Opini
Dilema Bencana Pandemi dan Petaka Ekonomi
Oleh: Dr. Muhsin Labib
Tak ada pemerintah di manapun di dunia saat ini yang siap menghadapi musuh tak kasat mata berupa virus corona. Baik yang katanya (menurut kategori Kapitalisme global) “negara-negara maju” di dunia, terlebih negara-negara dunia ketiga hingga berkembang, termasuk Indonesia tentunya.
Indonesia sendiri dihuni populasi luar biasa yang mbludak. Daratan geografisnya juga dikerat-kerat lautan sehingga berbentuk pulau-pulau yang terpisah dan berjauhan. Kondisi ini diperberat dengan keterbatasan infrastruktur akibat modal pembangunannya dikunyah habis gurita korupsi yang merajalela puluhan tahun lamanya. Ditambah lagi dengan roda perekonomian nasional, sebelum dan selama pandemi, sudah berjalan tertatih-tatih.
Dalam upaya menangkis serangan wabah Covid-19, semua itu jelas menjadi kendala besar., terutama dalam memproses distribusi obat, vaksin, dan peralatan medis ke seluruh penjuru nusantara. Situasi megap-megap ini pun kian dicekik oleh minimnya kedisplinan hingga penolakan sebagian oknum masyarakat [yang jumlahnya sebenarnya minoritas tapi sangat cerewet di media sosial sehingga terkesan mayoritas] dalam mematuhi prokes. Belum lagi dengan maraknya hoaks anti virus dan anti vaksin yang begitu provokatif dan miskoordinasi pusat dan daerah akibat mengerasnya anggapan keliru yang dibiarkan selama ini bahwa otonomi daerah identik dengan federasi. Lalu, dengan semua fakta itu, masih waraskah kita jika jari telunjuk kita hanya diarahkan pada pihak pemerintah sebagai terdakwa atas “kegagalan” menangani wabah corona?
Memang, kebijakan berupa PSBB lalu PPKM lalu sekarang levelisasi berdasar zonasi mengesankan inkonsistensi dan miskoordinasi diantara instansi-instansi pemangku otoritas. Dampak yang ditimbulkannya juga tentu sangat buruk bagi perekonomian masyarakat, terutama kalangan kelas bawah yang jumlahnya mayoritas.
Namun, kembali ke awal, pemerintah Indonesia juga tak punya pengalaman dan kesiapan menghadapi wabah corona yang tiba-tiba menggerebek kita. Karenanya, “kegagalan” tersebut justru merupakan sesuatu yang normal. Pemerintah jangan diimajinasikan sebagai pahlawan komikal Avenger. Memang diakui, banyak kebijakan pemerintah yang kedodoran bahkan mubazir. Tapi, menjadikannya alasan untuk mendestruksi pemerintahan secara inkonstitusional justru dapat dipastikan akan kian menyengsarakan rakyat.
Kalo boleh berandai-andai, semua pihak, termasuk kalangan civil society (LSM, kampus,dan ormas) semestinya tidak sibuk berpolemik dan berambisi jadi juara menyalahkan. Jauh lebih cerdas dan manusiawi jika seluruh anasir bangsa bersikap pro aktif dan partisipatif dalam mengerem laju kencang penularan virus ini. Jika itu yang terjadi, besar kemungkinan persoalannya jadi jauh lebih simpel dan penanganannya jauh lebih kredibel.
Di tengah kemelut sekarang ini, semua pihak, terutama kalangan civil society dan semua kekuatan politik, jika masih waras dan manusiawi, tentu akan mengenyampingkan ambisi pribadi hingga ragam perbedaan afiliasi, orientasi, dan preferensi politik masing-masing, untuk bahu membahu terjun ke arena demi membantu sesama. Tak perlu lisensi apalagi bantuan Pemerintah untuk bergerak membantu karena situasinya sudah benar-benar darurat.
Kita punya contoh nyata yang mengharukan tentangnya. Ada sebuah ormas kecil bernama Ahlul Bait Indonesia (ABI) yang komunitasnya kerap didiskriminasi disemua bidang kehidupan sosial. Bahkan ormas itu selalu dijadikan keranjang ujaran kebencian hingga target persekusi oleh kelompok-kelompok intoleran dan anti kebhinekaan. Namun ajaibnya, para anggota ormas yang kecil secara jumlah tapi besar secara marwah, meski sebagian besarnya berasal dari kelas ekonomi rendah, itu justru dengan penuh antusias membentuk satuan khusus relawan di seluruh Indonesia bernama ARC (ABI Responsif Covid) demi membantu sesama yang terpapar virus corona, siapa pun dia.
Kebebasan berpendapat dalam konteks negara dan bangsa jelas merupakan prasyarat konstitusional bagi kehidupan berdemokrasi. Namun, di tengah kepungan pandemi yang memerlukan penanganan terpadu, kebebasan berpendapat niscaya surut urgensinya dan duduk di peringkat prioritas kesekian. Mengatasi wabah corona lebih memerlukan tindakan ketimbang kata-kata verbal, visual, maupun audial.
Bukan peraturan pemerintah yang diperlukan agar masyarakat ngeh tentangnya. Namun, lagi-lagi kewarasan dan kemanusiaan yang justru terasa semakin langka di tengah wabah. Pemerintah dapat mengakselerasi dan “mewabahkan” kesadaran ini lewat peraturan yang tepat, tegas, dan terukur agar tercapai stabilitas dan efektivitas menuju imunitas komunal. Karena itu, ada baiknya bila kata-kata, meme, karikatur, hingga video yang diposting para pendaki popularitas, pencuri sensasi, dan pemburu viewer yang memuat disinformasi segera ditindak dan ditertibkan secara hukum oleh instansi berwenang agar tidak sampai mengeruhkan opini publik dan meledakkan kepanikan massal.