Opini
SEGITIGA RAMADHAN
SEGITIGA RAMADHAN
Oleh: Dr. Muhsin Labib
Iman, puasa dan takwa adalah tiga kata kunci dalam ayat “Wahai orang-orang beriman diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu sekalian supaya bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 183).
Dalam pengertian umum, Iman adalah buah kepercayaan yang merupakan buah pengetahuan valid tentang sesuatu. Pengetahuan adalah buah pemikiran yang valid. Disebut valid karena aksiomatik atau apriori atau bersambung kepada premis yang telah dikonfirmasi oleh premis apriori. Proses ini ditetapkan dalam logika.
Dalam pengertian khusus, iman adalah frasa kepercayaan vertikal, bukan semua kepercayaan dan bukan semua pengetahuan. Pengetahuan secara umum meliputi semua buah pemilkiran dengan objek horisontal (material) dan objek vertikal (immaterial). Malah, kebanyakan orang menganggap pengetahuan sebagai buah persepsi sensual semata, yang lazim disebut sains. Sedangkan pengetahuan tentang objek immaterial terlanjut dianggap kebanyakan orang sebagai nir pengetahuan. Karena itulah kata “iman” atau faith dianggap oleh kebanyakan orang sebagai kepercayaan tanpa argumen. Inilah doktrin.
Iman sebagai kepercayaan vertikal bukan sekadar pengetahuan dengan akal namun memerlukan sarana lain, yaitu hati. Iman memerlukan akal yang memproduksi pikiran-pikiran dan memerlukan hati yang menerbitkan cinta. Akal mentautkan diri dengan konsep (apa) dan hati mengaitkan diri dengan realitas di balik konsep (siapa). Sebagai contoh, akal mengarahkan subjek kepada kenabian (konsep tentang kemestian adanya mediasi suci antara Tuhan dan hamba-hambaNya), sedangkan hati mengarahkan subjek kepada sosok real nabi.
Iman dan kufur sebagai lawan utamanya, juga dapat dilihat dari perspektif kedua sebagai buah kepercayaan dalam pengertian umum. Dalam perspektif ini, iman dan kufur bersifat netral, bisa positif dan bisa negatif mengikuti alasan, cara dan objeknya. Secara logis, iman atau kepercayaan kepada sesuatu meniscayakan penolakan terhadap lawan dari sesuatu yang dipercaya. Karena itu, mukmin pastilah kafir. Orang-orang beriman kepada Allah adalah orang-orang kufur kepada manusia yang berlagak Tuhan. Artinya, dalam perspektif ini, setiap mukmin pastilah kafir dan sebaliknya.
Dari perspektif lain, iman adalah buah pengetahuan yang tentang sesuatu yang immaterial. Iman berkaitan dengan beberapa elemen. Salah satunya adalah objek yang diimani. “Yu’minu billah” dalam al-Quran yang diindonesiakan sebagai “beriman kepada Allah” menyisakan ambiguitas, karena “kepada” mengungkapkan kaitan dengan objek yang telah dipercaya sebelumnya, seperti kata Inggris “trust”. “Percaya kepadamu” berarti mempercayaimu sebagai orang jujur dan setia atau dapat diandalkan.
Apakah “yu’minu billah” (iman kepada Allah) sama atau searti dengan percaya kita kepada teman atau mitra bisnis sehingga berarti “percaya kepada zat maha sempurna yang diberi nama Tuhan’? Ataukah “yu’minu billah” berarti “iman tentang wujud Allah”? Tentulah kita percaya kepada teman setelah percaya dia sebagai manusia dan percaya bahwa adalah sosok nyata yang ada. Beriman kepada zat Tuhan yang mahasempurna hanya bisa terjadi setelah beriman bahwa ada wujud tunggal yang merupakan sebab bagi semua yang ada. Itu artinya, kepercayan dan iman tentang ketuhanan bersumber dari keoercayaan tentang hakikat wujud atau eksistensi. Mustahil kita bisa mempercayai adanya Tuhan tanpa lebih dulu percaya tentang ada dan keberadaan. Mengetahui tentang ada dan keberadaan mestinya bermula dari pengetahuan tentang aksi mengetahui dan hierarki pengetahuan. Iman yang bermula dari iman tentang pengetahuan, berlanjut dengan oengetahuan tentang keberadaan lalu berujung pada pengetahuan tentang Tuhan. Itulah hierarki iman.
Iman berdasarkan kontennya bertingkat. Iman tertinggi adalah iman tentang ada Tuhan sekaligus tentang keesaanNya. Itulah tauhid.
Mengapa Allah mengulang larangan menyekutukanNya? Ada apa pula di balik perintahNya kepada manusia untuk menyembahNya semata? Apa untung bagiNya bila Ia diesakan dan apakah Ia ragu bila tak diyakini sebagai Tuhan Tunggal? Mengapa Ia selalu melarang kita menyembah selainNya!
Ada dua makna penyembahan, yaitu; a) menyembahNya melalui perbuatan vertikal; b) menyembahNya melalui perbuatan horisontal.
Menyembah (ibadah) bermakna melaksanakan semua kebaikan atas dasar kepatuhan.
Bila disebut berbuat baik karena Allah, maka yang dimaksud bukan mempersembahkan perbuatan baik kepada Allah atau karena menuruti keinginanNya seakan Ia membutuhahkannya tapi karena mengharap balasan dariNya.
Bila Allah tak memerlukan persembahan perbuatan baik, lalu mengapa kita dianjurkan berbuat baik karena mematuhiNya dan karena mengharapkan balasan dariNya?
Bila berbuat baik bukan karena kepatuhan kepada Allah dan bukan karena mengharapkan balasan dariNya, maka pasti yang diharapkannya adalah balasan dari selainNya.
Bila berbuat baik karena kepatuhan kepada Allah, pelakunya tak menjadikannya investasi. Karena itu, ia tak mengharapkannya. Karena tak mengharapkan balasan dari selainNya, tak kecewa bila tak menerima balasan dan tak euforia bila memperolehnya.
Tapi bila seseorang berbuat baik bukan karena kepatuhan kepada Allah tapi karena semata-mata meraih kenyamanan dan karena itu menyenangkan dirinya, maka kesenangan dan kenyamanan yang dirasakannya itulah balasannya.
Bila seseorang berbuat baik karena menantikan keuntungan instan berupa rasa aman dari gangguan orang lain atau balasan perbuatan baik, maka rasa aman itulah balasannya. Bila tak memperolehnya, ia kecewa karena menganggap perbuatan baiknya sia-sia dan dia tetap merasa tak aman.
Bila seseorang tak menganggap kepatuhan kepada Allah sebagai dasar setiap perbuatan baiknya maka menjadikan keuntungan instan sebagai tujuannya. Karena ingin memastikan keuntungan didapat, dia tak mau memulai melakukan perbuatan baik dan mau melakukannya sebagai respon sepadan atas perbuatan baik orang lain. Karena orang lain juga punya pandangan sama tentang keuntungan duniawi sebagai motif, maka setiap orang akan saling menunggu perbuatan baik lainnya. Saling menunggu perbuatan baik, berarti perbuatan baik menjadi nihil. Bila tak ada yang memulai perbuatan baik, maka hilanglah kebaikan sosial. Ini kerusakan horisontal.
Inilah materialisme yang telah menjangkiti kita. Orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah melakukan perbuatan baik yang ditujukan kepadaNya secara langsung (ibadah vertikal) dan yang ditujukan kepadaNya secara tak langsung alias hamba dan makhlukNya (horisontal) dengan harapan balasan dari Allah semata.
Orang-orang mukmin sejati itu tak kecewa bila perbuatan baik vertikalnya tak dibalas dengan ketenangan, kenyaman dan rezeki-rezeki duniawi. Mereka juga tak kecewa bila pebuatan baik horisontal yang dilakukannya tak dibalas dengan kebaikan karena perbuatan baik kepada makhluk yang dilakukannya tidak ditujukan selain Allah dan karena yakin bahwa perbuatan baik horisontal yang tak dibalas dengan kebaikan makhkuk pasti diganti dengan balasan utuh dariNya dan tak berkurang sedikitpun oleh balasan selainNya.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:1) Perintah bertauhid bertujuan mengarahkan manusia berikhlas.2) Perintah berikhlas (memurnikan niat untuk mematuhi Allah) demi mengamankan manusia dari kecewa, sedih, putus asa, stress dan derita-derita lainnya.
Perintah beriman kepada Allah jelaslah bukan sekadar perintah tapi perintah untuk berpikir supaya bertauhid. Tauhid adalah pembebas manusia dari penuhanan sesama makhluk yang bisa menciptakan eksploitasi dan pembodohan. Tauhid juga menghindarkan manusia dari semua petaka hidup yang bersumber dari kecewa. Merdekalah dengan tauhid agar tidak kecewa.
Iman, amal yang direpresentasi oleh puasa dan takwa dalam ayat ke183 surah al-Baqarah (Hai orang-orang yang telah memulai kesadaran sebagai hamba dengan beriman, lanjutkan proses kepatuhan demi mencapai kesuksesan sejati berupa ketakwaan) merupakan platform sebuah paradigma kehambaan yang dimulai dengan iman sebagai garis start lalu amal sebagai proses perfeksi dan takwa sebagai garis finish.
Baca juga : SYAHID ISTIMEWA
AMAL
Pada mulanya amal secara umum adalah semua perbuatan, baik dan buruk. Dalam konteks ayat di atas dan dalam terminologi agama, amal adalah implementasi iman. Ia dapat dibagi dalam dua dimensi; amal (aksi) batin yang diatur oleh etika atau akhlaq dan lahir.
Amal lahir dari sisi relasi dapat pula dibagi dua; amal horisontal yaitu amal yang berobjek sesama makhluk terutama manusia dan amal vertikal, yaitu amal yang berobjek Tuhan. Pada dasarnya semua amal dengan tujuan penghambaan bisa dianggap sebagai ibadah dan amal vertikal, namun ibadah dalam pengertian khusus adalah amal yang dilakukan dengan tatacara tertentu dan dengan tujuan meraih kedekatan dengan Allah.
Amal lahir vertikal yang dalam fikih disebut ibadah (ritus) mempunyai tiga predikat hukum; wajib, yaitu aksi ritual yang diperintahkan dan mustahab, yaitu aksi yang dianjurkan.
Secara umum amal wajib berdasarkan dasar kewajibannya dapat dibagi dua; wajib berdasarkan akal sehat dan wajib berdasarkan ketetapan teks suci al-Quran dan Sunnah. Namun dalam pengertian khusus, amal wajib berarti hal-hal yang diperintahkan berdasarkan ketetapan teks suci.
Amal-amal yang diwajibkan dalam agama berperingkat. Yang utama adalah shalat wajib. Shalat wajib pun berperingkat. Yang utama adalah lima shalat wajib dalam sehari.
Shalat wajib harian adalah etalase dan display semua amal dan sampul serta garansi kesalehan. Rasullullah bersabda, shalat adalah tiang agama.
Sebaik apapun manusia dalam relasi horisontal takkan dianggap baik bila enggan meletakkan di atas tanah mahkota kepalanya beberapa menit di hadapan penciptanya.
Sedemikian pentingnya deklarasi kehinaan dan ketakberdayaan di hadapan Tuhan sehingga manusia “dilarang mati” bila menyisakan tanggungan shalat yang tak dilakukannya. Itulah sebabnya mazhab Jafari mewajibkan qadha’ kepada setiap orang atas shalat wajib yang dilewatkannya.
Kewajiban utama kedua adalah puasa pada bulan Ramadhan. Ia semula berarti menahan diri dari kesenangan demi meresapi hakikat derita.
Puasa adalah ritual yang ada dalam semua agama. Ia disepakati sebagai proses detoksifikasi batin demi menangkal hal-hal negatif serta menumbuhkan rasa empati kepada sesama melalui derita lapar, dahaga dan isolasi diri.
Puasa seumur hidup adalah menahan diri dari semua larangan agama dan negara. Puasa dalam shalat adalah menahan diri gerakan dan perbuatan yang membatalkan shalat seperti tertawa. Puasa dalam pengertian khusus adalah menahan diri dari bebrrapa hal yang tak dilarang saat tak berpuasa seperti makan, minum dan aktivitas seksual.
TAKWA
Secara etimologis, akar kata taqwa adalah waqi, sebuah kata yang berarti menolak sesuatu dari sesuatu yang lain. Arti lainnya adalah melindungi sesuatu dari bahaya dan melindunginya.
Secara terminologis, taqwa adalah: menjadikan diri terlindungi dari apa yang ditakutkan, inilah pencapaiannya. Ketakwaan, menurut ilmu syariat, adalah menjaga diri dari kemaksiatan, dengan meninggalkan yang haram, dan hal ini dicapai dengan meninggalkan beberapa hal yang halal, sebagaimana diriwayatkan: Yang boleh jelas dan yang haram. sudah jelas, dan barang siapa yang menderita demam di sekitar demam, niscaya dia akan terjerumus ke dalamnya.
Takwa adalah produk iman dan amal. Ia adalah kemestian logis dari kombinasi iman dan amal. Ia didefinisikan sebagai sistem otonomi moral yang mengendalikan kehendak diri terhadap segala aksi negatif karena pengaruh iman dan amal.
Orang yang sukses mengawali ramadhan dengan iman dan sukses berpuasa layak merayakan kesuksesan mencapai garis finish takwa. Hari raya adalah pesta merayakan ketakwaan yang ditandai dengan reborn, kelahiran ulang, kembali ke fitrah. Restart!
Baca juga : Menjawab Opini ‘Tendensius’ Isu Palestina-Israel