Opini
Di Dalam Tenda, Para Jurnalis Menjaga Dunia Tetap Tahu, Lalu Israel Membakar Mereka

Media Ahlulbait Indonesia — Di sebuah tenda sederhana dekat Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, Gaza, para jurnalis berjuang menjaga denyut kebenaran tetap berdetak. Mereka bukan tentara. Senjata mereka: kamera, pena, dan kesaksian. Namun, pada suatu malam, suara itu dibungkam oleh api. Tenda mereka dibakar. Helmi al-Faqaawi dan Ahmed Mansour gugur. Kamera meleleh. Dunia kembali membisu.
Api menyala dari terpal biru yang koyak dihantam ledakan. Di bawahnya, tubuh-tubuh terbakar. Kamera yang dulu menangkap denyut kehidupan kini menjadi logam mati, membungkam kisah yang tak sempat diceritakan. Di antara reruntuhan tenda pers itu, Helmi al-Faqaawi syahid. Di sisi lain, tubuh Ahmed Mansour sempat terlihat mengerang, terbakar, sebelum akhirnya diam.
Serangan udara pada Minggu malam (6/4) itu tidak menyasar pangkalan militer, tidak juga tempat peluncuran roket. Yang dihantam adalah tenda tempat para jurnalis tidur, bekerja, dan mengirimkan gambar-gambar luka ke dunia yang sudah lama menutup mata.
Sore yang Sunyi Sebelum Neraka Turun
Beberapa jam sebelum serangan, suasana di tenda wartawan masih tenang. Mereka berkumpul, berbagi informasi, menyalin file, mengisi baterai, dan menulis cepat sebelum listrik padam. Hassan Aslih, salah satu jurnalis senior di Gaza, sedang menunjukkan dokumentasi anak-anak yang tewas karena kelaparan di Rafah.
“Saya tidak tahu apakah kita bisa menyebarkannya,” katanya. “Internet lambat. Dan siapa yang masih peduli?”
Tak ada yang menyangka malam itu, sebuah drone Israel akan mengunci koordinat tenda yang sudah mereka tandai dengan cat putih bertuliskan PRESS.
Api dari Langit
Pukul 21.12 waktu setempat. Suara mendesing turun dari langit. Ledakan pertama menghancurkan sisi barat tenda. Ledakan kedua menyalakan api besar, menyambar kanvas, tumpukan kabel, laptop, dan generator kecil. Beberapa jurnalis terlempar. Helmi tak sempat bergerak. Ahmed mencoba menyelamatkan kameranya, sebelum api menelannya.
Menurut saksi mata, Helmi sempat berteriak, “Jangan tinggalkan kamera… Dunia harus lihat!”
Itu kalimat terakhirnya sebelum suaranya hilang dalam kobaran.
Baca juga : Suriah Tanpa Iran: Negeri yang Kehilangan Tameng dan Harga Dirinya
Pembantaian yang Didokumentasikan
Dalam konferensi pers darurat keesokan paginya, Kantor Informasi Pemerintah Gaza menyebut serangan ini sebagai bagian dari kebijakan sistematis militer Israel untuk “menghancurkan saksi sejarah.”
“Sejak awal perang, 210 jurnalis telah menjadi martir. Mereka bukan korban salah sasaran. Mereka adalah target.”
Asosiasi Jurnalis Palestina mengungkap bahwa banyak wartawan menerima ancaman pembunuhan dari akun yang terhubung dengan jaringan militer Israel. Beberapa bahkan telah menulis surat wasiat untuk keluarga, karena mereka tahu, kamera bisa lebih mematikan dari peluru.
Tubuh Terbakar, tapi Narasi Menyala
Beberapa nama yang selamat dari malam itu: Hassan Aslih, Ahmad Agha, Mohammad Faiq, Ihab Bardini, Mahmoud Awad, Ahmad Mansour, Ali Aslih, Majid Qadeeh, dan Abdullah Attar. Sebagian besar mengalami luka bakar derajat dua hingga tiga. Namun mereka menolak dievakuasi.
“Kami tidak akan diam. Jika suara kami dibakar, bara itu akan menyalakan pena-pena baru,” ujar Ahmad Agha dari ranjang rumah sakit, dengan tangan berbalut perban dan infus di lengannya.
Kamera Bukan Senjata, Tapi Saksi
Jurnalisme di Gaza bukan sekadar profesi. Ia adalah bentuk perlawanan. Di tengah ambulans yang dibom, rumah sakit yang dihancurkan, dan lembaga HAM yang hanya mengeluarkan pernyataan standar, kamera menjadi alat terakhir untuk menantang narasi penjajahan.
Serangan terhadap tenda wartawan bukan sekadar kejahatan perang. Itu adalah pesan: bahwa kebenaran adalah musuh paling ditakuti oleh rezim fasis.
Namun ada satu hal yang tak bisa dibakar: memori. Dalam ingatan kami—dan dalam memori kolektif bangsa yang terus melawan, nama seperti Helmi al-Faqaawi dan Ahmed Mansour akan terus disebut. Bukan hanya sebagai jurnalis. Tapi sebagai martir pena, prajurit kata, dan pejuang keadilan.
“Kami menuliskan dunia dengan darah. Dan ketika tinta tak lagi tersedia, kami akan menulis dengan luka,”-Media Ahlulbait Indonesia.[]
Oleh: Redaksi Media Ahlulbait Indonesia
Referensi
1. Reuters: “Palestinian journalist killed in Israeli strike, medics say”
2. Associated Press: “Israeli strike on media tent outside Gaza hospital kills and wounds journalists”
3. Al Jazeera: “Israeli strike on media tent extends journalist death toll in Gaza”
Baca juga : Serangan Mahal, Efek Murahan: Kegagalan Amerika Menaklukkan ‘Kaum Sarungan’