Opini
Nasionalisme: Sebuah Perspektif Etika
Oleh: Musa Kazhim
Masalah nasionalisme dalam Islam termasuk topik musiman. Sesekali timbul terus tenggelam lagi. Istilah anak-anak remaja sekarang topik ini tergolong jenis yang putus nyambung, putus nyambung.
Mengapa? Alasannya karena banyak orang melihat konsep nasionalisme itu dari sudut pandang politik dan bukan dari sudut pandang akhlak. Dan inilah salah satu kesempitan berpikir yang menyebabkan nasionalisme itu terus-menerus dianggap barang asing dalam Islam. Padahal, jika nasionalisme ini kita tinjau dari sudut pandang akhlak dan moral, maka masalahnya menjadi jauh lebih jelas.
Mari kita telusuri soal nasionalisme ini dari sudut pandang akhlak Islam, supaya masalahnya bisa lebih masuk di kepala dan adem di hati.
Tapi, sebelumnya, ada ganjalan yang perlu kita luruskan di awal. Yakni, nasionalisme tidak harus kita lihat sebagai ideologi politik yang umumnya dipertentangkan dengan ideologi Islam. Ia secara sederhana bisa dilihat sebagai bagian dari keterikatan dan tanggungjawab manusia pada lingkungan sekitar, pada bangsa dan negara tertentu di sekelilingnya. Dalam arti ini, nasionalisme sebenarnya lebih dekat dengan patriotisme atau cinta tanah air.
Lebih jauh, kita dapat mengungkapkan argumen ini: Islam sebagai agama yang sempurna telah mengajarkan kita untuk menyayangi alam dan segenap isinya, terutama manusianya. Manusia yang paling layak dan wajib kita sayangi dan kita perhatikan adalah yang paling dekat dengan kita: orangtua, anak, saudara, pasangan, sanak famili, tetangga dan komunitas yang tinggal selingkungan dengan kita. Mereka adalah tanggungjawab kita. Senang mereka adalah senang kita dan susah mereka adalah susah kita. Jika bukan kita yang memperhatikan mereka, maka siapa lagi; jika bukan mereka yang kita perhatikan, maka siapa lagi. Mereka adalah yang disebut secara silih berganti dengan al-aqrabun, al-qurba, al-qaum, al-ahl, al-ummah dan sebagainya.
Adalah keliru secara moral dan logika jika kita memperhatikan orang-orang yang jauh dari kita tapi melupakan orang-orang yang dekat di sekitar kita. Tidaklah mungkin perhatian yang tulus kita berikan kepada yang jauh jika yang dekat di sekitar, justru kita abaikan. Sudah barang tentu yang dimaksud dengan perhatian di sini bukan bersifat materialistik semata-mata, melainkan perhatian dalam artian yang luas dan sempurna.
Juga keliru jika kita mengira—apapun alasannya—memperhatikan yang jauh lebih penting daripada yang sudah jelas menjadi tanggungjawab kita, seperti keluarga kita. Ide yang seperti ini bertentangan dengan akal sehat dan karenanya bisa dipastikan bertentangan dengan ajaran agama yang tak pernah keluar dari jalur akal sehat.
Tidaklah perlu kita sebutkan di sini berbagai dalil yang mewajibkan kita berbakti kepada orangtua (dua manusia paling dekat dengan kita), menjalin silaturahim dengan sanak keluarga (yang berhubungan darah dengan kita), menjaga hubungan dengan tetangga (yaitu komunitas yang berada dalam radius 40 km di sekitar kita), serta mendahulukan mereka sebelum yang lain dan sebagainya.
Ada hadis yang menarik dalam konteks ini. Bunyinya begini: “Perhatikan tetangga sebelum rumah sendiri.” Atau hadis ini: “Pilihlah tetangga sebelum memilih rumah.” Walhasil, perhatian terhadap lingkungan sekitar sangatlah penting ditekankan dalam akhlak Islam. Alasannya pun jelas: apa yang di sekitar kita adalah tanggungjawab kita.
Alam sekitar juga yang paling wajib kita perhatikan. Jika kita melihat perilaku dan sikap Nabi, maka kita akan menemukan betapa besar perhatian beliau terhadap alam sekitar; terhadap tanamannya, kesuburannya, kesehatannya, kebersihannya, keindahannya dan sebagainya. Dalam banyak kesempatan Nabi mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup di sekitar kita.
Allah pun memerintahkan Nabi memulai dakwahnya kepada ‘asyirah (karib kerabat) beliau terlebih dahulu. Allah berfirman: “Berilah peringatan kepada kerabat dekatmu.” Dan memang harus seperti itulah cara manusia melangkah: dari yang dekat menuju yang lebih jauh dan begitulah seterusnya.
*BERSAMBUNG.