenyut dengan kemanusiaan.

Baca juga : Yaumul Quds di Era Badai Al-Aqsa: Saatnya Perlawanan Palestina Mendapat Dukungan Global

Setiap langkah mereka adalah suara bagi mereka yang dibungkam, setiap teriakan adalah doa yang menjelma keberanian. Mereka memahami bahwa perjuangan tidak hanya soal politik, tetapi soal prinsip kemanusiaan yang tidak mengenal batas agama, ras, atau kebangsaan. Kepedulian terhadap Palestina bukan sekadar isu regional, melainkan cerminan dari nurani yang menolak ketidakadilan di mana pun ia berada.

Tak ada perjuangan yang sia-sia. Setiap kibaran bendera, setiap langkah hari itu adalah bagian dari kisah Perlawanan yang akan tercatat dalam sejarah. Pada Yaumul Quds 2025, doa-doa bukan lagi sekadar kata, melainkan berubah menjadi keberanian; menjadi pijakan bagi pejuang kebenaran, menjadi nafas bagi mereka yang tak rela kezaliman berkuasa.

Pada akhirnya, kita semua menyadari, apa yang dikenang bukanlah seberapa lama kita hidup, melainkan bagaimana kita hidup, untuk apa kita hidup, dan di sisi mana kita memilih berdiri.

Ketika Allah SWT berfirman:
Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Adakah ibadah yang lebih agung daripada menyerahkan hidup untuk-Nya; membela kebenaran-Nya dan teguh di jalan-Nya?

Maka, inilah hakikat seruan-Nya:
Wahai jin dan manusia!
Kalian Kuciptakan hanya untuk satu tujuan:
Agar kau wakafkan seluruh hidupmu untuk Allah SWT!

Labbaik ya Khamenei! Inna alal ahdi! Kami penuhi panggilan, wahai Khamenei! Kami tetap setia pada janji!. []

 

Oleh: Muhlisin Turkan

Baca juga : “Inna alal Ahdi”: Dari Seruan Solidaritas Menuju Aksi Nyata

Continue Reading