Opini
Memilih Takdir dengan Pemilu
Jari punya banyak fungsi mulai dari urusan paling remeh sampai yang penting, dari yang tidak baik hingga yang mulia. Jari sangat penting karena ia menyimpan identitas personal yang tidak bisa dipalsukan atau digandakan, sidik jari. Ia menjadi bukti bahwa setiap manusia adalah unik dan spesial, bukan produk cloning yang sama. Jari juga sering digunakan sebagai alat komunikasi lewat gerak dan bentuk jari tersebut. Salah satu contoh yang sering digunakan oleh para penyandang tunawicara, mereka berkomunkasi melalui isyarat gerak yang mengandung arti tertentu.
Jari setengah penduduk Indonesia pada 9 April diperlukan. Pada hari itu rakyat seakan menjadi raja sehari. Jari yg dipakainya untuk mencoblos wajah yang terpampang di lembar suara di bilik TPS akan menentukan takdirnya.
Rakyat Indonesia untuk kesekian kalinya dengan sisa kesabaran, yang dihabiskan oleh janji-janji palsu para caleg yang sudah jadi leg, akan memilih takdirnya sendiri, dengan hasil positif atau negatif.
Tragisnya, tidak sedikit warga, karena pesimis terhadap perubahan masa depan, bersikap apatis, bahkan meremehkan peristiwa politik 5 tahunan ini. Bahkan saking apatisnya terhadap realisasi janji para caleg saat kampanye, sebagian bersikap pragmatis seraya menganggapnya sebagai ajang bagi-bagi duit.
Logistik, sebuah istilah baru yang kadang jadi kosmetik money politic, diterima sebagai cara menentukan pilihan. Akibatnya, pemilu yang dulu sering disebut pesta demokrasi berubah menjadi pasar transaksi rasuah (suap-menyuap) yang dianggap lazim.
Saat money dianggap sebagai cara efektif untuk menentukan letak jari mencoblos, maka yang terjadi adalah fenomena oligarki, bukan demokrasi.
Padahal uang suap yang diterima menjadi pembenaran atas segala keburukan. Calon koruptor memulai korupsinya saat membeli suara rakyat. Pelaku korupsi bukan hanya penyuap namun juga penerima suap.
Demokrasi “wani piro” tidak hanya menghamburkan uang negara dan rakyat, tapi mengantarkan para individual maling menjadi maling publik dengan kedudukan dan legitimasi politik atas nama demokrasi.
Pemilu yang hanya dimarakkan dengan retorika, narsisme, imagologi dan hiburan dangdut sulit melahirkan legislator tahan suap, rayuan dan tekanan.
Berkat reformasi yang tak tuntas dan pembelokan arahnya, kebebasan yang menjadi cita-cita para pejuang reformasi, para mahasiswa, telah menjadi bumerang yang membuka kesempatan bagi tumbuh suburnya ekstremisme berbalut agama dan intoleransi yang terlanjur dipahami sebagai relijiusutas.
Selama era reformasi beragam kelompok ekstrem yang dahulu sembunyi sekarang muncul dengan percaya diri bahkan memasuki arena politik meski membawa ideologi yang mensyirikkan penghormatan bendera negara dan menghina Pancasila.
Pemilu kali ini tidak hanya dimarakkan oleh mereka yang menerima konstitusi negara, tapi dipenuhi oleh agen-agen ideologi trans-nasional yang secara eksplisit dan implisit mempersiapkam agenda memberangus kebhinnekaan dengan aneka modus.
Pemilu kali ini dinodai oleh kampanye negatif yang menjadikan isu agama dan ujar kebencian sektarian dan etnis sebagai cara efektif untuk meraih suara rakyat. Beragam broadcast dan propaganda fitnah SARA telah muncul dengan tujuan pembunuhan karakter demi menjatuhkan pesaing.
Tidak hanya itu, lembaga keulamaan yang seyogyanya menjadi pengayom dan perekat umat malah menjadi sentra intoleransi yang tanpa lelah menularkan kebencian sektarian atas nama agama dan aliran
Akibatnya, pemilu yang mestinya menjadi pesta demokrasi bagi setiap warganegara berubah seolah menjadi pemilu untuk mayoritas.
Undang-undang dan hukum dikalahkan oleh opini yang direkayasa. Sejumlah korban pelanggaran HAM atas nama agama tidak mendapatkan perlakuan yang sama.
Kaum minoritas agama dan aliran seakan bukan bagian dari peserta. Suara mereka kecil. Karena itu, nyaris tidak ada capres selama masa kampanye yang terlihat berani berteriak membela minoritas.
Money politic dan pembodohan publik membuat warganegara lebih memilih “siapa” ketimbang “apa” berupa visi, misi, program dan sebagainya.
Tapi apa hendak dikata. Ukuran poster, wajah dan lainnya dijadikan sebagai parameter.
Korupsi dan money politic dengan beragam gaya, konsep dan alasannya bukan hanya pelanggaran moral dan spiritual, namun juga pelanggaran hukum. Karena itu, pelakunya, mesti diperlakukan sebagai mufsid (perusak). Ia tidak hanya layak dikutuk oleh Allah dan diberi sanksi spiritual (dosa) dan siksa di neraka kelak, namun mesti dihukum di dunia atas perbuatannya yang menghilangkan peluang banyak orang untuk hidup. (ML/Yudhi)