Opini
Nak, dengan Satu Jarimu, Apakah Kamu Masih Bisa Menembak?

Oleh: Muhlisin Turkan
Ahlulbait Indonesia – Selasa, 17 September 2024. Suara ledakan ribuan Pager merobek langit Beirut, Lebanon. Asap hitam membubung tinggi, debu bercampur anyir darah memenuhi udara. Dari kejauhan, jeritan terdengar—panik, pilu, dan putus asa. Di antara reruntuhan, tubuh-tubuh tergeletak tanpa daya. Sebagian masih bergerak, sebagian lainnya sudah terlalu hening.
Gambar-gambar mengerikan segera memenuhi layar-layar media. Wajah yang tak lagi utuh, tubuh yang terkoyak, mata yang hilang, jari-jari yang tercerabut. Tapi lebih dari sekadar luka-luka itu, ada kisah yang lebih sulit diuraikan—kisah tentang kehilangan, tentang keteguhan, tentang sesuatu yang bahkan tidak bisa dihancurkan oleh ledakan sebesar apa pun.
Udara di rumah sakit itu terasa berat. Bukan hanya karena bau antiseptik dan darah yang masih basah, tetapi juga karena sesuatu yang lebih tak terlihat—kesedihan yang menggantung di setiap sudut ruangan, seperti kabut yang tidak kunjung sirna.
Langkah kaki Nawal terasa lebih berat ketika memasuki ruangan. Lantai terasa dingin di bawah telapak sepatunya, seakan menyerap sisa-sisa kehangatan yang dibawa oleh tubuh manusia. Ia melewati seorang perawat yang tengah mengganti perban di lengan seorang pria—darah segar merembes di balik kain kasa yang baru. Pria itu mengerang pelan, suaranya serak, lalu menggigit bibir untuk menahan nyeri.
Di sudut lain, seorang anak perempuan duduk di kursi plastik, menggenggam erat lengan ibunya. Matanya bengkak, pipinya basah, tetapi ia tidak bersuara. Isaknya ditelan ruangan.
Nawal menahan napas, mencoba menenangkan detak jantungnya yang terasa lebih cepat dari biasanya.
Lalu, di ranjang yang lebih jauh, ia melihat seorang ibu yang duduk di sisi putranya.
Wajah bocah itu hampir tidak terlihat di balik perban putih yang melilitnya. Napasnya pendek-pendek, nyaris tersengal. Tangannya terkulai di atas selimut tipis—semua jarinya telah hilang, kecuali satu.
Nawal berhenti di ambang pintu. Sesuatu di dalam dirinya memaksanya untuk tidak melangkah lebih dekat, seolah ada batas tak kasatmata antara dirinya dan peristiwa yang akan terjadi di hadapannya.
Sang ibu menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk, membisikkan sesuatu ke telinga anaknya. Suaranya begitu lembut, nyaris seperti belaian.
“Nak… masihkah kamu bisa melihat orang-orang Israel?”
Anaknya, dengan sisa tenaga yang dimilikinya, membuka mata yang tersisa. Mata satunya telah hancur, tertutup perban tebal. Ia menatap ibunya, lama, seolah memastikan pertanyaan itu bukan mimpi.
Lalu, dengan suara pelan tapi mantap, ia menjawab, “Ya, aku masih bisa melihat, Bu.”
Sang ibu tersenyum tipis. Senyum itu bukan milik seseorang yang sedang kehilangan, tetapi milik seseorang yang baru saja mendapatkan kepastian. Ia menggenggam tangan putranya, jari-jarinya yang kurus membelai kulit yang terluka dengan penuh kelembutan.
“Dan dengan satu jarimu ini…” ia menekan jemari anaknya dengan perlahan, “apakah kamu masih bisa menembak?”
Ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Mesin-mesin monitor terus berbunyi, tetapi suara mereka terasa begitu jauh.
Bocah itu menelan ludah, matanya berkaca-kaca, tetapi bukan karena takut.
Ia mengangguk.
“Ya, aku masih bisa menembak.”
Sang ibu menghela napas. Matanya berbinar, bukan karena air mata, tetapi karena sesuatu yang lebih dalam. Ia menunduk, mengecup kening putranya, membiarkan kehangatan kulitnya menyatu dengan dinginnya ruangan.
“Itu sudah cukup, Nak… Itu sudah cukup. Kau cinta hatiku.”
Nawal tidak bisa bergerak. Ada sesuatu di tenggorokannya yang membuatnya sulit bernapas, sesuatu yang terasa seperti gumpalan emosi yang tidak bisa ia uraikan dengan kata-kata.
Di hadapannya, ia tidak melihat seorang ibu yang berduka. Ia melihat seseorang yang hatinya lebih kuat dari ledakan mana pun. Ia tidak melihat seorang anak yang terluka. Ia melihat seseorang yang bahkan dalam kehancuran tetap memegang sesuatu yang tidak bisa dihancurkan.
Kepada wartawan, Nawal menceritakan kembali percakapan itu. Suaranya bergetar.
“Saya tidak tahu apa yang lebih menggetarkan hati saya—keimanan sang ibu atau keberanian putranya.”
Ia menelan ludah, mencoba mengendalikan emosinya. “Israel mungkin mengira bisa menghancurkan perlawanan dengan bom-bomnya. Tapi yang saya lihat hari itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihancurkan.”
Kata-kata ibu itu bukan sekadar pesan bagi putranya. Ia adalah teguran bagi kita semua—kita yang hanya menyaksikan penderitaan mereka dari jauh, sering kali dengan sikap dingin, seolah ini hanya cerita yang lewat di layar.
Dan jawaban sang anak, sederhana tapi penuh keyakinan, mengajarkan sesuatu yang lebih besar: bahwa perlawanan bukan sekadar soal fisik. Ia ada dalam hati yang tak gentar, dalam tekad yang tak bisa dilumpuhkan, bahkan ketika tubuh sudah tak lagi utuh.
Perlawanan, Bung!
Ia tidak hanya hidup di medan perang. Ia tumbuh di hati seorang ibu, seorang ayah, seorang anak yang hidup di tengah reruntuhan.
Bahkan ketika yang tersisa hanyalah satu mata dan satu jari, semangat itu tetap hidup.
Karena terkadang, perlawanan bukan tentang berapa banyak peluru yang tersisa. Kadang, ia hanya tentang seberapa kuat kita masih bisa berdiri.
Dan mungkin, bagi mereka, itu sudah cukup.[]