Opini
Menjinjing Korban, Menjunjung Hukum untuk Semua
Salah satu kerancuan yang kerap membingungkan sebagian orang bersumber dari kegagalan membedakan masalah sosial dengan masalah personal. Masalah sosial yang diselesaikan dengan pendekatan personal dan demikian pula sebaliknya kerap menimbulkan persoalan yang lebih rumit dan menabrak prinsip-prinsip dan norma-norma umum dalam kehidupan bermasyarakat.
Masalah personal adalah masalah-masalah yang menimpa pribadi tertentu dalam lingkungan kecilnya. Sebaliknya, masalah sosial ialah masalah yang bila dibiarkan dapat merusak nilai-nilai dan prinsip-prinsip sosial. Batas pemisah antara keduanya memang tampak subjektif. Namun, setidaknya kita dapat menarik garis tegas ini: problem sosial ialah kejadian berulang-ulang yang menimpa banyak orang dalam suatu masyarakat atau berpotensi menghancurkan masyarakat tersebut.
Dalam masyarakat heterogen seperti Indonesia, umpamanya, kita percaya bahwa konflik yang bersinggungan dengan persoalan suku, agama, ras dan aliran adalah problem sosial—kendatipun bermula dari letupan kecil di antara beberapa individu. Intoleransi terhadap keberagaman juga tak pelak akan berujung menjadi masalah sosial yang pelik.
Sebagai contoh, jika kita mengubah kurikulum pendidikan nasional sebagai akibat tidak lulusnya beberapa ratus anak didik di berbagai sekolah, maka sebenarnya kita telah mencoba menyelesaikan problem personal dengan memunculkan problem sosial.
Pasalnya, secara teoritis, kurikulum pendidikan nasional itu dirancang dengan mempertimbangkan banyak faktor, termasuk prinsip-prinsip pendidikan yang tidak dapat diganggu-gugat. Apalagi, kurikulum pendidikan seperti apapun tetap berpotensi yang sama: membuat sebagian anak didik tidak lulus. Jika alasan ketidaklulusan dipakai untuk mendesain sebuah kurikulum, maka mungkin kita tidak akan menemukan kurikulum yang bermutu.
Demikian pula bila negara membiarkan sekelompok orang untuk mengumbar intoleransi dan menyerang sekelompok masyarakat lain. Pembiaran ini bukan saja tidak akan menyelesaikan masalah, melainkan justru akan menyemarakkan konflik. Ujung-ujungnya, alih-alih menjadi sebuah anomali yang harus dieliminir, konflik itu bisa berubah menjadi norma yang akan meluluhlantakkan segenap cita-cita bersama yang tersisa dalam suatu masyarakat.
Lebih jauh lagi, dalam konteks Indonesia, kelompok yang mengklaim sebagai mayoritas itu sebenarnya tak lebih dari kumpulan minoritas yang kebetulan memiliki ide atau tujuan yang sama—betapapun bersifat sementara. Tanpa hukum yang disepakati sebagai ukuran final, maka kumpulan minoritas tersebut suatu saat akan bertarung guna memelihara kepentingan masing-masing atau guna mengukuhkan hegemoni atas blok sosial yang diklaim sebagai mayoritas tersebut.
Dan karena pembiaran konflik telah menjadi norma, maka lagi-lagi kita akan menghadapi kekacauan yang tidak berakhir.
Benedict Anderson dalam magnum opus-nya yang berjudul Imagined Communities pernah menunjukkan bagaimana ide nasionalisme pernah merekatkan berbagai kelompok dengan latarbelakang yang berbeda untuk bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun, tak lama waktu berselang, nasionalisme itu malah menjadi sumber pertikaian demi meraih kepentingan masing-masing.
Hal yang sama dapat kita lihat pada pertikaian antarparpol Islam yang senantiasa memperebutkan “mayoritas” suara umat. Bukankah tanpa aturan hukum yang jelas untuk menjaga ketertiban minimal yang dibutuhkan dalam suatu kehidupan sosial, pertarungan itu bakal menjadi anarki yang cadas?! Bukankah “mayoritas” yang menuntut Seoharto turun pada 1998 itu juga ternyata rantas sesaat setelah “musuh bersama” meninggalkan gelanggang politik, sehingga tanpa sebuah hukum, perebutan agenda reformasi justru menjadi biang kerusuhan politik tanpa henti? Dalam semua contoh itu kita melihat bagaimana mayoritas itu kembali ke ukuran-ukuran sebenarnya: minoritas-minoritas yang saling berhadap-hadapan.
Walhasil, menyelesaikan masalah sosial dengan berpihak pada ilusi “mayoritas” adalah kekeliruan yang fatal, lantaran tiap mayoritas dapat melorot menjadi minoritas dan demikian pula sebaliknya. Apalagi bila mayoritas itu sendiri sebenarnya dipersatukan oleh kepentingan politik yang hukum besinya adalah kesementaraan: tiada musuh ataupun kawan abadi.
Politik, kata Otto Von Bismarck, adalah seni kemungkinan.
Dengan demikian, penyelesaian konflik sosial dan pengelolaan kontestasi politik tidak dapat dikembangkan dengan pendekatan mayoritas versus minoritas, melainkan harus berpijak pada prinsip-prinsip moral yang lebih tinggi seperti keadilan dan toleransi yang tidak berubah bersama perjalanan waktu serta melampaui segenap label dan stigma.
Prinsip-prinsip itulah semestinya yang secara das sein dan das sollen menjadi pijakan kehidupan bersama masyarakat manusia untuk kemudian dikukuhkan dalam konstitusi negara-bangsa.
Sialnya, pola penyelesaian instan yang bias mayoritas belakangan ini seperti menjadi yurisprudensi. Serangkaian peradilan sesat terhadap kelompok-kelompok minoritas yang berseberangan dengan arus-utama terjadi secara liar. Agaknya tesis Clifford Geertz tentang hubungan antropologi dan yurisprudensi dalam suatu masyarakat mendapatkan contoh terburuknya di sini. Dalam karyanya yang berjudul Local Knowledge: Further Essays in Interpretative Anthropology, Geertz menunjukkan bahwa hukum dan entografi sama-sama merupakan crafts of place yang bermuara pada pengetahuan lokal. Keduanya sama-sama bertumpu pada kerja seorang pakar yang melihat prinsip-prinsip umum dalam fakta-fakta picik (parochial facts).
Akibatnya, dalam jangka panjang, sebagaimana yang dapat kita saksikan di Indonesia akhir-akhir ini, aspek kemudahan dan kepraktisan dalam menerapkan hukum mengalahkan aspek-aspek filosofis dari keberadaan hukum itu sendiri dan memasung pendekatan logis-forensik terhadap proses peradilan. Dalam rangka memuaskan ilusi mayoritas atau ketakutan pada hilangnya suara, falsafah dan logika hukum terpaksa dikurbankan di altar persidangan yang mengikuti “kebijakan yang bersumber dari busut semut”—kata peribahasa Afrika.
Hukum pun akhirnya menjadi alat satu kelompok untuk menekan dan memberangus kelompok lain. Keadilan harus mengikuti jarum kekuasaan yang terus berputar. Dan kesetaraan di hadapan hukum berubah menjadi diskresi elit yang sedang mengejar setoran suara dan uang.
Keadaan amburadul ini bukan saja mengugurkan raison d’être hukum sebagai dasar kehidupan sosial dan ukuran final dalam penyelesaian masalah sosial, melainkan juga dalam jangka panjang akan membawa pukulan balik yang lebih telak: luruhnya semua otoritas.
Puncaknya, masyarakat akan memasuki lingkaran setan hukum rimba yang tidak lagi menyisakan ruang bagi kebersamaan dan koeksistensi. Amuk dan kekerasan pun mau tak mau menjadi satu-satunya norma yang dipercaya untuk menyelesaikan masalah.
Oleh karena itu, mengukuhkan supremasi hukum haruslah menjadi tujuan seluruh komponen rakyat. Hukum yang tidak berpijak pada pertimbangan-pertimbangan kuantitatif, melainkan substantif; hukum yang datang dari prinsip-prinsip moral yang terang dan akal sehat yang tegak-lurus.
Itulah yang seharusnya membuhul kehidupan sosial kita semua. Dan di bawah perlindungannya suatu bangsa dapat bergerak bersama meraih titik terjauh—suatu utopia yang mungkin tidak dapat sepenuhnya tercapai, tetapi selalu diperlukan demi menjaga energi gerak sosial menuju masa depan.
Ormas Islam Ahlulbait Indonesia lahir dengan visi menjinjing korban, menjunjung hukum di atas semua, serta menjadikannya sebagai pelindung sekaligus ukuran keadilan yang setara. Karut-marut penegakan hukum yang bias mayoritas mendorong Ormas Islam Ahlulbait Indonesia untuk menjalankan misi perlindungan dan pembelaan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia, khususnya kelompok minoritas keyakinan, budaya, sosial-ekonomi dan politik dari penindasan kelompok manapun, termasuk yang mengklaim diri sebagai mayoritas.
Ormas Islam Ahlulbait Indonesia percaya bahwa pembelaan terhadap minoritas itu bukan saja berarti membela kelompok yang berjumlah kecil, melainkan ia merupakan bagian dari memelihara raison d’être hukum itu sendiri: kesetaraan di depan hukum.
Terlebih lagi, sebagaimana kita ketahui, dalam masyarakat pluralistik dan dinamis seperti Indonesia, tiap kelompok dapat sewaktu-waktu menjadi minoritas yang tak punya suara, kuasa dan karsa untuk membela diri. Dan ini artinya bahwa pembelaan hak-hak minoritas tertentu dapat pula berarti pembelaan terhadap seluruh rakyat—yang sejatinya memang merupakan kumpulan individu yang bertemu dalam cita-cita bersama.
Pembelaan terhadap minoritas itu pada dasarnya adalah tindakan untuk menegaskan hak semua warga negara tanpa terkecuali, bebas dari stigma, label dan bias.
Pembelaan itu sendiri harus merupakan komitmen panjang dan proses yang melibatkan semua, karena pembiaran atas pelanggaran, penyesatan atau penyelewengan hukum hanya akan berujung pada hilangnya otoritas yang bakal menghancurkan semua.
Ormas Islam Ahlulbait Indonesia percaya bahwa pembelaan terhadap hak-hak minoritas, bahkan hak-hak individu, adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan sosial, lantaran alas kehidupan sosial berlambar di atas tekad untuk saling menghargai, saling membela, saling menolong, duduk sama rendah tegak sama tinggi, dalam pelukan Ibu Pertiwi yang damai. Dan dalam konteks pemenuhan hak dan kewajiban, konsep mayoritas versus minoritas itu sebenarnya tidak memiliki makna—kalau tidak mau disebut menjadi beban yang tidak perlu.
Berbeda dengan urusan kontestasi politik, penegakan hukum sebenarnya tidak mengenal dan seharusnya melampaui konsep mayoritas versus minoritas–karena hukum bukan objek yang dapat diserahkan pada mekanisme pemungutan suara, melainkan pada sebuah cita-cita, moralitas dan perikemanusiaan yang universal.
Hukum yang bersumber dari prinsip-prinsip yang tertanam jauh dalam lubuk hati tiap insan yang waras dan beradab sudah semestinya tidak terperangkap dalam permainan politik bernama minoritas versus mayoritas.
Ormas Islam Ahlulbait Indonesia percaya bahwa hukum dan konstitusi sebagai dasar berbangsa dan bernegara yang ideal memerlukan penguatan yang terus-menerus, terutama dengan membela komponen yang paling lemah dalam rangkaian itu.
Pembelaan itu dapat berjalan melalui upaya melakukan advokasi kasus, reformasi kebijakan maupun pengawasan terhadap perangkat-perangkat pelaksanaan hukum agar senantiasa sesuai dengan ideal yang telah tertuang di dalamnya.(Musa/Yudhi)