Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Deklarasi dan Sejarah Yang Silap

Ir Soekarno

JAS Merah: Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah! Soekarno mungkin merengut di alamnya melihat para capres saling berebut simbol sejarah dirinya tapi miskin pendalaman sejarah.

Pada sebuah rumah megah bercat putih, disebut Rumah Polonia, Cipinang, Jakarta Timur, di tengah acara deklarasi calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Hatta, Drajad F Wibowo memberi pernyataan berapi-api bahwa Rumah Polonia adalah rumah historis milik Soekarno.

Wakil Ketua Umum DPP PAN itu ingin memberi konteks dan meneguhkan simbol sejarah atas makna pemilihan Rumah Polonia sebagai tempat deklarasi calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo-Hatta.

Suasana deklarasi didukung para hadirin yang rata-rata berpeci ala Soekarno dan berbaju putih berkantong banyak. Pekik takbir para kiai dan habib menambah semarak acara yang juga ramai diikuti para petinggi partai yang rela turun gunung ke Rumah Polonia.

Soekarno, nasionalisme dan Islam seolah terkonstruksi secara simbolik dalam deklarasi di Rumah Polonia. Tapi bagaimanakah sejarah Rumah Polonia?

Sejarawan JJ Rizal memberitahu kita Rumah Polonia bukan tempat istimewa untuk mengingatkan kita tentang perjuangan Soekarno. Tidak ada momen historis yang ada di rumah itu selain sebagai rumah istri simpanan Soekarno bernama Yurike Sanger.

Yurike Sanger katanya istri termuda Soekarno. Dia dinikahi Soekarno saat berusia 17 tahun dan masih kelas dua SMA. Tatapan mata dan sapa Soekarno yang menggetarkan di tahun 1963 saat pertama kali melihat Yurike Sanger adalah awalnya.

Saat itu Yurike Sanger anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika bertugas menjadi pagar betis berbaju daerah bagi rombongan Presiden Soekarno yang sedang menyambut tamu negara.

Rumah Polonia menurut JJ Rizal hanya sesekali saja dikunjungi Bung Karno karena sesungguhnya rumah itu adalah tempat “persembunyian” istri ke-8 Soekarno. Tak ada yang istimewa dari sisi sejarah tentang rumah itu selain justru nilainya sebagai tempat “persembunyian” alias sejarah yang dirahasiakan.

Bagi mereka yang sadar sejarah rumah itu, tempat itu rasanya lebih cocok dipilih untuk mengejek bahwa Soekarno bukan hanya jargon Trisaksi ala PDIP-Megawati, atau glorifikasi revolusi mental ala Jokowi. Tapi juga sebuah sisi gelap seorang presiden playboy yang manusiawi.

Tapi jika memang ejekan itu memaksudkan tujuannya secara serius, rasanya ejekan itu tidak mengena dan bermakna karena toh tidak ada yang ngeh dan paham sejarah. Baik di kubu Jokowi, media bahkan di barisan koalisi Prabowo-Hatta yang hadir di acara deklarasi itu. Semua hadirin rata-rata hanya mahluk politik bukan mahluk sejarah yang larut dalam perhelatan seremoni memuja tampilan-tampilan luar.

Tapi penghayatan sejarah yang buruk juga terjadi pada deklarasi Jokowi-JK di Gedung Djoeang 45. Pihak petinggi PDI-P katanya memilih tempat itu sebagai simbol orde perjuangan yang bersejarah.

Gedung Djoeang memang tempat bersejarah tapi bukan tempat tepat yang memupuk sejarah perjuangan Soekarno seperti misalnya Gedung Pola dan Tugu Proklamasi. Tempat itu justru lebih dekat dengan kelompok muda politik musuh Soekarno bernama Murba bentukan Tan Malaka.

Murba pandangan politiknya cenderung anti-Soekarno yang menurut mereka terlalu lunak sementara mereka memilih perjuangan radikal dan keras seperti yang dilakukan Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh yang pernah menculik Soekarno untuk menyelenggarakan Proklamasi.

Murba singkatan dari Musyawarah Rakyat Banyak, partai yang garis politiknya lebih banyak menentang Soekarno dan jargon-jargonnya. Partai ini bahkan pernah dibekukan Soekarno pada September 1965. Meskipun kemudian direhabilitasi kembali oleh rezim Orde Baru dan pada tahun 1977 melebur ke dalam Partai Demokrasi Perjuangan. Pada tahun 1999 Partai Murba berdiri kembali namun kemudian lenyap karena tak lolos ambang batas parlemen.

Masalah kedua yang problematis secara simbolik, karena Gedung Djoeang justru identik dengan perjuangan kaum muda. Sementara di deklarasi itu Jokowi memilih calon wakil presiden Jusuf Kalla yang berusia 72 tahun.

Perebutan simbol sejarah nampaknya bukan hanya membutuhkan konsultan politik tetapi juga konsultan sejarah.[] Hertasning Ichlas

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *