Opini
Duka Karbala dan Lahirnya Otoritas Pemimpin Karismatik dalam Sekte Syiah
Duka Karbala dan Lahirnya Otoritas Pemimpin Karismatik dalam Sekte Syiah
Oleh: Ahmad Saefudin*
“Hanya mereka yang mengenal trauma,” kata Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya, “mereka yang pernah dicakar sejarah, tahu benar bagaimana menerima kedahsyatan dan keterbatasan yang bernama manusia.” Adagium reflektif ini menurut saya tepat untuk memberikan―meski tak sepenuhnya mewakili―gambaran peristiwa Karbala yang heroik, sarat kekejaman, dan penuh intrik. Secara politis, bagi Syiah, sebuah ordo minoritas dalam Islam, insiden Karbala kemudian menumbuhkan etos perlawanan terhadap kepemimpinan tiran.
Sebagai orang Islam, kadang saya merasa ngeri, miris, dan bercampur malu. Mengapa dalam setiap pergantian kepemimpinan sepeninggal Nabi Muhammad Saw., kerap diwarnai pertumpahan darah? Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, dan sanak keluarganya, seluruhnya wafat dalam kondisi mengenaskan. Begitu seterusnya dengan nasib pemimpin dinasti kekhilafahan.
Walaupun demikian, sejarah tetaplah sejarah. Segetir apapun harus didedah dan tak perlu disimpan dalam lorong gelap. Harus dibuka secara terang benderang.
Baca juga : “SYIAH” ABI
Duka Karbala
Kasus Karbala adalah babak lanjutan dari konflik ideologis bernuansa politis yang melibatkan dua kubu, antara keluarga Muawiyah bin Abi Shafyan dengan ahli waris Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Tepatnya, pertarungan antara pasukan Yazi>d ibn Muawiyah dengan Husain ibn Ali.
Tragedi Karbala diawali oleh permintaan penduduk Kufah yang mengundang Sayyidina Husain di Madinah untuk dibaiat menjadi khalifah. Tak sedikit tokoh-tokoh yang mengatasnamakan masyarakat Kufah yang berkirim surat kepada adik Hasan ibn Ali tersebut. Namun, karena Kufah masih dipimpin oleh Gubernur Nu’ma>n bin Bisyr, tangan kanan Yazid bin Muawiyah, yang kemudian digantikan oleh Ubaidillah bin Ziya>d, permintaan tersebut tak begitu saja diiyakan oleh Husain.
Sebagai penjajakan pendahuluan, Husain mengutus duta kepercayaannya, Muslim bin A>qil untuk menyelidiki keseriusan warga Kufah. Singkat cerita, di bawah rezim despotik Ibn Ziyad yang gemar melakukan penyiksaan dan menghamburkan uang kepada pihak oposisi, tokoh masyarakat Kufah yang tadinya bersimpati kepada Husain banyak yang berubah haluan. Berbalik seratus delapan puluh derajat menentangnya.
Muslim bin Aqil terbunuh karena tempat persembunyiannya dibocorkan oleh penduduk Kufah. Jadi, yang berkhianat dalam hal ini bukan orang Syiah, pengikut Ali bin Abi Thalib (Syi’atu Ali). Tapi tokoh-tokoh masyarakat Kufah.
Baca juga : Ali bin Abi Thalib Diagungkan Syiah, Sunni, dan Non-Muslim
Dalam History of The Arabs, Hitti mendeskripsikan detail demi detail kesyahidan Husain. Pada 10 Muharam 61 H yang bertepatan dengan 10 Oktober 680, Umar bin Sa’d bin Abi Waqqash bersama 4000 pasukannya mehepung kafilah Husain yang berjumlah sekitar 200 orang.
Karena enggan berbaiat kepada Yazid ibn Muawiyah, rombongan Husain yang sedang berkemah di Karbala tersebut satu per satu dibantai. “Cucu Nabi itu gugur dengan bekas luka di sekujur tubuh. Kepalanya dipenggal dan dikirimkan ke Yazid di Damaskus,” (Hitti, 2018: 237).
Bahkan, kepala Husain dan pasukannya yang meninggal, juga sisa-sisa pengikutnya yang selamat dan menjadi tawanan seperti Zainab, Ummu Kultsum, Sukainah, Atikah, Shafiyyah, dan Ali Awsath, diarak, dan dipermalukan di sepanjang perjalanan antara Kufah sampai Damaskus. Muhsin Labib menyebutnya “Pawai Kepala Hingga Syam,” (Labib, 2009: 220).
Rangkaian insiden Karbala di kemudian hari, khususnya oleh penganut Syiah, diperingati sebagai hari-hari kepedihan dan penyesalan. “Perayaan dan kepedihan dan penderitaan yang diadakan setahun sekali itu diselenggarakan dalam dua babak, yang pertama disebut ‘Asyura’ (hari kesepuluh) di Kazimain (dekat Baghdad) untuk mengenang pertempuran itu, dan empat puluh hari berikutnya di Karbala yang disebut ‘pengembalian kepala,’ (Hitti, 2018: 237).
Baca juga : Syiah Hakiki dalam Pandangan Sayyidah Fathimah
Otoritas Karismatik Pemimpin
Salah satu ranah akidah yang membedakan antara golongan Sunni dengan Syiah ialah konsep imamah (kepemimpinan). Syiah percaya bahwa pemimpin (ima>m) sejati pertama umat Islam sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw. adalah Ali> bin Abi> Thalib. Selain dianggap cakap dan punya jiwa kepemimpinan, Ali juga memiliki hubungan darah dengan Nabi.
Konsep imamah dalam Syiah bersifat turun-temurun, diwariskan dari jalur nasab Ali bin Abi Thalib. Kepemimpinan imam mencakup dimensi spiritual dan politik. Hanya saja, karena Syiah “dikalahkan” secara politis oleh penguasa Sunni, para imam kemudian berfokus pada pengembangan spiritualitas yang pada akhirnya menjadi inti dari praktik dan keyakinan Syiah (Blanchard, 2010, h. 4).
Dalam kitab hadis Syiah yang paling muktabar, al-Kafi, karya Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini, Ali bin Musa bin Ja’far as. atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Ridla berkata, “Para imam a.s adalah khalifah Allah di bumi-Nya,” (Al-Kulainii, 1994, h. 35). Sedangkan konsep kepemimpinan politik pengganti Nabi Muhammad Saw. (khilafah) perspektif Sunni cenderung fleksibel, tidak harus dari jalur Ali> bin Abi Thalib, dan bukan bagian dari ajaran dogmatis agama Islam (Rahman, 2013, h. 110).
Baca juga : Toleransi Muslim Syiah
Fenomena pengidolaan terhadap figur Ali bin Abi Thalib sebagai imam dalam Syiah, meminjam kerangka teoretik Max Weber, masuk ke dalam kategori pemberlakuan otoritas karismatik (Weber, 1968, h. 48). Para imam Syiah dianggap sebagai sosok luar biasa yang mampu mengisi kekosongan kepemimpinan politik-spiritual umat Islam setelah Nabi Muhammad Saw. wafat.
Perjalanan terjal sekte Syiah dalam kontestasi kekuasaan dan lebih sering berakhir “terpinggirkan” berpengaruh kuat terhadap militansi, relasi komunal, dan ikatan emosional kepada imam. Bagi mereka, hanya imam yang mampu bertindak revolusioner mengeluarkan kaum Syi’i dari belenggu krisis. Setiap perkataan imam cepat atau lambat akan terbukti kebenarannya sehingga menambah pesona di mata pengikutnya.
Referensi
Al-Kulainii, A. J. M. bin Y. (1994). Usul al-Kafi (Kitabul Hujjah). Tehran.
Blanchard, C. M. (2010). Islam : Sunnis and Shiites. In Congressional Research Service. Washington.
Rahman, A. (2013). Hadis dan Politik Sektarian: Analisis Basis Argumentasi tentang Konsep Imamah Menurut Shi’ah. Journal of Qur’an and Hadith Studies, 2(1), 105–123.
Weber, M. (1968). On Charisma and Institution Building. In S. N. Eisenstadt (Ed.), The Heritage of Sociology. London: The University of Chicago Press,.
*Ahmad Saefudin, Kepala Pusat Studi Aswaja An-Nadliyyah Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara, aktif di Jaringan Gusdurian.
*Catatan redaksi: Artikel ini sepenuhnya mewakili pandangan pribadi penulis, bukan mewakili pandangan ABI.