Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Menjaga Api Gaza, Menyulut Nyala Yaumul Quds

Menjaga Api Gaza, Menyulut Nyala Yaumul Quds

Oleh: Ismail Amin Pasannai

Ahlulbait Indonesia – Gaza, sebuah wilayah yang udaranya lebih pekat oleh bau mesiu dibanding harapan. Siangnya dipenuhi teror, malamnya berselimut air mata. Gaza bukan sekadar sepetak tanah di peta yang terus menyusut, bukan sekadar angka korban yang terus bertambah, atau deretan bangunan yang runtuh rata dengan tanah. Gaza adalah luka yang menganga, saksi sejarah atas pembasmian sistematis dan genosida yang terpampang di hadapan dunia. Sampai hari ini, kebiadaban atas nama “hak membela diri” masih berlangsung di tengah kebungkaman para pemilik kuasa.

Gaza bukan sekadar tragedi, melainkan cermin bagi dunia. Dari reruntuhannya, kita melihat betapa hukum internasional tak lebih dari dokumen berdebu di rak PBB. Kita menyaksikan bagaimana makna “kemanusiaan” dirampas oleh kepentingan geopolitik, bagaimana nyawa manusia ditakar berdasarkan paspor dan ras. Dunia lebih memilih mengunyah statistik ketimbang mengakui pembantaian, menamai genosida sebagai “hak mempertahankan diri”—sebuah eufemisme yang lebih busuk dari mesiu yang membakar rumah-rumah di Khan Younis.

Namun, jika ada yang berubah dalam perang ini, maka itu adalah kesadaran global. Gaza kini bukan lagi sekadar urusan dunia Islam, bukan lagi hanya ratapan dunia Arab. Gaza telah menjadi isu kemanusiaan dunia. Di jalan-jalan Eropa, di jantung kota-kota Amerika, di negeri-negeri Asia yang dulu bisu, kini terdengar pekikan “Free Palestine”. Tidak hanya dari komunitas Muslim, tetapi juga dari aktivis HAM lintas ideologi, kaum progresif, gereja-gereja, universitas, hingga masyarakat yang dulu abai, kini mereka turun ke jalan. Mereka melakukan aksi mogok, menggelar teatrikal pembantaian, menyerukan boikot, bahkan menghadang kapal-kapal yang membawa amunisi untuk rezim zionis.

Israel, dengan segala kebrutalannya, tidak hanya menyerang Gaza. Ia menyerang kemanusiaan itu sendiri, meruntuhkan prinsip-prinsip dasar yang membedakan manusia dari kebiadaban. Ketika rumah sakit dibombardir, ketika anak-anak ditembak di depan orang tua mereka, ketika seluruh keluarga dimusnahkan hingga tak tersisa satu pun yang bisa mewarisi nama mereka—ini bukan hanya kejahatan terhadap Palestina, melainkan kejahatan terhadap hati nurani kita semua.

Inilah sebabnya mengapa Yaumul Quds kini bukan hanya milik mereka yang sejak awal berjuang. Hari yang dulu mungkin hanya dirayakan di Iran, Lebanon, Yaman, dan negeri-negeri yang berani menentang imperialisme, kini menggema di seluruh dunia. Yaumul Quds adalah momentum bagi kita semua, dari berbagai latar belakang dan keyakinan, untuk menyatakan bahwa kita tidak akan diam. Kita menolak menjadi saksi bisu atas genosida yang disiarkan secara langsung di depan mata dunia.

Mereka yang selama ini berusaha membungkam suara pro-Palestina kini menghadapi gelombang yang lebih besar dari yang mereka duga. Gerakan boikot terhadap produk-produk yang mendukung Israel meluas, bukan hanya di dunia Muslim, tetapi juga di negara-negara Barat yang selama ini menjadi sekutu utama Tel Aviv. Para akademisi, pekerja seni, intelektual, bahkan mantan pejabat pemerintahan di berbagai belahan dunia mulai berani bersuara. Di universitas-universitas bergengsi, mahasiswa menuntut institusi mereka memutuskan hubungan dengan perusahaan-perusahaan yang berkontribusi dalam penjajahan Israel. Serangan terhadap Gaza telah mengubah peta politik global, menyatukan suara-suara yang sebelumnya tak pernah bersinggungan dalam satu seruan: Keadilan untuk Palestina!

Baca juga : Menghidupkan Malam Lailatul Qadar: Momentum Spiritual untuk Kembali ke Cahaya

Dulu, Israel mungkin bisa mengontrol narasi, menggiring opini publik dengan propaganda dan lobi politiknya. Namun kini, era digital telah meruntuhkan monopoli informasi. Setiap bom yang dijatuhkan di Gaza terekam dan tersebar dalam hitungan detik. Kebrutalan pasukan Israel viral seketika. Generasi muda yang tidak lagi bergantung pada media arus utama yang bias kini memiliki akses langsung ke realitas di lapangan. Mereka melihat dengan mata kepala sendiri, dan mereka menolak dibohongi.

Lihatlah bagaimana rezim zionis berusaha menutupi kebrutalannya—menghancurkan gedung-gedung berita, membunuhi jurnalis, menculik dan memenjarakan figur-figur publik pro-Palestina. Upaya mereka untuk menutupi realitas Gaza dari dunia luar semakin menggelikan di era keterbukaan informasi ini.

Tragedi Gaza telah melucuti topeng kemunafikan para pendukung Israel. Wajah mereka yang bopeng menjadi tontonan dunia. AS, yang kemarin masih gagah mengklaim diri sebagai kampiun demokrasi, hari ini secara telanjang membungkam suara rakyatnya sendiri yang pro-Palestina dengan pemecatan dan pemenjaraan.

Inilah mengapa Yaumul Quds harus lebih besar gaungnya dari sebelumnya. Ini bukan lagi sekadar peringatan tahunan, bukan sekadar seruan dari negeri yang berani melawan hegemoni. Ini adalah momentum global. Ini adalah simbol bahwa rakyat dunia telah terbangun dari kebohongan yang selama ini dikonstruksi. Yaumul Quds adalah pengingat bahwa perjuangan Palestina bukan perjuangan sektarian, bukan perang agama, bukan konflik etnis. Ini adalah perjuangan antara keadilan dan kezaliman, antara penjajahan dan kemerdekaan, antara mereka yang memilih peduli dan mereka yang memilih membisu.

Kita ramaikan Yaumul Quds bukan hanya karena kita Muslim, bukan semata-mata karena kita mencintai Palestina, bukan karena kita pengagum Khomeini, tetapi karena kita manusia yang menolak tunduk pada logika penjajahan. Kita menolak menjadi bagian dari generasi yang diam ketika bayi-bayi dikubur di bawah reruntuhan, ketika rumah sakit dijadikan target, ketika sekolah-sekolah dihancurkan, ketika seluruh keluarga dihapus dari daftar sensus dengan satu bom pintar. Kita menolak melupakan, sebab melupakan berarti menyerah, dan menyerah berarti ikut mengubur Gaza sebelum ia mati sepenuhnya.

Hari ini, mereka yang menutup mata terhadap penderitaan Gaza harus menghadapi kenyataan bahwa Palestina telah menjadi simbol perlawanan global. Setiap aksi represif Israel tidak lagi hanya berdampak di Timur Tengah, tetapi mengguncang opini publik di seluruh dunia. Setiap upaya membungkam kritik kini berhadapan dengan jutaan suara yang semakin lantang. Dan Yaumul Quds adalah puncak dari semua ini. Ia adalah hari di mana kita bersumpah bahwa Gaza tidak akan pernah dilupakan, bahwa Palestina tidak akan pernah dibiarkan sendiri.

Maka, berduka dan bersimpati tidak lagi cukup. Tidak boleh berhenti pada doa dan kutukan semata. Suarakan! Turun ke jalan, perkuat boikot, libatkan setiap aspek kehidupan kita dalam pembelaan ini. Pastikan nama Palestina terucap di setiap mimbar, di setiap podium, di setiap ruang diskusi, di warung-warung kopi, di setiap aksi di jalan-jalan. Pastikan bahwa ketika sejarah menoleh ke belakang, kita bukan generasi yang membisu melihat penindasan.

Jangan pernah berhenti menyebarkan kesadaran. Ceritakan tentang Gaza. Ungkapkan kebenaran yang sering disembunyikan media arus utama. Dukung organisasi-organisasi yang membantu rakyat Palestina. Tekan pemerintah kita agar mengambil sikap lebih tegas terhadap Israel.

Lebih dari semua itu, kita harus meyakini bahwa Palestina pasti akan merdeka, dan penjajahan pasti akan terhapus dari muka bumi. Pertanyaannya hanya satu: apakah kita akan terlibat dalam perjalanan sejarah ini atau sekadar menjadi penonton?

Gaza adalah ujian bagi kita semua. Apakah kita manusia yang menolak tunduk pada tirani, atau hanya debu dalam arus zaman yang ditiup ke mana pun angin kepentingan bertiup? Yaumul Quds bukan hanya hari—ia adalah sumpah. Ia adalah perlawanan yang tak boleh padam. []

*Ismail Amin Pasannai: Jurnalis dan Kontributor Tetap Ahlulbait News Agency (ABNA)

Baca juga : Hari Ini Seluruh Keputusan Strategis Dunia Berada di Teheran, Najaf, dan Sana’a