Opini
Lebaran Hampa Pengungsi Syiah Sampang
Pesta demokrasi sudah usai, debat capres soal hukum dan HAM semakin maju dan nyata. Banyak kebajikan ditawarkan capres kepada publik. Presiden SBY pun terlihat semakin arif dan banyak mengingatkan para capres tentang kepentingan rakyat menjelang masa lengsernya. Tapi dalam dunia yang lebih nyata orang tertindas tetap saja jadi tontonan seperti nasib pengungsi Syiah Sampang.
Pengungsi Syiah Sampang sudah mengungsi dan terusir dari kampungnya sejak Agustus 2012. Artinya hampir genap dua tahun lamanya mereka terusir dan menjadi pengungsi. Di GOR Sampang dan kini di Rusunawa, Jemundo, Sidoarjo.
Sejumlah inisiatif bagus dari masyarakat untuk memulihkan konflik sudah dilakukan. Rakyat dengan rakyat sudah berdamai bahkan mengikatkan diri dalam skema “perdamaian rakyat”.
Tak cukup hanya itu, kolaborasi parapihak menawarkan resolusi konflik dengan program bedah rumah dan program orientasi pengungsi dalam asuhan Kiai Noer Iskandar SQ sudah disepakati para kiai, pengungsi dan warga di kampung. Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz, Kiai Noer Iskandar SQ, sejumlah kiai kunci dan pihak pendamping pengungsi sudah bersepakat dan mengikatkan diri dalam tanda tangan. Inilah salah satu terobosan paling krusial dari parapihak memunculkan resolusi konflik berbasis hak, power dan kepentingan.
Tapi ketika harus melewati otoritas Gubernur Soekarwo dan Presiden SBY, keduanya mengelak dan menepis setiap inisiatif seperti tak juga ingin menyelesaikan masalah kemanusiaan yang menjadi pekerjaan rumahnya.
Pengungsi secara pasti benar-benar mengalami relokasi tanpa harus disebut sebagai relokasi. Damai dan keinginan rukun warga di kampung kalah oleh keinginan pemerintah yang selalu menganggap dan mengatakan kondisi masih tidak aman dan karenanya pengungsi berkali-kali dilarang kembali ke kampungnya.
Kita tidak pernah tahu persis bagaimana, kapan dan dengan cara apa sebenarnya pemerintah berusaha menyelesaikan masalah dan menciptakan kondisi aman. Apa sebenarnya rencana pemerintah untuk mengembalikan pengungsi ke kampung halamannya agar kembali hidup rukun bersama warga yang juga kerabat mereka, dan jelas-jelas merindukan kepulangan mereka.
Jika pemerintah sebenarnya tak tahu dan tak bisa menyelesaikan masalah, atas dasar moral apa pemerintah melarang dan tak menggubris setiap inisiatif masyarakat sipil, pengungsi, dan warga kampung untuk mencoba menyelesaikan masalah mereka sendiri?
Karena penderitaan 300an warga pengungsi Syiah hanya statistik dari sebuah kaum minoritas yang tersesat?
Lebaran kali ini 1435 Hijriah, Koordinator pengungsi Syiah Sampang, Ikli Al Milal mengirimkan pesan dan foto (dalam lampiran) kepada saya. Isi pesannya saya kutip langsung:
“P.ris tadi minta ijin ke bnpb untk lebaran di rumah mertuax di pamekasan. Tp tdk dapat izin. kata irfan larangan pulang kampung ini umumx madura dan khussusx sampang.”
Pesta demokrasi sudah usai, tapi politik dan hidup sehari-hari tetap sama. Nasib pengungsi Sampang hanya catatan kaki dari begitu banyak persoalan ketertindasan publik dan ketidakbecusan politik menyelematkan hidup bersama.
Selamat lebaran Bapak Presiden SBY. Selamat lebaran Bapak Gubernur Soekarwo. Semoga hidup bapak aman, biarlah pengungsi saja yang selalu tidak aman.
Hertasning Ichlas
Koordinator YLBHU