Opini
Gencatan Senjata di Gaza: Pengakuan Pahit yang Mengubur Ambisi Zionis
Ahlulbait Indonesia – Rezim Zionis Israel kembali terperangkap dalam siklus kekalahan yang berulang setiap dua dekade, kali ini di tangan rakyat Gaza yang tak kenal menyerah. Setelah penarikan sepihak pada tahun 2005, Israel kini dihadapkan pada kenyataan pahit: kesepakatan gencatan senjata sementara yang akan berlaku mulai Minggu (19/01). Gencatan ini bukan sekadar jeda dalam konflik bersenjata, tetapi juga pengakuan atas kegagalan Israel mencapai tujuan militernya.
Latar Belakang Historis: Siklus Kekalahan yang Berulang
Pada 2005, Israel mengevakuasi 21 permukiman Yahudi di Gaza secara sepihak. Operasi ini diusulkan oleh Ariel Sharon, Perdana Menteri Israel saat itu, yang dikenal sebagai sosok keras dan kontroversial. Rencana penarikan tersebut, diajukan pada 2003, disetujui pada Juni 2004, dan disahkan oleh Knesset pada Februari 2005 sebagai “Undang-Undang Pelaksanaan Program Penarikan.” Pelaksanaan dimulai Agustus 2005 dan selesai pada September tahun yang sama.
Dua dekade kemudian, Israel kembali terjebak dalam situasi serupa. Para pakar Timur Tengah telah lama memprediksi bahwa Gaza akan menjadi “rawa” yang sulit dilepaskan Israel. Pada 2005, Sharon mencoba mengklaim penarikan itu sebagai langkah strategis, meski lebih pantas disebut retret memalukan. Kini, Netanyahu, yang terjerat skandal korupsi dan krisis politik, menyerahkan “kehormatan” ini kepada dua presiden Amerika Serikat yang berlomba mengklaim gencatan senjata sebagai pencapaian mereka.
Peran Amerika Serikat: Diplomasi atau Ambisi Politik?
Joe Biden, Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, bersama Antony Blinken, Menteri Luar Negeri, dan Kamala Harris, Wakil Presiden, mengumumkan kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas dari Gedung Putih. Biden, khawatir Donald Trump akan mengklaim keberhasilan ini, menegaskan bahwa kesepakatan ini adalah hasil dari diplomasi keras Amerika. “Kesepakatan ini lahir dari tekanan besar terhadap Hamas, perubahan dinamika regional, dan diplomasi Amerika yang gigih,” kata Biden.
Sementara itu, Trump dengan percaya diri memposting di media sosial: “Gencatan senjata epik ini hanya mungkin terjadi berkat keberhasilan kebijakan kami. Kami telah mencapai banyak keberhasilan bahkan tanpa berada di Gedung Putih. Bayangkan apa yang akan terjadi ketika saya kembali.”
Baca juga : Ungkapan Selamat dan Harapan Keluarga Besar ABI Sambut Hari Santri Nasional 2024
Faktor-Faktor yang Memaksa Israel Menyerah
Di balik retorika kedua pemimpin AS tersebut, realitas di lapangan menunjukkan kegagalan Israel mencapai tujuannya. Selama setahun terakhir, Netanyahu dan pejabat Zionis terus menyerukan “penghancuran Hamas,” tetapi Hamas justru bertahan dan semakin kuat.
1. Perlawanan Gigih Hamas
Meskipun lebih dari 70% infrastruktur Gaza hancur, Hamas tetap mampu melancarkan serangan balasan yang efektif. Menurut laporan Institute for Palestine Studies, Hamas kini memiliki sekitar 120.000 pasukan terlatih, jumlah yang signifikan bagi Israel. Pejabat Hamas menyatakan bahwa masa depan Gaza akan menjadi mimpi buruk bagi Zionis.
2. Tekanan Internasional
Demonstrasi besar di berbagai ibu kota dunia menuntut penghentian kekerasan di Gaza. Selain itu, Mahkamah Internasional di Den Haag telah memperingatkan Israel, menambah tekanan hukum dan moral. Amnesty International dan Human Rights Watch juga mengecam pelanggaran HAM oleh Israel dalam laporan terbaru mereka.
3. Perpecahan Internal di Israel
Masyarakat Israel mulai kehilangan kepercayaan pada pemerintah setelah serangkaian kekalahan. Protes besar-besaran di kota-kota utama Israel menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Hanya 32% publik Israel, menurut jajak pendapat Israel Democracy Institute, yang mendukung kebijakan Netanyahu di Gaza.
4. Dampak Ekonomi
Perang membebani ekonomi Israel. Tiga pelabuhan utama terpaksa ditutup atau setengah ditutup, mengakibatkan kerugian miliaran dolar, menurut data Bank of Israel.
5. Keputusan Hukum Internasional
Mahkamah Internasional dan PBB terus mengecam tindakan Israel di Gaza, meningkatkan isolasi diplomatik Israel.
Masa Depan Gaza dan Implikasi Regional
Gencatan senjata ini, baik sementara maupun permanen, adalah bukti kegagalan Israel dan pendukungnya, termasuk AS. Selama 16 bulan, AS telah menyuplai ratusan ribu ton bom kepada Israel, mengubah Gaza menjadi ladang pembantaian. Namun, gencatan senjata ini bukanlah akhir konflik.
Hamas tetap menjadi ancaman serius bagi Israel. Sementara itu, tekanan internasional terhadap Israel kemungkinan akan semakin meningkat dengan laporan-laporan organisasi HAM yang mengecam pelanggaran Zionis.
Gencatan senjata di Gaza bukanlah kemenangan Biden, Trump, maupun Netanyahu. Ini adalah pengakuan pahit bahwa rakyat Gaza, dengan keteguhan dan perlawanan mereka, telah mengubur ambisi Zionis. Kekuatan sejati bukan pada senjata, tetapi pada keteguhan hati dan semangat Perlawanan yang tak pernah padam. [MT]
Oleh: Muhlisin Turkan.
Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis, dan tidak mencerminkan pandangan resmi Ahlulbait Indonesia (ABI).
Referensi:
1. Anadolu (16/01/25): Trump dan Biden saling klaim berjasa atas kesepakatan gencatan senjata di Gaza saat korban tewas capai 46.800 orang
2. CNBC (16/01/25) : Untung Rugi Gencatan Senjata Israel-Hamas di Gaza
3. Reuters (16/01/25): Gaza ceasefire should take pressure off Israel’s credit rating, Fitch says
4. The Times (17/01/25): In Gaza, Hamas commanders are rebuilding their shattered forces
5. Antara (01/01/25): Apa yang tersisa di Jalur Gaza, Palestina pada awal tahun 2025?
6. Kompas (17/01/25): Gencatan Senjata Gaza Kembali Terancam Sabotase Netanyahu
7. VOA (17/08/2005): Tentara Israel Dengan Paksa Mengevakuasi Pemukiman Yahudi dari Jalur Gaza
Baca juga : Karbala di Gaza