Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Ruang Operasi Gabungan dan Gagalnya Proyek Israel Raya

Ruang Operasi Gabungan dan Gagalnya Proyek Israel Raya

Ruang Operasi Gabungan dan Gagalnya Proyek Israel Raya

Oleh: Muhlisin Turkan

Teror pembunuhan Qasem Soleimani dan Abu Mahdi al-Muhandis pada 3 Januari 2020 lewat serangan drone MQ-9 Reaper Amerika di dekat Bandara Internasional Bagdad, Irak, membuat murka para pemimpin Iran dan jaringan Poros Perlawanan di kawasan. Pembunuhan itu dari sudut pandang AS, Israel dan mitra Arabnya, dianggap sebagai keberhasilan dalam menghapus hambatan utama untuk menciptakan “Israel Raya” dan menghapus Palestina dari peta dunia.

Mega Proyek “Deal of the Century” dan “Abraham Accords”

Proyek Normalisasi AS adalah tindak lanjut dari pertemuan Kesepakatan Abad Ini (Deal of the Century) tahun 2020 di Manama, Bahrain yang dilanjutkan dengan penandatanganan Perjanjian Abraham (Abraham Accords) pada 13 Agustus 2020 di New York, AS antara Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain. Dalam klausul kesepakatan disebutkan bahwa kedua negara UEA dan Bahrain akan mendirikan kedutaan besar di tanah pendudukan, bertukar duta besar, dan bekerja sama dengan Zionis di berbagai sektor, termasuk pariwisata, perdagangan, kesehatan, militer dan pertahanan keamanan. Pasca Kesepakatan Abraham, negara-negara seperti Maroko dan Sudan saling membuka kedutaan besar dan rencananya akan disusul oleh Arab Saudi (masih dalam proses).

Sebelum itu, Mesir adalah negara Arab pertama yang menandatangani perjanjian damai dengan Zionis dan mengakuinya pada tahun 1979, menyusul Yordania pada tahun 1994.

Dua kesepakatan mega proyek AS itu dimulai dengan membangun kerjasama dengan negara-negara Arab, sekaligus menciptakan pengakuan umat Islam terhadap Israel. Dengan itu, negara-negara Arab dan umat Islam akan secara “legal” membukakan pintu kesempatan baru bagi Israel sebagai pemain utama dan penentu kebijakan di Timur Tengah termasuk penentuan nasib Palestina. Proyek normalisasi itu juga untuk memperkuat status dan memperluas lingkup pengaruh Israel dengan membuat aliansi bersama dengan sebagian umat Islam dalam menghadapi Iran dan Poros Perlawanan.

Hal ini sudah terbukti berhasil dalam menumbangkan negara-negara yang melawan AS dan Israel, dan kemudian menjadikan Israel sebagai pemain tunggal konseptor Timur Tengah dan mematahkan konsensus bertahun-tahun di antara negara-negara Arab yang berjanji akan mengakui Israel secara resmi dengan diakhirinya pendudukan wilayah Palestina, dan pembentukan solusi dua negara tahun 1967.

Di sisi lain, Iran menilai tindakan pembunuhan terencana AS itu justru sebagai awal hancurnya agenda besar pembentukan Israel Raya yang dibangun Amerika Serikat di kawasan untuk mengisolasi, melemahkan, dan menghancurkan kekuatan Iran dan Poros Perlawanan.

Banyak pengamat berspekulasi bahwa pembunuhan Qassem Soleimani adalah awal berakhirnya pengaruh dan kekuatan regional Iran; karena di saat yang sama Israel juga melancarkan Strategi Ofensif Octopus, melakukan berbagai aksi teroris dan sabotase baik di dalam negeri Iran maupun penghancuran kekuatan-kekuatan yang berafiliasi dengan Iran, diantaranya Suriah, Libya dan Irak dengan menggunakan kekuatan umat Islam (baca: takfiri ISIS, Al-Qaeda dan sejenisnya).

Namun, Republik Islam yang telah memetik banyak pelajaran dari berbagai konflik di Kawasan yang selalu bergejolak, membangun inisiatif keamanan baru yang luput dari perhatian AS maupun Israel. Iran muncul sebagai kekuatan baru, mengadopsi strategi modern untuk merespon setiap ancaman, dan menstabilkan jaringan keamanannya di kawasan.

Apa Strategi Iran?

Strategi ini letak jantungnya berada di Palestina, dengan memposisikan para pejuang perlawanan di Gaza sebagai garda depan perjuangan poros perlawanan untuk melawan musuh bersama, yakni Israel.

Di sini, Republik Islam Iran memindahkan garis depan perlawanan yang sebelumnya berada di Suriah ke Palestina untuk menghadapi proyek Perjanjian Abraham, dan sebagai penyangganya, Iran menciptakan dinamika baru dalam kekuatan jaringan regionalnya. Atas dasar inilah, pasca pembunuhan syahid Qasim Soleimani, “ruang operasi gabungan” kelompok perlawanan yang dicetuskan oleh Qasim Soleimani, komandan Pasukan Quds IRGC, direalisasikan untuk menciptakan tuas keamanan modern dalam merespon persamaan politik baru di wilayah yang digagas AS.

Persamaan politik baru itu adalah normalisasi hubungan antara Israel dan Arab. Sebuah proyek besar Donald Trump, yang menurut Iran, hal itu dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengumpulkan semua kelompok pejuang Palestina dan kelompok perlawanan lainnya di sekitar wilayah untuk menghadapi proyek berbahaya AS itu.

Ruang Operasi Gabungan ini mencakup anggota dan komponen perlawanan sebagai berikut:

* 12 kelompok perlawanan Palestina berpusat pada Hamas.

* Kelompok Hizbullah di Lebanon.

* Kelompok perlawanan yang di dukung Suriah

* Kelompok Ansarullah di Yaman.

* 9 kelompok perlawanan Irak berpusat pada Harakat Hezbollah al-Nujaba.

Berikut sistem kerja Ruang Operasi Gabungan:

1. Pejuang Palestina beroperasi sebagai garda pertama dan terdepan dalam medan pertempuran melawan penjajah Israel. Ruang operasi gabungan di tingkat pertama ini mempunyai tugas sampai pada tahap operasional yang diikuti semua cabang militer dari berbagai kelompok perlawanan Palestina.

Sebagai catatan, ruang operasi gabungan untuk kelompok perlawanan Palestina ini diresmikan pada bulan Januari 2019, satu tahun sebelum Qasim Soleimani dan Abu Mahdi al-Muhandis syahid.

2. Di sisi lain, Hizbullah Lebanon menjadi garda lapis kedua yang berperan sebagai aktor penyeimbang dengan kemampuannya dalam menciptakan pencegahan yang efektif dan aktif terhadap Israel, terutama ketika dalam situasi perang.

Dalam aksi operasi militer bersama, sebelumnya Hizbullah dengan kelompok perlawanan Palestina sepakat untuk membentuk ruang operasi bersama yang berpusat pada Sayyid Hassan Nasrallah. Meski demikian, keduanya tetap menjaga independensi dalam pengambilan keputusan dan tindakan dalam melakukan operasi apapun terhadap Israel.

Dalam dua tahun terakhir dan dalam beberapa rentang waktu, pertemuan-pertemuan antara pemimpin Hamas dan Jihad Islam intensif digelar dengan Sayyid Hassan Nasrallah di Lebanon. Hal yang belum pernah terjadi sebelumnya sampai pada serangan 7 Oktober 2023.

Alasan mengapa militer Hizbullah tidak terlalu masuk dalam medan pertempuran bersama kelompok perlawanan Palestina pasca serangan 7 Oktober tahun lalu karena itu didasarkan pada kesepakatan yang dicapai sebelumnya di ruang operasi gabungan.

Di sisi lain, Sayyid Hassan Nasrallah berkomitmen untuk menjaga Lebanon dari setiap serangan yang dilancarkan Israel ke dalam tiga tingkatan seperti yang disampaikan dalam pidato-pidatonya terakhir:

1. Langkah pertama, Hizbullah akan mempertahankan aktivitas front utara secara terbatas dengan tujuan menyeimbangkan kekuatan Israel dan menciptakan pencegahan. Pada level ini, mobilitas tempur Hizbullah hanya terfokus pada penggunaan senjata ringan, dan serangan yang dilakukan terbatas pada permukaan di pinggir-pinggir perbatasan, tidak sampai masuk ke dalam wilayah pendudukan.

2. Langkah kedua dimulai oleh Hizbullah setelah terjadi serangan darat Israel ke Gaza, jika kelangsungan hidup Hamas menghadapi ancaman obyektif. Artinya Hizbullah akan menggunakan senjata yang lebih berat untuk menyerang lebih dalam lagi. Namun tidak dengan menyasar titik-titik strategis atau sensitif. Pada tingkat ini, Hizbullah menggunakan pasukan khusus daripada mengerahkan pasukan dalam jumlah besar ke wilayah pendudukan.

3. Langkah ketiga ini bergantung pada respon Israel. Jika Tel Aviv menyerang Lebanon dalam skala besar, menargetkan infrastruktur negara, juga Amerika Serikat memasuki medan perang, atau serangan gegabah dilakukan Israel terhadap Iran, Hizbullah akan menyerang sasaran strategis, dan titik-titik sensitif militer. Selain itu, pasukan tambahan dari Suriah akan digerakkan bersamaan dengan serangan rudal.

Pola perilaku Hizbullah dalam konflik dengan Israel selalu didasarkan pada respon langsung terhadap agresi, proporsionalitas dalam merespons agresi, dan ambiguitas dalam penggunaan alat.

3. Kelompok perlawanan di Suriah, Irak dan Yaman akan bertindak sebagai petempur tingkat ketiga dengan jangkauan skala regional, terutama dalam situasi terjadi eskalasi.

Berdasarkan kesepakatan yang dibuat antara kelompok-kelompok perlawanan, jika Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon menghadapi ancaman yang nyata dan jelas, maka kelompok perlawanan lain di Irak, Suriah dan Yaman akan membentuk front bersama. Front ini akan bertindak berdasar pada kapasitas simetris-asimetris, dan beroperasi dalam skala regional secara bersamaan.

Oleh karena itu, dengan terus meningkatnya pasukan, pesawat tempur, dan kapal Amerika di wilayah tersebut, hari-hari ini kita banyak menyaksikan kelompok-kelompok perlawanan di seluruh wilayah telah memulai serangan sporadis untuk mengubah perhitungan militer Amerika dan menciptakan pencegahan.

Sebagai catatan, kekuatan militer, sebagai pemrakarsa ruang operasi gabungan, sambil mendefinisikan dan membagi tugas masing-masing di tiga tingkat, terus menerus melakukan koordinasi dan perencanaan makro dengan dukungan logistik, militer dan intelijen. Ruang operasi gabungan front perlawanan di kawasan pada tiga tingkat yang disebutkan selalu mengikuti strategi multifaset sebagai berikut:

1. Menciptakan pencegahan dengan serangan terbatas,

2. Menanggapi setiap agresi dan ancaman secara proposional,

3. Front bersama akan dilakukan dalam menanggapi ancaman eksistensial,

4. Tindakan bersama dilakukan dalam menghadapi situasi keamanan akut,

5. Pengambilan keputusan bersama dalam situasi perang,

6. Kebijakan masing-masing setiap unit dalam situasi stabil,

7. Pendistribusian risiko dan pembagian kerja sebagai respon terhadap setiap ancaman.

Masing-masing dari poin strategi multifaset yang didefinisikan dalam tiga ruang operasi ini tentu saja memerlukan penjelasan ektra ekstensif. Tulisan terbatas ini, bukan ruang yang tepat untuk menjelaskan. [MT]