Opini
Petaka DAIS di Irak
Oleh Hertasning Ichlas
Musim panas merangkak menuju 50an derajat celcius di Irak. Di jalan-jalan kota Baghdad dan Najaf, angin panas dan debu tebal seperti meruap keluar dari tanah dan langit Irak membakar kota bersama berita-berita pahit soal teror bom dan perang kota melawan pemberontak bersenjata.
Di kota Baghdad, Karbala dan Najaf, 3 kota Irak yang saya kunjungi, perasaan warga Irak sedang bercampur aduk. Mereka yang umumnya sangat religius bersuka cita menyambut hari peringatan Nisfu Syaban dan bersiap melakukan tradisi napak tilas Syabaniyyah beramai-ramai menuju makam Imam Husain di Karbala dari pelbagai penjuru kota. Namun di pojok warung-warung teh dan liputan media lokal Irak tampak kuat perasaan heran, cemas dan marah melihat kota-kota mereka begitu saja diteror bom bahkan diduduki pemberontak bersenjata bernama Daulah Islamiyyah Fi Al Iraq Wa Sham biasa disebut DAIS atau ISIL (Islamic State of Iraq and Levan) dalam bahasa Inggris.
Setelah jenuh membuat makar di Suriah, sekarang Irak menjadi sasaran pemberontakan DAIS. Pemerintahan Nouri Maliki kini menghadapi ujian berat menuntaskan gerakan pemberontakan bersenjata yang cukup terlatih dan bersifat transnasional ini.
Di media lokal Irak dan obrolan-obrolan warung kopi, warga menyesalkan mengapa pemerintah membiarkan semua terjadi. Di tempat lain Perdana Menteri Nouri Maliki menuding ada pengkhianatan di tubuh pemerintahan daerahnya seraya menyatakan kondisi darurat militer bersama parlemen saat Mosul ibukota Nainawa diduduki DAIS pada Selasa 10 Juni 2014.
Usai Amerika Serikat resmi hengkang dari Irak tahun 2011, perang tak serta-merta lenyap. Irak kerap digoyang perang saudara terutama dimotori kelompok pemberontak DAIS yang disokong kuat oleh Arab Saudi, Qatar dan Yordan untuk menggoyang pemerintahan Nouri Al Maliki dan menciptakan rezim baru sebagaimana mereka lakukan terhadap pemerintahan Bashar Assad di Suriah.
Sepekan lalu DAIS terlibat perang hebat dengan tentara Irak di kota Samarra dan berhasil dipukul mundur. Dalam hitungan hari DAIS merangsek masuk berusaha menguasai kota-kota di Irak yang berbatasan dengan Suriah, Arab Saudi dan Yordania.
DAIS defakto sudah menguasai Provinsi Anbar dan ibukotanya bernama Ramadi serta menguasai kota Fallujah yang berbatasan langsung dengan Suriah sekitar 3 bulan lalu. 3 hari ini mereka menghenyakkan warga Irak karena menduduki Provinsi Nainawa dengan ibukotanya bernama Mosul sejak 8 Juni 2014. Sampai hari ini tentara Irak masih berusaha memukul mundur DAIS dari Mosul kota provinsi kedua terbesar setelah Baghdad.
Kota Anbar, Mosul dan Samarra yang berusaha dikuasai DAIS adalah jalur pasokan senjata dan milisi pemberontak paling stategis bagi DAIS karena 3 kota itu merupakan pintu perbatasan dengan negara Arab lain. Menguasai kota-kota itu berarti membuat koridor peta jajahan DAIS makin sesuai dengan mimpi politik mereka mendirikan daulah Islam ala mereka.
Amirul Mukminin DAIS Abu Bakar Al Baghdady, pengganti pemimpin sebelumnya Umar Al Baghdady dan pendiri DAIS Abu Musab Zarqawy yang berasal dari Yordania mengatakan pendudukan di Suriah dan Irak bagian dari panggung perang yang mereka rencanakan untuk ditonton warga Arab dan dunia.
DAIS di dalam manifestonya ingin membangun imarah: negara bagian Islam dengan cara melakukan “strategi dua lengan” yang dalam pengertiannya berarti menguasai wilayah Arab di sebelah sisi kanan yakni Yaman, sisi tengah Arab Saudi sebagai pusat pemerintahan global DAIS kelak, dan sisi kiri yakni Suriah.
Jika imarah-imarah sudah terebut di seluruh titik tanah Arab maka Daulah Islamiyyah akan berubah menjadi Khilafah Islamiyyah dan Abu Bakar Al Baghdady menjadi khalifahnya dan pada gilirannya berlanjut ke seluruh dunia. Garis politik DAIS adalah kelanjutan dan wajah lain dari Al Qaidah namun dengan jaringan kombatan terlatih dan rekrutmen pasukan dari seluruh dunia.
Sebagai paham dan gerakan transnasional, DAIS merupakan kelanjutan ekstrim dari paham Khawarij dalam sejarah Islam. Paham yang biasa dikenal dengan Wahabisme atau juga sering disebut Salafis-Jihadis yang dicirikan dengan pandangan yang hitam putih yang ekstrim dan kecenderungan kuat mengkafirkan yang berbeda dari mereka secara ofensif.
Sebagai konsekusensi dari tujuan politiknya, DAIS aktif menggunakan kekerasan bersenjata di negara-negara Islam yang menurut pandangan mereka tak cukup “Islami”. Nouri Maliki dan Bashar Assad menuding DAIS sebagai buldozer Arab Saudi dan Israel untuk menggerecoki kedaulatan negara lain.
Media di Irak dan Arab umumnya menjuluki DAIS dengan istilah kelompok takfiri bersama jaringannya di seluruh dunia termasuk Indonesia. Kelompok ini terkenal sangat bengis di Suriah. Aksi-aksi penggorokan massal, pembunuhan warga sipil dengan keji hingga bom bunuh diri merupakan modus perang gerilya mereka di Suriah.
Kelompok DAIS inilah yang menguasai pemberontakan bersenjata di Suriah bersama kelompok Jabhat Al Nusra dan telah menelan korban 150 ribu warga Suriah. Selama di Suriah kelompok ini didukung persekutuan dana dan senjata dari Arab Saudi, Qatar dan Yordania. Dan kemudian sering dibenarkan Barat atas demokrasi untuk menggulingkan rezim Bashar Assad.
Permainan propaganda media Arab seperti Al Jazeera dan Al Arabiya bersama media Barat lainnya, turut menyuburkan eksistensi DAIS di tanah Arab. Umumnya propaganda yang ditiupkan membesar-besarkan kekuatan dan ancaman DAIS serta mendiskreditkan peran pemerintah dalam mengatasinya.
Kini setelah DAIS mengalami kondisi macet di Suriah, mereka mulai berpindah ke Irak, negeri yang sebenarnya berwarga sangat ramah dan baik hati namun sekian lama dipekati racun perang saudara atas nama sentimen mazhab oleh para negara tetangganya terutama Arab Saudi.
Perdana Menteri Irak Nouri Maliki sepertinya belajar banyak dari Bashar Assad di Suriah. Sebelumnya banyak kritik dan kecaman dari lawan-lawan politiknya di parlemen Irak merespon tindakan tegas Nouri Maliki mengatasi sentimen perang saudara dan perilaku DAIS di Anbar dan Samarra.
Saat pendudukan DAIS di Mosul, Nouri sempat menarik pasukannya untuk memberitahu kepada lawan-lawan politiknya beginilah jika kalian membiarkan DAIS dan terus mempolitisasi sentimen Sunnah-Syiah sebagai alasan mengurangi legitimasi Nouri Maliki .
Namun kini, di balik pendudukan DAIS di Anbar dan Mosul, Nouri mencuri simpati besar publiknya untuk bertindak tegas. Hal ini didukung Ayatullah Sistani, pemimpin agama bagi 70 persen warga Muslim Syiah di Irak. Nouri Maliki menjadikan keinginan kuat rakyat untuk menuntas habis teror pemberontak sebagai modal politiknya mengatasi krisis perang saudara di negerinya sekaligus menggebuk lawan politiknya yang ingin bermain-main menggoyang Nouri Maliki dengan cara bersekutu dengan Arab Saudi.