Artikel
Soekarno (Bag. 4)
Kembali ke Gelanggang
Setelah keluar dari penjara Sukamiskin, Bung Karno bertekad untuk membenahi PNI serta menggalang persatuan kembali. Sayangnya, saat Bung Karno keluar dari penjara, PNI sudah dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang oleh penguasa Belanda.
Tidak lama berselang, Bung Karno gabung dengan Partindo (Partai Indonesia) yang didirikan teman-teman Bung Karno saat di PNI. Dari situlah, Bung Karno mulai melakukan pergerakan lagi. Pengawasan terhadap Bung Karno oleh Belanda pun diperketat. Untuk menghindarinya, Bung Karno pergi ke sebuah desa bernama Pangalengan di Jawa Barat, sekitar Maret 1933, dimana Bung Karno menulis risalah yang beliau sebut judulnya “Mancapai Indonesia Merdeka’’ (MIM). Isi pokok risalahnya adalah bagaimana cara-cara paling mungkin untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.
Risalah MIM dianggap oleh pihak Belanda sangat mengganggu kekuasaan mereka, sehingga pemerintah Belanda menyatakan “Terlarang atas peredaran buku MIM.” Risalah tersebut dicari kemana saja, baik oleh pengikut-pengikut Bung Karno, maupun oleh pihak Belanda. Jika orang Indonesia yang ingin mencari buku MIM karena ingin mengetahui isinya, sedangkan pihak Belanda ingin menemukanya untuk dimusnahkan. Pihak Belanda pun mengerahkan pasukan untuk menggeledah rumah-rumah warga, dan jika didapati buku tersebut, kepala rumah tangga akan ditahan untuk dimintai keterangan.
Penangkapan Kedua Bung Karno
Tak berselang lama, Bung Karno ditangkap untuk kedua kalinya. Ia dikembalikan ke penjara Sukamiskin selama delapan bulan. Tanpa diadili, pihak Belanda mengasingkan Bung Karno ke suatu tempat terpencil di desa Endeh, Flores.
Secara rahasia, Bung Karno dikeluarkan dari Sukamiskin, dimasukkan gerbong kereta khusus menuju Surabaya. Tujuan akhirnya adalah pulau Bunga di Flores. Sesampainya di Surabaya, Bung Karno dimasukkan ke dalam sel, di sel itulah kemudian orang tua Bung Karno , yaitu pak Sukemi dan ibu Idayu sempat menjenguk Bung Karno. Sukemi yang mengharapkan putranya Bung Karno menjadi seorang Karna seperti pahlawan dalam Mahabarata, menangis tersedu menyaksikan putranya itu.
Sementara, Ibu Idayu, sembari melinangkan air mata tetap berusaha menghibur puteranya agar tetap semangat, dan dengan caranya yang khas membisikkan, “Sudah suratan takdir bahwa Soekarno menyusun pergerakan yang menyebabkan ia dipenjarakan, lalu dibuang dan kemudian dia akan membebaskan kita semua. Soekarno bukan lagi kepunyaan orang tuanya, sudah menjadi kepunyaan rakyat Indonesia. Kami mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan kedaan ini.”
Keesokan harinya, Bung Karno dibawa ke pelabuhan. Walau dirahasiakan, akan tetapi rakyat sempat tahu, dan mereka berjejal sepanjang jalan menuju pelabuhan, sambil melambaikan bendera Merah Putih.
Masa Pembuangan
Pembuangan Bung Karno ke pulau Bunga pada tahun 1934 ini adalah atas dasar bahwa Bung Karno adalah orang yang membahayakan bagi pemerintah Hindia Belanda. Sikap tidak ramah ditunjukan penduduk Endeh, Flores terhadap kedatangan Bung Karno. Namun Bung Karno memahaminya lantaran sebab, rakyat sudah dipropagandai oleh pihak Belanda yang mengatakan bahwa Bung Karno adalah orang jahat.
Namun, dengan berbagai cara dan pendekatan, perlahan masyarakat mulai menampakkan keramahanya kepada Bung Karno. Di pembuangan itu pula, Bung Karno banyak belajar dan berkarya. Walau dalam pengasingan, Bung Karno tak lepas dari pengawasan dari pihak keamanan Belanda.
Sempat juga Bung Karno ketika itu ditawarkan untuk melarikan diri oleh stoker kapal, namun Bung Karno menolaknya. Ia memiliki pendirian bahwa, “bergerak secara tersembunyi dan rahasia, bukanlah cara Soekarno. Bergerak untuk perjuangan kemerdekaan, tidak mungkin dilakukan secara rahasia.”
Setelah hampir lima tahun di Endeh, Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu, Sumatra Selatan. Pemindahan tersebut terjadi setelah MH. Thamrin protes kepada Kolonial Belanda karena di Endeh Bung Karno terserang penyakit Malaria. (Malik)
Bersambung…