Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Serangan Mahal, Efek Murahan: Kegagalan Amerika Menaklukkan ‘Kaum Sarungan’

Serangan Mahal, Efek Murahan: Kegagalan Amerika Menaklukkan ‘Kaum Sarungan’

Ahlulbait Indonesia – Amerika Serikat kembali menggelontorkan hampir satu miliar dolar untuk mengguyur Yaman dengan rudal dan bom dalam tiga pekan terakhir. Hasilnya? Ansharullah (Houthi) tetap berdiri tegak. Rudal mereka masih meluncur seperti kembang api di malam perayaan, dan kapal-kapal perang AS terus bermain petak umpet di Laut Merah. Jika ini belum layak disebut sebagai kegagalan strategis, lalu apa lagi?

Teknologi Canggih, Strategi Keropos

Washington tampaknya ingin mempertontonkan etalase kekuatan militernya: rudal Tomahawk, bom berpemandu presisi, hingga pesawat siluman B-2 yang harganya cukup untuk membiayai pendidikan sebuah negara berkembang selama bertahun-tahun. Namun yang hancur justru hanya gudang kosong dan hamparan gurun tandus.

Sementara itu, kapabilitas Ansharullah dalam mengacaukan jalur pelayaran Laut Merah tetap utuh, bahkan mungkin justru meningkat. Kini mereka memiliki pembenaran moral baru: Perlawanan terhadap agresi global.

Retorika “deterens” terus didengungkan oleh pejabat Washington, seolah-olah Ansharullah adalah ancaman konvensional yang bisa dilumpuhkan dengan unjuk kekuatan. Nyatanya, setiap rudal yang ditembakkan justru memperkuat legitimasi musuh. Di sisi lain, Pentagon mulai kelimpungan; stok rudal menipis, sementara potensi konflik di Indo-Pasifik belum juga reda. Sebuah krisis logistik yang diselimuti oleh kesombongan geopolitik.

Trump dan Biden: Dua Wajah, Satu Paradigma

Pergantian rezim di Gedung Putih tak membawa perubahan berarti. Trump dulu mencemooh strategi Biden sebagai lemah dan tidak efektif. Kini, ketika Trump kembali ke tampuk kekuasaan, kebijakannya berjalan di rel yang sama. Satu-satunya perbedaan, Trump lebih vokal dalam mencari kambing hitam. Namun substansi kebijakan tetap: penuh gimik, miskin hasil.

Amerika membentuk koalisi multinasional, mengerahkan kapal induk, dan menggertak dengan opsi pengerahan pasukan tambahan. Namun, seperti kata pepatah lama: “Jika satu miliar dolar tak cukup menyelesaikan masalah, menambahkan dua miliar bukanlah solusi, melainkan delusi.”

Ansharullah bukan musuh konvensional yang bisa ditaklukkan dengan embargo dan drone tempur. Mereka ditopang oleh ideologi yang kokoh, jaringan lokal yang solid, dan kemampuan adaptasi yang jauh melampaui kelambanan birokrasi Pentagon.

Baca juga : Di Dalam Tenda, Para Jurnalis Menjaga Dunia Tetap Tahu, Lalu Israel Membakar Mereka

Lingkaran Setan Kebijakan Luar Negeri AS

Yang paling ironis, bahkan tragis, adalah bagaimana Amerika terjebak dalam siklus logika yang absurd:

1. Rudal seharga jutaan dolar diluncurkan: “Kami berhasil menghancurkan satu gudang!”
2. Ansharullah membangun gudang baru dalam semalam: “Kami butuh lebih banyak rudal!”
3. Stok senjata menipis: “Kami memerlukan anggaran tambahan!”
4. Kongres meradang: “Ini semua kesalahan administrasi sebelumnya!”

Di sisi lain, Komando Indo-Pasifik (INDOPACOM) terpaksa merevisi strategi. Senjata-senjata yang semestinya digunakan untuk mengantisipasi manuver Tiongkok di Laut Cina Selatan, kini habis tersalurkan untuk membombardir pejuang ‘bersarung dan bersandal jepit’ di Yaman. Seperti menyiapkan senjata nuklir untuk menghadapi Godzilla, lalu menggunakannya memburu nyamuk yang tak hanya lolos, tetapi juga makin agresif menggigit.

Jago Perang di Film

Operasi militer AS di Yaman menegaskan satu hal: Amerika Serikat memang masih unggul dalam hal belanja militer, namun tidak memahami cara menggunakannya secara efektif. Mereka masih terpaku pada logika perang usang: semakin banyak bom, semakin dekat dengan kemenangan. Padahal lanskap konflik kontemporer menuntut kecerdasan strategis, bukan sekadar superioritas teknologi dan persenjataan.

Sementara Pentagon sibuk menghitung kerugian politik dan logistik, Ansharullah terus melancarkan serangan dengan sumber daya terbatas namun motivasi yang mengakar. Dunia pun bertanya: Jika Amerika tak mampu menundukkan kelompok bersarung di Yaman, bagaimana mereka bisa berharap mengalahkan Rusia, Tiongkok, atau Iran?

Siklus Gagal yang Tak Pernah Dipelajari

Barangkali inilah saatnya Amerika melakukan perenungan serius, atau minimal berhenti menyia-nyiakan triliunan dolar rakyat untuk perang-perang yang hanya menghasilkan luka, abu, dan laporan evaluasi yang tak pernah dibaca.

Tapi, tentu saja, kita sudah tahu jawabannya.

Insya Allah, tahun depan kita akan membaca berita yang serupa. Hanya angkanya yang berubah menjadi lebih besar, dampaknya yang makin kecil, dan absurditasnya yang semakin menggila. Selamat datang di teater militer Amerika Serikat: tempat di mana logika takluk oleh ego, dan kegagalan dianggap sebagai pengulangan sejarah yang tak perlu di ambil pelajaran.[]

Oleh: Muhlisin Turkan

Baca juga : Suriah Tanpa Iran: Negeri yang Kehilangan Tameng dan Harga Dirinya