Ikuti Kami Di Medsos

Akhlak

Mengapa Kita Perlu Sekolah Bukan Penjara

(Catatan Pengalaman Orang Biasa)

Oleh Hertasning Ichlas

Seorang anak asyik mengintip di jendela terus-menerus. Dia ingin tahu apa yang terjadi di dalam kelas itu. Katanya dia anak bermasalah di sekolah sebelumnya. Sebuah dunia berubah total ketika anak pengintip ini bertemu dengan guru barunya yang baik hati.

Saya pembaca Toto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi sekitar 17 tahun silam. Sebuah buku pedagogik inspiratif dari Jepang yang bercerita hubungan seorang guru dengan murid-muridnya di sekolah bernama Tomoe Gakuen. Sebuah sekolah yang menggunakan gerbong bekas kereta sebagai kelas dan tempat bermain. Dan sekolah yang membebaskan murid-muridnya belajar apa saja yang mereka suka.

Dari sekolah itu tersusun cerita yang membekaskan makna mendalam tentang arti sekolah dan pendidikan. Setidaknya buat saya.

Tetsuko Kuroyanagi memberi perenungan bahwa di saat hidup semakin modern, mekanis dan rutin, justru tepat di sekolah, kita bisa menyaksikan pendidikan telah hilang. Dia telah berganti rezim pengajaran dan pemaksaan kehendak agar anak-anak melakukan apa yang kita mau.

Kisah Toto Chan bukan buku teori yang berat dan menjemukan tentang dunia pendidikan. Dia berisi kisah nyata bagaimana pergulatan seorang guru humanis berempati besar berusaha menghadapi anak-anak yang dianggap badung dan gagal. Padalah yang sebenarnya terjadi, guru dan orang tua mereka di sekolah yang lama, tak mampu menghadapi anak-anak mereka yang sebenarnya memiliki rasa ingin tahu yang besar.

Banyak guru dan orang tua tak terlalu mengerti arti kata cerdas yang sebenarnya. Dan tak tahu bahwa anak-anak mereka punya perasaan, pikiran dan kehendak bebas yang umumnya tak bisa mereka utarakan dengan kata-kata melainkan dengan tanda-tanda perilaku.

Di dalam buku Toto Chan, kita seperti bisa paham mengapa sekolah membutuhkan kegembiraan, kebebasan dan yang terpenting kehadiran guru yang mengenali utuh muridnya-muridnya. Bukan hanya mengenali murid-muridnya dari jawaban soal dan ujian.

Guru yang membimbing bakat dan menuntun muridnya mengenali hidup dan dirinya. Dan pada gilirannya menyingkapkan dunia ke hadapan muridnya dengan cara-cara yang menggairahkan.

Di konsep Toto Chan, guru yang pelit bertukar perasaan dengan muridnya, sebenarnya guru yang hanya ingin mengejar target bahan ajar dan soal. Guru seperti itu adalah guru yang telah hancur berkeping-keping di sekolah Toto Chan.

Toto Chan mencoba mendidik kemandirian murid-muridnya menghadapi dunia bukan semata menjadi penghapal, pengikut apalagi peniru terhadap pola yang sudah-sudah.

Terus terang saya selalu melihat diri saya sendiri di buku itu. Saya tahu betapa tidak mudahnya dulu saya menyukai sekolah terutama SD, tanpa bisa mengatakan alasannya.

Yang tertinggal hanya perasaan bahwa saya tidak seperti yang lain, yang tampak menyenangi sekolah. Dan perasaan yang saya alami sebenarnya sangat berbahaya bagi anak seusia saya ketika itu: BADUNG dan GAGAL.

Saya betul-betul ditimpa masalah besar ketika di sekolah dasar. Dan saya belajar mengerti kata bodoh dan gagal yang paling membekas dari pengalaman pahit saya sendiri di sekolah.

Saya orang yang kesulitan mengabaikan fokus yang sedang saya pikirkan atau inginkan. Dalam keramaian saya menemukan hening dalam fokus yang saya pikirkan.

Guru-guru saya menyebut saya tidak perhatian, aneh dalam menjawab dan malas. Padahal saya justru sedang berusaha menjawab rasa ingin tahu saya yang tak terjawab dari bahan ajar yang menjemukan. Tentu harus saya akui tak semua rasa ingin tahu saya penting ketika itu.

Betapa sedihnya saya mengetahui bahwa ternyata masalah seperti yang saya alami, sangat umum dan biasa terjadi kepada banyak anak-anak lainnya di usia 4-12 tahun. Saya tahu bagaimana perasaan gagal itu dapat membuat banyak anak-anak trauma dan gagal menemukan kepercayaan diri mereka. Hanya karena mereka berhadapan dengan guru-guru yang salah yang pandai menabung trauma untuk disimpan di memori muridnya.

Anak-anak mendambakan sekolah yang benar-benar mengerti apa perbedaan pendidikan dan pengajaran. Sekolah dengan sentuhan. Sekolah dengan perasaan yang terlibat antara guru dengan anak didiknya. Sehingga guru dan orang tua tahu dengan baik bakat si anak sejak dini dan bisa membantu anak secara positif agar bakatnya melesat jauh.

Bahwa di sekolah, yang terpenting bukanlah semata capaian soal atau ujian tetapi kesehatan mental dan kecakapan hidup. Bagaimana murid mampu menghadapi masalah dirinya dan tantangan hidup yang lebih kompleks dari sekadar soal-soal dan ujian-ujian mereka. Sekolah yang menumbuhkan keceriaan, kreativitas dan inovasi bukan melahirkan penghapal dan peniru buta apa kata gurunya.

Saya pendukung berat sekolah berbasis pendekatan integral dan nyata. Maksudnya jika kita ingin belajar matematika, kita juga bisa sekaligus belajar bahasa, belajar wirausaha, belajar komunikasi.

Caranya misalnya dengan metode meminta anak-anak membuat rumah-rumahan, mengukurnya, menghitung biayanya dan kemudian meminta anak-anak presentasi memasarkan hasil rumahnya kepada orang tua murid. Dengan cara begitu, anak-anak belajar banyak ilmu sekaligus dan nyata.

Guru perlu memaksudkan betul apa yang mereka ajarkan. Karena seringkali anak-anak gagal memahami maksud dari sesuatu yang mereka pelajari.

Kita tentu ingin anak-anak mengerti manfaat dari apa yang mereka pelajari dalam bentuknya yang lebih nyata bagi hidup mereka. Dan yang terpenting membuat mereka bisa mandiri dan berkreasi lebih jauh dengan cara-cara terpuji. Sekolah yang mengajarkan muridnya mempercayai bahwa BEKERJASAMA itu jauh lebih bermakna dari melulu BERKOMPETISI.

Sekolah dalam fantasi saya harus sekolah yang berhasil mengajarkan alam sebagai karunia, sahabat bahkan guru pengetahuan bukan barang jarahan dan sekadar alat konsumsi.

Berhasil mengajarkan bahwa Sang Pencipta dekat dan nyata dalam hidup sehari-hari mereka. Sekolah yang menyelamatkan iman anak-anak didik dengan membuat Sang Pencipta terlihat hadir dan menjadi saksi perilaku mereka sehari-hari.  Semuanya dalam bentuk contoh-contoh nyata dan teladan praktis.

Ketika itu makna agama dan Tuhan bisa wewujud dalam bentuk budi pekerti yang nyata bukan hanya pelajaran agama yang hanya membuat anak-anak bangga dengan kemampuan hapalan-hapalan doa dan ayat.

Sekolah-sekolah seperti di atas seharusnya bukan sebuah dunia fantasi. Malangnya saya menemukan jenis sekolah impian seperti itu justru dalam buku-buku yang mengkritik keras pendidikan dan sekolah formal seperti buku Ivan Illich “De-schooling Society, Pauolo Freire “Pedagogy of TheOppressed” atau buku Roem Topatimassang “Sekolah Itu Candu”.

Saya dan kalian anak-anak Indonesia, bukan orang bodoh dan gagal.Tidak ada semacam anak bodoh. Kalian sama seperti anak hebat lainnya di semesta bumi. Hanya saja kita mungkin baru tahu lebih pasti siapa diri kita setelah membaca Toto Chan. []

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *