Akhlak
Bertemu Khidir di Rumah Musa
“…. Jangan pamer harta di hadapan si papa. Jangan unjuk kebahagiaan di hadapan si duka nestapa..” — Mawla
Episode: Mensyukuri Rezeki Kepapaan
Jakarta, tanggal tua bulan terakhir, di penghujung tahun. Langit gelap menjelang petang. Lantun azan Maghrib sayup terdengar di kejauhan.
Saat itu malam Jumat. Ditingkah gelegar petir, hujan turun begitu lebat. Bak korsleting listrik, sesekali kilat terpancar di antara gumpalan awan hitam pekat di atas sana. Jalanan yang di hari-hari biasa macet itu, entah kenapa tampak lengang sepi. Di tengah genangan banjir, aspal hitam berubah coklat, tertutup air bercampur lumpur.
Lima kilometer adalah jarak yang lumayan jauh. Dengan perut kosong, tak heran, lelah benar terasa kutuntun motor dengan tangki tak berbensin itu.
Di jalanan menanjak, kuputuskan berhenti sejenak, menghela napas. Menikmati nyeri di dada kiriku. Kuusap keringat bercampur air hujan di kepala. Sekadar agar tak bercampur asin air mata yang perlahan mengalir memasuki sela bibirku. Tubuhku dingin di tengah deras hujan, tangan dan kakiku gemetar.
“Hmm.. Ya. Ini sungguh luar biasa sempurna,” gumamku entah kepada siapa. Sejenak gumam itu terbang, berbaur tiup angin yang kian kencang menerpa wajah, makin keras menampar-nampar muka.
Tak lama setelahnya, hujan badai dan semesta yang kontan gelap, mencabut kesadaranku, membawaku berkelana entah ke alam mana..
***
Sepertinya bukan Jakarta, tanggal muda, di bulan terawal, permulaan tahun.
Kutahu kala itu pun malam Jumat dari seseorang yang kutemui di jalan. Sengaja kutanyakan kepadanya hari apakah saat itu dan sudah pukul berapa. Maklum, belakangan ini aku seringkali lupa hari dan tak sadari waktu.
Kususuri jalan yang tak lagi beraspal hitam tapi tampak berwarna putih susu itu. Tanpa kurencanakan sebelumnya, sampailah aku di sebuah padang luas penuh gazebo. Di tengah hamparan hijau segar rerumputan dan bunga aneka warna, berdiri kokoh rumah sederhana dengan lampu gantung temaram di sudut-sudut plafon berandanya.
Baru setelah kudekati, aku tahu. Di halaman rumah bercat putih khaki itu, tak jauh dari pintu masuknya ternyata kudapati kolam mungil penuh ikan warna-warni. Kulongok sejenak jernih airnya. Tampak bayangan bulan yang bersinar di atasku, terpantul teduh di permukaannya.
“Hmm.. Ya. Ini sungguh luar biasa sempurna,” gumamku entah kepada siapa. Sejenak gumam itu melayang, berbaur sepoi angin sejuk basah yang mengalir perlahan dari deret pegunungan nun jauh di ujung padang itu.
“Mungkin ada baiknya, dan akan lebih sempurna kalau kita ngobrol saja di beranda sana,” tegur lembut seseorang di sampingku. Belum reda kagetku, kujabat erat uluran tangannya. “Hai! Ternyata kau pemilik rumah itu. Sejak kapan kau tinggal disini, Guru? B-b-ba..baiklah, ayo,” ujarku sekenanya setelah dua tanyaku hanya berjawab satu anggukan kepalanya saja.
“Rasanya baru sekali ini aku datang ke tempatmu, tapi mengapa tak asing lingkungan ini buatku serasa?,” tanyaku kepada pria yang sejak awal pertemuan kami itu, memintaku tak bertanya tentang namanya. Membuatku heran, bukankah dia sudah lama kukenal sebagai teman sekaligus guruku? Mengapa dia anggap aku tak mengenalnya bahkan tak tahu namanya pula?
“Mungkin itu fakta deja vu..,” singkat jawabnya.
***
Malam melarut. Cahaya bulan kian terang. Bunyi jangkrik berirama dengan jeda rata-rata terukur serupa. Lebih damaikan suasana padang di bawah purnama.
Di beranda, di bawah lampu gantung temaram itu, kami asyik ngobrol bersama. Tentang apa saja. Atau, boleh jadi tak pantas disebut ngobrol bersama karena lebih dominan curhatku di dalamnya. Sementara dia hanya menjawab pendek-pendek, singkat-singkat saja. Kecuali bila kupaksa bercerita, sepanjang yang dia mau pula.
“Begitulah, aku tak pernah kaya, atau tepatnya selalu merasa miskin. Karena kenyataannya memang tak punya apa-apa,” keluhku diantara obrolan itu. “Bagaimana aku bisa berbuat banyak kalau..”
“Bersyukurlah atas rezeki kepapaan,” potongnya masih dengan nada lembut seakan mengingatkan dirinya sendiri, menghentikan keluhanku.
Aku terdiam. Dalam hati mengulang, “Bersyukur atas rezeki kepapaan. Bersyukur. Rezeki. Kepapaan. Hmm… Ini sungguh nyeleneh. Mana bisa kepapaan disebut rezeki?”
“Terangkanlah agak rinci dan panjang. Mohon pahamkan ketidaktahuanku,” pintaku. “Apatah lagi harus mensyukuri, menganggap kepapaan sebagai rezeki, itu saja sudah terasa aneh buatku.”
“Aneh? Bagaimana bisa aneh?” tanya dia, lalu agak panjang bercerita, “Dalam berulangkalinya keterputusanku dengan ‘dunia luar,’ aku bersyukur Tuhan berikan kesempatan dan waktu luang untuk belajar mensyukuri kepapaan. Hanya di ‘dunia dalam’ itu kusadari bahwa ketidakpunyaan adalah rezeki dan karunia besar tak terperikan.”
Beberapa saat dia menatapku tajam. Seakan mengerti bahwa aku tak sepenuhnya mengerti semudah itu.
“Karena ternyata, hanya dalam ketidakpunyaan itu menyala aku punya api perlawanan atas kezaliman dan ketidakadilan. Dengan ketidakpunyaan itu aku punya kebebasan dari rasa takut kehilangan. Bersama ketidakpunyaan itu lestari aku punya idealisme dan semangat meneguhi prinsip-nilai kebenaran yang layak dipublikasikan, untuk terus kusebarluaskan, dan suatu saat entah kapan, yakin mampu kuwujudkan. Dan karena prinsip-prinsip baik itu, hidup kita jadi lebih berharga untuk kita jalani, kan?”
Aku terpaksa manggut-manggut mengiyakan. Walau sebenarnya sedang susah-payah memahami petuahnya.
“Terbebas dari rasa takut kehilangan. Itu pun sebuah karunia besar. Dan hanya dalam ketidakpunyaan, kebebasan dari rasa takut kehilangan itu bisa kita nikmati. Cobalah tanyakan pada dirimu, bagaimana kau akan bisa mengalami kehilangan sesuatu yang memang belum pernah benar-benar kau punya?”
Menyimak uraiannya, terasa batok kepalaku bak diketok-ketok palu. Ketimbang lebih paham dengan uraian panjangnya, otakku ternyata kian bingung dibuatnya. Saat itulah aku sadar. Mungkin dia tahu sejak mula: jawaban pendek seharusnya lebih pas buat kucerna.
Hm. Harus kuakui, selama ini otakku memang kurang gizi. Kutertawakan diri sendiri, kebanyakan dan keseringan makan mi, sangat mungkin memang bikin otakku telmi.
Andai dia tahu, saat ini pun aku sama sekali tak punya apa-apa, bahkan sekadar untuk membeli semangkok mi buat menghibur perut kosongku sejak pagi.
“Sungguh berat hidup, meski sekadar untuk bertahan barang sehari. Betapa kita mesti benar-benar cerdas menentukan prioritas,” gumamku. Kulihat dia sunggingkan senyum, entah apakah dia paham apa maksudku.
“Maaf kalau aku harus berterus terang soal ini, Guru. Tapi kalau tidak, rasanya memang tak ada lagi yang bisa kulakukan esok hari. Di zaman gila ini, bagaimana rutinitas hidup bisa tetap bergerak dan kujalani dengan tenang hati, sementara faktanya aku berada dalam kondisi tanpa beras, bensin, dan pul ..”
“Oke. Oke. Berapa nomor rekeningmu? Kutransfer segera sekarang juga. Tak banyak tentunya. Tapi mudah-mudahan bisa membuatmu mampu bertahan barang sehari dua hari..” tukasnya cepat sembari tertawa, memangkas curhatku. Dengan empati yang tulus mendalam, seakan dia ingin mengatakan, “Cukuplah, tanpa berpanjang lebar, insya Allah sudah kutahu yang kau mau.”
Aku kembali terdiam. Tercekat serasa tenggorokanku. Campur-aduk perasaanku, antara sedih dan malu. Setakberdaya inikah aku? Memang pantaskah ini kuterima? Bukankah sudah hampir seminggu lamanya beban ini kutahan dan rahasiakan sendiri? Kenapa sekarang terungkap dan keluar begitu saja dari mulutku? Apakah hanya karena kurasa dia orang yang tepat mendengarnya? Atau jangan-jangan, aku memang sedang berada di puncak putus-asa?
Kecamuk pikiranku begitu rupa. Hingga tak kusangka, pada akhirnya kegalauanku itu pun dapat dengan mudah ditangkapnya.
Tak pelak keherananku muncul kembali. Kalau memang dia tak mengenalku, andaikata benar dia orang lain dan bukan teman sekaligus Tuan Guruku Musa, bagaimana semudah dan seenteng itu mau main transfer ke rekeningku? Ya Tuhan, di dunia mana kini kuberada?
Terasa bagi perasaanku kerendahan hatinya yang tak sedikitpun jumawa karena telah mampu menolongku terlepas dari urusan ‘hidup-mati’ hari itu.
Seakan mampu menebak isi kepalaku, dengan nada datar dan tenang dia berkata, “Sudahlah. Hal macam begini jangan terlalu dipikir pelik dan kau risaukan berkepanjangan. Tapi kusarankan, kalau bisa, sekali lagi ingat, kukatakan ‘kalau kau bisa,’ jangan diam saja bila memang sudah benar-benar tak mampu atasi masalah beratmu sendiri. Paling tidak, ngomong saja dulu kepadaku, siapa tahu aku bisa membantu. Mungkin sudah saatnya kau berubah, kurasa. Jangan lagi sekali-kali kau anggap, bahwa meminta bantuan orang lain itu merupakan aib besar bagi harga diri dan kehormatanmu. Meminta tolong bukanlah aib saat kau memang layak memintanya kepada sesamamu. Apalagi bila yang kau perlukan hanya sekadar untuk bisa bertahan dan melanjutkan hidup, bukan untuk selainnya, misalnya bermewah tanpa guna.”
Aku semakin kehilangan kata. Penekanannya pada kalimat “kalau kau bisa” itu, sangat terasa berarti buatku. Mungkinkah dia tahu bahwa memang sungguh tak mudah bagiku untuk berkeluh-kesah tentang apapun yang kualami kepada siapa pun selama ini, bahkan kepada keluargaku sendiri? Kupikir benar saat dia berkata bahwa sudah saatnya aku berubah. Tak merasa sendiri menanggung semua beban. Menyadari tak semua orang buta hati dan gersang empatinya kepada derita sesama. Pun derita-deritaku.
“Meski tentunya kau harus selalu berhati-hati dalam segala keadaanmu. Maksudku, jangan pernah bicara soal pinjam-meminjam uang atau bercerita soal kondisi ketiadaan uang kepada sembarang orang, kecuali kepada orang yang kau yakini kebaikannya. Yakni orang-orang tertentu yang benar-benar kita percaya akan menyimpan rahasia tentang kondisi kita.”
Aku tertunduk mendengar saran itu. Terbayang sedihnya bila kita sedang terpuruk, dan berharap pertolongan kepada orang yang ternyata salah. Pertolongan tak kita dapatkan, tapi justru aib kelemahan dan kekurangan kita yang malah dia sebarluaskan.
“Karena sepanjang pengetahuan dan pengamatanku, orang-orang kebanyakan biasanya akan merasa agak takut berhadapan dengan orang-orang yang sedang tak beruang. Alih-alih berempati dan peduli, belum-belum mereka biasanya lebih dulu curiga, beranggapan bahwa orang tak beruang itu cenderung bisa berbuat apa saja dan menghalalkan segala cara.”
Aku terhenyak. “Benar begitukah tabiat kebanyakan orang yang berpunya? Ya Tuhan.. Aku baru tahu soal itu, Guru” ujarku.
“Ya. Begitulah. Setidaknya menurutku. Tapi cukuplah kau pahami saja dan jangan terlalu diambil hati. Kurasa ada baiknya kita patrikan ke lubuk hati, hal yang lebih mendasar saja daripada sekadar soal tabiat si kaya yang membuatmu kaget itu. Apalagi, sangat mungkin tak semua orang kaya bertabiat sama. Namun intinya, jangan kiranya kita mudah meminta sesuatu tanpa berpikir dan mengukur-ngukur diri terlebih dulu: apakah kira-kira kita benar-benar akan mampu menerimanya, andaikata oleh-Nya, oleh Tuhan maksudku, kita benar-benar diberi?”
Melihatku keheranan, dia melanjutkan.
“Kenapa oleh Tuhan? Karena kepada siapapun kau meminta lalu kau terima sesuatu karenanya, bukankah sejatinya hanya Dia lah pemberimu? Karena itu, jangan terlalu merasa tak enak hati, dalam arti kau merasa terbebani hutang budi kepadaku. Yakinilah bahwa aku semata perantara. Karena semua yang kuberikan kepadamu adalah milik-Nya. Dan lebih dari itu, jika faktanya sesuatu itu memang harus kau terima, maka berarti itu memang hakmu. Sesederhana itu, kurasa.”
Ya Tuhan, aku benar-benar tak kuasa lagi mendongakkan kepala untuk kesekian kalinya. Hanya bisa diam tertunduk dengan mata terpejam, susah-payah menahan untuk kemudian merelakan, bulir hangat airmataku terjatuh, di antara dua kaki..
***
Sejak pertemuan pertama di padang luas dengan puluhan gazebo itu, waktu seperti berhenti. Setidaknya begitulah yang kurasa. Bagaikan berada di dunia mimpi yang sama, dengan cerita berulang, kunikmati serunya obrolan yang seakan tak berujung.
Kini, kepalaku penuh dengan beragam wejangannya yang bisa kuputar berkali-kali, kapanpun kukehendaki.
Serasa tak penting lagi buatku mengetahui lebih jauh siapa dia. Boleh jadi dia memang teman, atau guruku, atau entah siapa..
Kadang aku berpikir, menerka-nerka sekenanya, mungkinkah aku telah bertemu Khidir di rumah atau tubuh Musa? Ah.. entahlah.. (Esha R Yudhi)