Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Diplomasi di Ujung Laras: Ketika Ancaman Dipoles Sebagai Perdamaian

Diplomasi di Ujung Laras: Ketika Ancaman Dipoles Sebagai Perdamaian

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia — Di tangan Donald Trump, diplomasi bukan seni merajut perdamaian, melainkan seni mengacungkan pistol sambil berkata “ayo ngobrol.” Seperti pedagang senjata yang menawarkan pelukan hangat dengan satu tangan, dan menyiapkan sanksi mematikan dengan tangan lainnya. Washington datang membawa “perdamaian,” asal lawan siap melambaikan bendera putih dan menandatangani surat penyerahan.

Tak ada yang baru di bawah langit kolonialisme gaya baru. Dalam upaya menjinakkan Iran, Amerika Serikat tak ubahnya penjual mimpi buruk yang mengemas horor dalam pita emas: ancaman berbinar diplomasi, pemerasan ekonomi bertopeng rekonsiliasi. Dan di bawah Trump, semua kemunafikan itu tampil vulgar, tanpa bedak, tanpa sensor: gamblang, pongah, dan dengan aksen realitas TV.

Seperti dijelaskan Dr. Talal Atrisi, sosiolog dan analis politik regional dalam wawancara dengan Mehrnews Agency (10/4), pendekatan Trump terhadap Iran bukanlah diplomasi, melainkan reality show geopolitik: “The Art of the Threat.” Retorika “let’s talk” Trump berdiri di atas puing-puing JCPOA 2015 yang ia robek seperti anak kecil menghancurkan mainan lawannya. Di balik surat cintanya kepada pemimpin Iran, terselip rudal Tomahawk dan izin mengebom dari Teluk Persia.

Trump menyusun dua pilihan: diplomasi atau perang. Tapi, dalam logika imperium, keduanya bukan pilihan berbeda. Diplomasi ala Trump adalah perang versi berdasi. Sementara perang, ya tetap perang, hanya dengan konferensi pers di awal dan pidato hak asasi manusia di akhir.

Iran: Menolak Jadi Figuran dalam Drama Gedung Putih

Iran, tentu saja, bukan aktor figuran dalam film aksi Hollywood yang selalu kalah di menit ke-90. Republik Islam ini telah ditempa oleh dekade sanksi, sabotase, dan daftar panjang resolusi yang lebih cocok disebut kutukan. Teheran tidak alergi dialog, hanya saja alergi pada dialog berjudul “Anda bicara, kami mengancam.”

Perundingan, bagi Iran, bukan sesi pengakuan dosa di hadapan pendeta imperium. Dialog hanya sah jika berlangsung dalam kondisi setara. Bukan negosiasi antara penjajah dan yang dijajah. Bukan ketika satu pihak membawa pena dan pihak lain membawa pesawat F-35.

Trump tak ubahnya makelar konflik yang menawarkan diskon genosida, dengan tagline: “Make Middle East Obedient Again.” Tapi Iran tak mudah digoda oleh slogan. Pengalaman mereka lebih panjang dari masa jabatan presiden mana pun di Washington.

Ancaman Nuklir, Hypocrisy Atom, dan Logika Bertahan Hidup

Ketika Ali Larijani menyebut kemungkinan Iran mempertimbangkan senjata nuklir jika tekanan terus berlanjut, itu bukan akrobat politik, melainkan alarm moral. Mengapa hanya Zionis Israel yang boleh menimbun senjata pemusnah massal di ruang bawah tanah mereka? Mengapa hanya klub elit bernama “pemilik veto” yang berhak menentukan siapa yang boleh eksis dan siapa yang harus dikucilkan?

Poros Perlawanan memahami satu hukum: di dunia yang dikendalikan oleh para pemilik bom atom, bertahan hidup bukan dosa, tapi kewajiban. Logika simetri menjadi satu-satunya kamus dalam kamarnya yang remang. Jika kalian bicara dengan rudal, maka kami pun menjawab dengan rudal. Bukan karena cinta perang, tapi karena dipaksa bicara dalam bahasa yang kalian pahami.

Baca juga : Diplomasi Kemanusiaan atau Diplomasi Kemunduran?

Negara-Negara Bayangan: Ketika Monarki Panik dan Langit Dipagari Ketakutan

Saat tensi meninggi, negara-negara petro-dollar seperti Saudi, Qatar dan Yordania, mulai gugup. Mereka tahu langit mereka bukan milik Tuhan, tapi disewakan kepada Pentagon. Atrisi menyebutkan bahwa Iran telah memberi pesan yang jelas: siapa pun yang mengizinkan langitnya dipakai menyerang Iran, harus siap menerima kiriman “jawaban diplomatis” dalam bentuk rudal.

Ini bukan ancaman. Ini penerjemahan bahasa internasional ke dalam dialek Timur Tengah. Karena hanya bahasa rudal yang dipahami oleh mereka yang selama ini mendengar azan dari speaker militer Amerika.

Tel Aviv: Sang Provokator Tertatih

Negosiasi tidak langsung antara AS dan Iran, jika benar terjadi, adalah kabar buruk bagi Tel Aviv. Israel hidup dari ketegangan. Ia butuh api agar tetap bisa berdansa dalam asap. Jika Trump memilih jalur diplomasi Oman, maka panggung perang besar akan runtuh, dan para jenderal Zionis harus kembali merangkai narasi horor baru untuk menakut-nakuti Kongres.

Tapi Iran bukan aktor lugu. Setiap negosiasi adalah arena duel narasi. Mereka menolak menjadikan Hizbullah, Hashd Shaabi, atau Ansarallah sebagai mata uang barter. Poros Perlawanan bukan komoditas diplomatik. Mereka adalah pilar eksistensi regional. Lahir dari darah, dibesarkan oleh pengkhianatan global, dan diasuh oleh kesetiaan.

Melawan Ilusi Damai, Menyingkap Kedok Hegemoni

Trump, dan para penerusnya, menjual ilusi damai dengan gaya penjual mobil bekas: banyak janji, sedikit jaminan. Tapi zaman berubah. Iran bukan Irak tahun 2003. Dan Poros Perlawanan bukan organisasi bawah tanah; mereka kini adalah denyut jantung geopolitik kawasan.

Jika Washington ingin dialog, maka lempar dulu senjata ke tong sampah, bukan hanya senyuman. Jika tidak, maka seperti yang diingatkan Ketua Parlemen Iran, Mohammad Baqir Qalibaf: “Era pukul lari telah berakhir”. Tentu balasan Iran tidak akan datang sebagai surat diplomatik. Ia akan datang dalam bentuk yang lebih akrab: dari darat, laut, dan langit.

Dan kali ini, tidak ada remote control untuk menghentikannya.[]

Baca juga : ‘Libyanisasi’ Iran: Diplomasi Bom Siluman ala Trump dan Netanyahu