Ikuti Kami Di Medsos

Opini

‘Libyanisasi’ Iran: Diplomasi Bom Siluman ala Trump dan Netanyahu

'Libyanisasi' Iran: Diplomasi Bom Siluman ala Trump dan Netanyahu

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia — Dalam kamus intervensi militer Barat, “model Libya” adalah sinonim dari penyesalan sejarah: sebuah proses diplomatik yang berujung pada penghancuran. Istilah ini kembali diangkat oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dalam pertemuannya dengan Donald Trump pada 7 April 2025 di Washington DC, menyarankan pendekatan serupa terhadap Iran.

Namun, di balik retorika “perundingan”, tersembunyi cetak biru pelucutan dan penggulingan. Bagi Netanyahu, “model Libya” bukanlah formula damai, melainkan strategi untuk melumpuhkan lawan secara sistematis: menyeret ke meja perundingan, menjanjikan normalisasi, lalu menghantam saat pertahanan dilucuti.

Libya: Dari Diplomasi ke Kehancuran

Pada 2003, Libya menyepakati pelucutan senjata massal dan menerima inspeksi internasional, dengan harapan mendapatkan pencabutan sanksi dan pemulihan hubungan dengan Barat (Jentleson & Whytock, 2005). Namun, kesepakatan ini tidak menjamin stabilitas.

Delapan tahun kemudian, saat gelombang Arab Spring mengguncang wilayah Arab, AS dan NATO melancarkan Operation Odyssey Dawn untuk menggulingkan Muammar Gaddafi. Militer Libya yang telah dilucuti menjadi sasaran empuk.

Ini pertama kalinya saya meluncurkan 24 jenis senjata dalam satu pengeboman,” ujar Kolonel Christopher McConnell dari AU AS (Spencer, 2011).

Dalam kurang dari 42 jam, semua amunisi dikumpulkan, pesawat dimuat, dan jet siap diluncurkan. Bom seberat 2.000 pon digunakan dalam operasi ini.” (US Department of Defense, 2011).

Rezim Gaddafi runtuh, dan yang tersisa adalah kehancuran total dan kekacauan berkepanjangan. Perang saudara, kelompok-kelompok Takfiri model ISIS, dan intervensi asing membelah negara menjadi dua pemerintahan yang saling bersaing. Tripoli didukung oleh Turki dan Qatar, sementara Tobruk didukung oleh Mesir, UEA, dan Rusia.

Menurut laporan PBB, lebih dari 20.000 orang tewas dan lebih dari satu juta mengungsi sejak 2011 (UNSMIL, 2022). Negara yang pernah diajak berdamai itu kini menjadi laboratorium kegagalan diplomasi Barat.

Iran dan Gema “Model Libya”

Dalam pertemuan di Gedung Putih, Trump menyuarakan kemungkinan negosiasi dengan Iran. Namun Netanyahu segera menggarisbawahi bahwa pendekatan itu harus mengikuti “model Libya” (Al-Ahram, 2025). Ini bukan undangan menuju perdamaian, melainkan tekanan terselubung untuk menyerah tanpa syarat.

Teheran merespons dengan tegas. Menlu Abbas Araqchi menolak negosiasi langsung dan hanya membuka ruang melalui jalur mediasi Oman (Fars News Agency, 2025). Juru bicara pemerintah Iran, Fatemeh Mohajerani, menyatakan bahwa Iran tak akan tunduk pada tekanan teatrikal ala Washington-Tel Aviv.

Bagi Iran, sejarah Libya adalah peringatan. Pelucutan senjata tanpa jaminan kedaulatan hanyalah jalan pintas menuju keruntuhan. Iran tak berniat mengulangi keputusan Gaddafi yang menyerahkan kendali tanpa proteksi nyata dari agresi asing.

Baca juga : Di Dalam Tenda, Para Jurnalis Menjaga Dunia Tetap Tahu, Lalu Israel Membakar Mereka

Trump, Tekanan Maksimum, dan Agenda Lama

Trump bukan aktor baru dalam proyek tekanan terhadap Iran. Selama masa jabatan sebelumnya, ia:

1. Menetapkan IRGC sebagai organisasi teroris asing (US Dept of State, 2019),
2. Menarik diri dari JCPOA dan mengembalikan sanksi (White House, 2018),
3. Mengintensifkan kampanye isolasi ekonomi dan diplomatik.

Dengan latar belakang ini, wacana negosiasi ala Trump lebih menyerupai alat tekanan psikologis daripada inisiatif damai. Seperti halnya Libya, yang diserang setelah pelucutan, Iran dihadapkan pada skenario yang sama: tunduk terlebih dahulu, baru dijanjikan “perdamaian” yang sewaktu-waktu bisa dibatalkan dengan bom pintar dan embargo.

Kedaulatan Bukan Komoditas Diplomasi

“Model Libya” bukanlah peta damai, melainkan protokol penghancuran. Di balik jargon negosiasi, ia menyimpan logika penyerahan total: pelucutan sepihak, janji manis yang siap dikhianati, dan kekacauan yang diproduksi dari luar. Negara yang tunduk pada skenario semacam ini akan kehilangan pertahanan, kehilangan kendali, dan akhirnya kehilangan dirinya sendiri.

Apa yang disebut Netanyahu sebagai solusi untuk Iran sejatinya adalah siasat kolonial dalam balutan modern: dominasi lewat tekanan, propaganda, dan teror terselubung. Tapi Iran bukan Libya. Negeri ini telah bertahan bertahan lebih lama dari kekaisaran, dari bangsa Mongol hingga Ottoman, dan tidak akan pernah tunduk pada tekanan atau ancaman genosida tak berkesudahan. Negeri yang dipahat dari sejarah Perlawanan tak akan menyerah hanya karena ancaman rudal atau senyum palsu di meja perundingan.

Kedaulatan bukan mata uang untuk dinegosiasikan. Ia bukan hadiah yang bisa dibeli dengan sanksi atau dicuri lewat ultimatum.

Libya telah membayar lunas untuk kesalahannya mempercayai janji perdamaian. Dunia tak butuh satu babak pengkhianatan lagi, yang dirancang di ruang konferensi, dibungkus diplomasi, dan dijatuhkan dari langit bersama gelegar bom siluman. []

Referensi

1. Al-Ahram. (2025) Netanyahu seeks Libya-style dismantling of Iran’s nuclear program.
2. Fars News Agency. (2025) Iran Rejects Direct Talks with US, Open to Indirect Negotiations Through Oman.
3. International Crisis Group. (2022) Libya’s Endgame: Restoring Stability in a Divided Country.
4. Jentleson, B. W. & Whytock, C. A. (2005) Who “Won” Libya?: The Force-Diplomacy Debate…
5. Spencer, R. (2011) Libya: US Admiral Admits Coalition Forces Tried to Kill Gaddafi.
6. UNSC. (2011) Resolution 1973 (2011).
7. UNSMIL. (2022) Annual Report on the Human Rights Situation in Libya 2011–2022.
8. US Department of Defense. (2011) Operation Odyssey Dawn…
9. US Department of State. (2019) Designation of the Islamic Revolutionary Guard Corps.
10. White House. (2018) President Donald J. Trump is Ending United States Participation in an Unacceptable Iran Deal.

Baca juga : Suriah Tanpa Iran: Negeri yang Kehilangan Tameng dan Harga Dirinya