Opini
Merintis Islam Jalan Tengah: Sebuah Upaya Menepis Ekstremisme
Oleh: Hassan Alaydrus*
Al-Qur’an sejak jauh-jauh hari telah menyebutkan fakta keragaman dan kemajemukan manusia. Ia mengajarkan kepada setiap Muslim untuk menghormati fenomena keragaman penciptaan itu. Dalam Surah 49 ayat 13, Allah berfirman: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat di atas mengajak seluruh manusia—dengan ungkapan “Hai manusia”— untuk saling mengenal dan berdialog di antara mereka. Dan bahwa dialog itulah jalan yang Allah ridhai bagi semua manusia dalam memandang keragaman penciptaan. Namun demikian, untuk dapat benar-benar saling mengenali dan berdialog, tiap manusia harus memiliki pikiran yang terbuka.
Prinsip lain yang tak kalah pentingnya di dalam Al-Qur’an adalah keadilan. Dalam surah Al Maidah ayat 8, Al-Qur’an menyarankan setiap manusia untuk bersikap dan berlaku adil, bahkan terhadap orang-orang yang mereka benci: “Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian atas suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dalam ayat ini Allah kembali mengaitkan keadilan dengan ketakwaan sebagai puncak kebajikan Islam.
Secara sederhana kedua ayat di atas menggariskan prinsip Islam dalam memandang fenomena keberagaman dan perbedaan di antara sesama manusia. Yaitu, keberagaman dan perbedaan adalah bagian dari penciptaan manusia, bagian dari sunnatullah yang tak bisa dihindari. Ia seharusnya disikapi dengan keinginan untuk saling mengenali dan saling berdialog. Selain itu, jika kemudian hasil dari saling mengenal itu timbul kebencian, maka janganlah sampai kebencian itu menyeret kita untuk bersikap tidak adil. Melalui prinsip seperti inilah manusia dapat meraih puncak kemuliaan yang dalam istilah Al-Qur’an disebut dengan ketakwaan.
Oleh sebab itu, dalam memandang dunia Barat, misalnya, kita boleh berang terhadap orang seperti Salman Rushdie, Geertz Wilders dan sejenisnya karena tindakan mereka menebar perpecahan di antara warga dunia dan menghina agama yang kita anut dan Nabi Agung yang kita junjung tinggi. Tapi kita tak boleh lupa bahwa di Barat juga ada pemikir seperti Tor Andre dan Frans Rosenthal yang merekam keterpesonaan mereka pada sastra dan seni Islam serta memuliakan Kanjeng Nabi Muhammad dalam berbagai buku mereka.
Nah, kalau ayat di atas menyuruh kita untuk bersikap adil pada kaum yang kita benci, katakanlah seperti beberapa orang Barat yang merendahkan agama kita itu, maka tentu sikap yang jauh lebih toleran lagi seharusnya kita tujukan pada kelompok-kelompok Muslim yang masih sama-sama mengucapkan kalimat syahadat. Al-Qur’an menyatakan bahwa orang-orang beriman itu keras terhadap kaum kafir dan berbelas kasih di antara mereka. Bahkan, dalam surah An-Nisa ayat 94, Allah memerintahkan kita untuk tidak menganggap orang yang mengucapkan “salam” kepada kita sebagai bukan mukmin, karena perilaku ini tidak diridhai Allah.
Islam senantiasa mengajak umat Muslim untuk bersikap adil dan mengambil jalan tengah, bahkan dalam menyampaikan kebenaran itu sendiri. Islam adalah agama yang datang untuk melestarikan akal sehat manusia, yang mengajak pada sikap adil dan jalan tengah. “Ekstremisme,” kata pemikir besar Islam Prof. Murtadha Muthahhari suatu ketika, “adalah musuh bebuyutan Islam. Ekstremisme akan membunuh Islam dari dalam, karena Islam hanya bisa hidup subur di tengah-tengah masyarakat yang menggunakan akal sehatnya dengan baik.” Dan Islam mengajarkan untuk bersikap adil dan jauh dari ekstremitas sejak dari rumah sendiri.
Namun sayangnya, di tengah masyarakat ini banyak pendakwah yang mengajarkan Islam yang hanya mengenal darah dan pedang. Inilah yang sialnya kerap kita dengar meluncur dari mulut para penganjur jihad. Mereka tak mengenal sisi cinta dan kasih sayang Islam. Mereka seolah-olah lupa pada ayat-ayat Al-Qur’an yang menegaskan kehadiran Nabi Agung Muhammad sebagai rahmat bagi sekalian alam (QS. Al-Anbiya: 107). Jika saja ayat ini kita hayati dengan benar dan mendalam, maka tentu Islam akan tampil sebagai satu-satunya agama yang mampu menjawab beragam krisis yang sedang mendera umat manusia di zaman ini.
Dalam ayat lain, Al-Qur’an menegaskan bahwa tiada paksaan dalam agama (QS. Al-Baqarah: 256). Mengapa? Karena paksaan itu hanya akan menimbulkan kepalsuan dan mencegah munculnya ketulusan manusia dalam menerima kebenaran. Dan ini jelas bertolak belakang dengan tujuan Allah menyuruh manusia menyembah dan tunduk patuh kepada-Nya dengan tulus ikhlas.
Lebih jauh dari itu, Allah dalam Al-Qur’an menekankan larangan berselisih dan berpecah-belah (QS. Al Imran: 103). Sekaitan dengan ayat ini, Al-Baydhawi menyebut hadis Nabi Besar Muhammad yang berbunyi: “Ikhtilaf di antara umatku adalah rahmat.” Jika kita gabungkan dua dalil di atas hasilnya adalah larangan untuk berselisih kecuali jika perselisihan itu dilandasi oleh sikap rahmat dan saling menghargai.
Para pendakwah permusuhan dan perpecahan di tengah-tengah umat sebenarnya lebih mengikuti sifat setan sebagaimana terungkap dalam surah Al-Maidah ayat 91: “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu…” Dari ayat ini kita bisa mengambil patokan bahwa penebar fitnah, kebencian, permusuhan dan perpecahan adalah pengikut setan, sedangkan pengikut Nabi Muhammad adalah orang-orang yang berjuang menyebarkan kebenaran dan menegakkan keadilan dengan cara-cara yang benar dan adil pula.
Meskipun demikian, kita pun tak boleh salah paham. Islam bukan agama setengah-setengah. Ia juga mengajarkan kita bagaimana mengolah daya-daya lain dalam diri kita. Amarah, misalnya, adalah daya yang diapresiasi oleh Islam dan diarahkan kepada musuh-musuh kemanusiaan dan para penindas. Manusia membutuhkan amarah untuk melawan mesin penindasan dan membangun keadilan. Tidak seperti agama-agama lain, Islam menyadari sisi ini dan menyuruh pengikutnya untuk meletakkannya pada posisi yang tepat dan berguna.
Mungkin Anda heran, mengapa demikian? Tapi, orang yang paham Islam pasti mengerti dengan jernih bahwa konsekuensi jalan tengah Islam adalah tidak membuang apapun dari potensi manusia. Segala potensi manusia ia letakkan di jalan lurus menuju puncak kebaikan dan kesempurnaan. Inilah makna ungkapan terkenal bahwa Islam adalah agama fitrah.
Konsekuensi jalan tengah ini pulalah persisnya yang menjadikan Islam ideal untuk semua jenis manusia, di segala lintas zaman. Inilah satu-satunya agama yang mengakui manusia sebagai ciptaan sempurna, tak perlu ada yang dikurangi atau ditambahi; hanya saja semua sisi manusia itu perlu bekerja optimal dan seimbang. Begitulah kira-kira makna keadilan individual.
Inilah patokan sederhananya: Islam adalah agama manusia yang tertawa dan menangis, tersenyum dan meringis, riang dan berduka, bersabar dan marah, mengalah dan melawan, semuanya tentu dengan takaran seimbang dan dalam momen paling dibutuhkan. Jadi, misi manusia Muslim itu bukan merusak atau membuang potensi jiwa dan raga yang telah dihadirkan Allah, melainkan justru mengaktualisasikan semuanya secara seimbang dan berkeadilan.
Pendakwah Islam yang menyuruh kita meninggalkan dunia, melarang kita bekerja karena khawatir terlibat cinta dunia, mengajak kita ikhlas dengan melupakan semua imbalan yang menjadi hak kita… pendakwah itu jelas tidak mengenal Islam.
Ini tema besar yang memerlukan berbulan-bulan penelitian di perpustakaan. Tapi, untuk mudahnya, kita bisa secara sederhana mengatakan pendakwah Islam haruslah terdiri dari manusia-manusia yang lapang dada, berpikiran terbuka dan punya keinginan kuat untuk belajar. Mengapa? Karena Islam adalah agama yang menggabungkan dua dimensi yang biasanya sering dibenturkan, yakni dimensi pengetahuan dan dimensi keimanan.
Dalam dimensi pengetahuan, mubalig Islam harus terbuka terhadap kritik, wacana, diskusi, dan pembuktian ilmiah. Di sini, mubalig harus mahir berlogika, berfilsafat dan berinteraksi dengan disiplin-disiplin ilmu lain. Dengan mengenal dimensi ini, mubalig bakal mengajak orang untuk berpikir rasional, ilmiah dan tenang. Audiens yang dituju juga akan berani mengoreksi pemahaman, dan lebih berani lagi memperdalam pemahaman. Dalam dimensi ini, Islam harus bisa ditampilkan sebagai bahan ilmiah yang memiliki metodologi dan sistem berpikir; bukan seperti bunga sedap malam yang sekali disentuh jadi layu dan menguncup, tapi seperti beringin yang tahan terpaan angin.
Di sisi lain, mubalig Islam juga harus memiliki kemampuan untuk mengungkapkan dimensi keimanan dan ketundukan (ta’abbud) yang bersifat subjektif dan menyentuh emosi. Meskipun keimanan itu bermula dari pengetahuan, tapi keimanan adalah pengetahuan yang telah bercampur dengan kehendak, tekad, pengalaman dan potensi-potensi manusia lainnya. Dimensi inilah yang melahirkan ikatan dan perbuatan dalam diri seorang manusia yang beragama.
*Ketua Umum DPP ABI (Ormas Islam Ahlul Bait Indonesia)