Opini
Menghidupkan Malam Lailatul Qadar: Momentum Spiritual untuk Kembali ke Cahaya

Oleh: Muhlisin Turkan
Ahlulbait Indonesia – Dalam keheningan malam, ada dimensi waktu yang lebih dari sekadar berlalu. Malam Lailatul Qadar bukan hanya pergantian siang dan malam, melainkan peluang luar biasa bagi jiwa untuk bangkit dan menemukan cahaya Ilahi. Kata “ihya” yang berarti “menghidupkan” bukan sekadar berjaga, tetapi membangunkan kesadaran, menyalakan cahaya spiritual, dan menghidupkan esensi terdalam dari diri kita. Inilah makna sejati dari menghidupkan malam; sebuah perjalanan menuju kehadiran spiritual yang lebih dalam.
Malam dapat mengalami dua keadaan: hidup atau mati. Malam yang hidup adalah saat seseorang mengisinya dengan ibadah yang tulus; berdzikir, membaca Al-Quran, merenungkan makna kehidupan, serta berserah diri kepada Allah dalam doa yang khusyuk. Sebaliknya, malam yang mati adalah ketika seseorang terjebak dalam rutinitas tanpa makna; menghabiskan waktu dengan kesia-siaan, larut dalam hiburan yang melalaikan, atau terlelap tanpa menyadari bahwa malam tersebut adalah peluang untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam kondisi ini, seseorang merasakan betapa dekatnya dirinya dengan Sang Pencipta, seakan seluruh semesta berkonspirasi membimbingnya menuju cahaya kebenaran. Sebaliknya, malam yang mati berlalu tanpa meninggalkan jejak spiritual dalam jiwa manusia.
Baca juga : Menjaga Api Gaza, Menyulut Nyala Yaumul Quds
Namun, apakah benar bahwa malam itu sendiri memiliki kehidupan dan kematian? Dalam berbagai tradisi Islam, konsep ini sering dikaitkan dengan bagaimana manusia memanfaatkan waktu yang dianugerahkan Allah. Beberapa ulama berpendapat bahwa malam yang “hidup” adalah malam yang diisi dengan ibadah, sementara malam yang “mati” adalah malam yang disia-siakan tanpa nilai spiritual. Dalam perspektif tasawuf, malam menjadi cermin perjalanan ruhani seseorang; apakah ia tenggelam dalam kegelapan duniawi atau sedang menuju cahaya ketakwaan. Beberapa orang mungkin melihatnya hanya sebagai metafora, karena secara fisik, malam hanyalah bagian dari siklus waktu. Namun, menghidupkan malam bukan berarti menghidupkan waktu secara literal, melainkan membangun kesadaran dalam waktu tersebut. Malam menjadi saksi, cermin yang memantulkan keadaan batin kita: apakah kita sedang mendekat kepada-Nya atau justru semakin jauh?
Menghidupkan malam Lailatul Qadar lebih dari sekadar ritual ibadah. Ia adalah perjalanan transformatif di mana seseorang tidak hanya terjaga secara fisik, tetapi juga membangunkan ruh dan pikirannya. Waktu dalam diri kita berupa kesadaran, refleksi, dan keheningan batin, adalah bagian dari eksistensi kita yang paling hakiki. Dalam momen ini, seseorang benar-benar mengalami kehidupan yang sesungguhnya, penuh dengan kepekaan spiritual dan cahaya Ilahi.
Maka, Lailatul Qadar bukan sekadar satu malam di antara malam-malam lainnya, melainkan kesempatan untuk terlahir kembali dalam kesadaran baru. Seseorang dapat memanfaatkannya dengan memperbanyak ibadah, memperdalam introspeksi, serta berdoa dengan sepenuh hati agar mendapatkan petunjuk dan keberkahan. Dengan menyalakan cahaya spiritual melalui dzikir, membaca Al-Quran, dan bermunajat, seseorang dapat merasakan kehadiran Allah secara lebih nyata dan memperbarui tekad untuk menjalani hidup dengan makna yang lebih dalam.[]
Baca juga : Hari Ini Seluruh Keputusan Strategis Dunia Berada di Teheran, Najaf, dan Sana’a