Opini
Dari Sampang Hingga Tolikara
Apa yang terjadi jika pelaku kejahatan, perusakan, pembakaran, bahkan pembunuhan tidak dihukum? Apa kiranya yang dirasakan para korbannya, yang dizalimi, yang masih merasakan sakitnya dipersekusi, dibakar rumahnya dan terusir hingga detik ini melihat pelaku kejahatan itu melenggang-kangkung begitu saja?
Dan pertanyaan yang tak kalah penting, siapa bisa menjamin orang lain tidak akan melakukan kejahatan yang sama karena merasa aman-aman saja meski telah melakukan kejahatan?
Sampang dan Tolikara memang dipisahkan oleh jarak ratusan kilometer, oleh pulau-pulau, oleh lautan. Namun apa yang terjadi di Tolikara tak bisa dipisahkan dengan apa yang terjadi di Sampang, di Bekasi, di Bogor. Di sana ada masjid yang diserang, ada gereja yang disegel, ada rumah yang dibakar dan warga yang diusir dari tanah kelahirannya.
Dalam hukum butterfly effect, kita mengenal bahwa kepakan kupu-kupu di seberang benua sana, bisa menimbulkan tsunami di benua lainnya. Kesemua kasus kekerasan ini pun tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Apa yang terjadi di Tolikara, adalah efek dari kasus di Bekasi, Bogor, juga Sampang. Yaitu efek dari ketidaktegasan penegakan hukum hingga mengakibatkan tak adanya efek jera bagi pelaku kejahatan, sehingga hal ini membuka peluang bagi orang lain untuk melakukan atau mengulang kejahatan serupa.
Tegakkan Keadilan Sosial
Meski secara kasat mata seolah-olah semua insiden itu adalah kasus sektarian dan agama, memandangnya hanya dalam kacamata sektarian semata tentu sangat naif. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Dan jika ditelusuri, akar utama dari semua itu adalah kurang atau tidak adanya keadilan sosial di masyarakat. Ketika masyarakat merasakan ketidakadilan, maka mereka sangat rentan dibakar adu-domba. Dalam hal ini, adu-domba yang bertopengkan agama.
Isu-isu agama memang ada, tapi ia muncul sebagai pemantik konflik, bukan faktor utama. Dalam banyak investigasi kasus, di Sampang misalnya, serangan terhadap warga Syiah Sampang ternyata erat kaitannya dengan monopoli kekuasaan kultural Klebun, Blater, Kiai dan Bupati yang ingin mendapatkan suara dalam Pilkada. Atau dalam kasus Tolikara, tak bisa dipisahkan tertembaknya 12 warga Kristen yang mengakibatkan pembakaran musholla itu dari kondisi Papua yang rawan, adanya gerakan separatis, juga cengkeraman Freeport yang mengeruk kekayaan bumi Papua.
Suara-suara toleransi, saling menghargai dan memaafkan memang penting disuarakan. Tapi itu tidak cukup. Karena akar masalahnya selain ada pada penegakan hukum yang tegas agar tercipta efek jera, sehingga orang-orang dan anasir-anasir asing yang berniat jahat menunggangi kekacauan di bumi Pertiwi akan berpikir seribu kali. Juga yang paling utama adalah adanya keadilan sosial di tengah masyarakat.
Kalau kita melihat Suriah, Pakistan, dan Libya misalnya, kita bisa melihat kelompok-kelompok radikal dan garis keras tumbuh subur ketika negara dalam kondisi tidak stabil dan ketika masyarakatnya tertindas. Ketika negara stabil, keadilan dirasakan masyarakat, hak-haknya terpenuhi, kesejahteraannya terjamin, maka provokasi-provokasi itu akan relatif teredam.
Ya, penegakan hukum dan keadilan sosial adalah kuncinya. (Muhammad/Yudhi)